8. Buruk Rupa

370 23 1
                                    

"Ya sudah, bu Rena. Lain kali panggil saya atau karyawan saya saja ya."

Aku mengangguk seraya tersenyum. Bergegas aku berjalan mencari meja yang kosong. Cacing di perutku semakin tidak bisa diajak kompromi. Dia terus meronta minta diisi.

Beberapa karyawan mengangguk sopan dan menegurku. Baru beberapa langkah, tiba-tiba ... Braaakkk.

"Aduuuhhh ... panaaas."

Seorang laki-laki menabrak nampan yang kupegang. Dan tentu saja makanan yang ada di sana berhamburan ke lantai.

"Maaf, maaf, mbak. Saya gak sengaja," ucapnya sambil membantuku membersihkan pakaianku yang terkena tumpahan kuah sup.

Aku memandanginya dengan tatapan kesal sambil terus membersihkan rok dan kemejaku.

"Sekali lagi maaf ya, mbak. Saya benar-benar tidak sengaja," imbuhnya lagi. "Kamu ... eng, kayaknya wajah kamu gak asing deh. Tapi kenal dimana ya."

"Maaf saya gak kenal sama kamu. Gak usah sok kenal," ujarku ketus.

"Eh ada apa nih, bu Rena?" tanya Dinda yang baru kembali dari toilet. Dan menatap bingung pada pakaianku yang sudah belepotan kuah dan sambal.

"Ini mbak, orang jalannya gak pake mata. Masa aku segede gini pun ditabrak juga."

"Eh, pak Mario. Apa kabar, pak? Kapan kembali dari Aussie?" tanya Dinda pada orang asing itu. Aku masih sibuk membersihkan rokku yang basah kuyup karena kuah sup yang tumpah tadi.

"Kemarin saya sampai di Jakarta. Dan mulai hari ini, aku ditugaskan om Cokro untuk membantu direktur baru di sini. Tapi, dari tadi aku cari-cari gak ada," jawab lelaki bermata agak sedikit sipit.

"Oh, kebetulan sekali ketemu di sini. Ini ibu Rena, menantu pak Cokro, sekaligus direktur baru di kantor Hadikusumo Corporation," ujar Dinda memperkenalkanku pada pria itu. " Dan bu Rena, ini pak Mario, keponakan pak Cokro."

Lelaki bernama Mario itu mengulurkan tangannya. Kubalas uluran tangan Mario dengan wajah masih ditekuk kesal.

"Hai, aku Mario. Pantesan, muka kamu kayak gak asing. Ternyata istrinya Arya. Aku datang juga sih waktu di resepsi kalian. Tapi, kok beda? Aku sampe gak ngenalin."

"Kenapa? Yang sekarang jelek gitu," tukasku ketus.

"Ah, bukan ... bukan. Aku enggak bilang kamu jelek kok. Hanya sedikit berbeda saja." Lagi-lagi dia tersenyum sehingga barisan giginya yang rapi dan putih bersih itu terlihat.

"Ada apa ini? Kok pada ngumpul di sini?" tanya papi yang tiba-tiba muncul. Menatap heran melihat kami berkumpul di tengah kantin.

"Ah, enggak apa-apa kok, om. Gara-gara keasyikan main hp, tadi Mario gak sengaja menabrak Rena."

Papi melihat ke arah pakaian dan rokku yang kotor.

"Dinda, bawa bu Rena belanja pakaian ya. Kalau bisa kamu pilihkan yang sedikit lebih baik dan modis lah. Biar saya dan Mario yang di kantor," titah papi mertuaku.

"Baik, pak."

Aku terdiam mendengar titah papi. Aduh, gimana nih? Aku kan gak punya uang. Mas Arya mana pernah memberiku uang lebih.   Paling hanya sebatas untuk belanja sehari saja.

Seakan mengetahui gelagatku yang gelisah, papi merogoh kantongnya. Lalu dari dompet, papi mengeluarkan sebuah kartu kemudian menyodorkannya padaku.

"Ini pake kartu papi. Kamu boleh beli semua keperluan kamu. Baju, sepatu, kosmetik, terserah kamulah. Papi tahu kamu gak pernah dikasih uang sama Arya kan. Memang keterlaluan anak itu."

Gadis Buruk RupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang