Bik Inah membukakan pintu berkaca tebal tersebut. Dan tampak pria berusia sekitar lima puluhan, duduk di balik meja.
"Masuklah, nak!" perintahnya. Kepalanya menunduk. Tatapannya fokus pada kertas-kertas di mejanya.
Aku masuk ke dalam beriringan dengan mas Arya di sampingku.
"Siapa yang menyuruhmu untuk ikut masuk?" tanya papi begitu mengangkat kepala dan melihat anak sulungnya mengikutiku.
"Tapi, Arya kan anak papi. Arya berhak tahu juga dong, apa yang dibicarakan papi dan istrinya.
"Keluar! Papi cuma mau berbicara empat mata saja dengan menantu papi," ujarnya tegas.
"Tapi, pi ...."
"Keluar!"
Mas Arya keluar dari ruangan papi. Terlihat dari wajahnya, sepertinya dia begitu dongkol karena pengusiran sang ayah.
"Jangan kau coba-coba menguping di depan pintu,Arya. Papi bisa melihat kau dari CCTV yang mengarah ke pintu itu."
Dari sebuah televisi, kami bisa melihat mas Arya berdiri dengan telinga dirapatkan di pintu. Aku tersenyum geli melihatnya pergi dengan langkah gontai dengan menggaruk-garuk kepalanya.
"Bagaimana kabarmu, Rena?" tanya sahabat kecil bapakku dengan nada lembut.
"Alhamdulillah baik, pi," jawabku dengan pandangan menunduk. Dibawah, tanganku memilin-milin ujung dress polkadot milikku.
"Lalu bagaimana dengan pernikahanmu? Apa kau bahagia dengan Arya?"
Pertanyaan yang sulit sama seperti mami. Dan lagi-lagi, aku harus kembali berbohong.
"Alhamdulillah, pi. Rena bahagia kok dengan mas Arya." Kali ini entah kenapa butiran bening itu menggantung di sudut kedua netraku.
Aku tahu saat ini beliau sedang menatapku lekat. Karena itu makanya aku hanya menunduk. Tak berani menatap bola mata papi tegas.
"Rena ... angkat kepalamu! Lihat papi!"
Tanganku semakin kuat memilin ujung dressku. Suara bariton papi memang lembut namun tegas. Membuatku menjadi salah tingkah.
"Rena, papi tahu kau tidak bahagia dengan Arya. Dia selalu menyakiti hatimu kan?"
Aku menggeleng pelan. Tatapanku masih tetap ke pangkuanku. Kali ini yang aku takutkan, bening yang mengembun di kelopakku terlihat olehnya.
"Tidak, pi. Mas Arya memperlakukan Rena dengan baik kok." Suaraku serak seperti tercekat di tenggorokan.
Papi menarik napasnya berat. "Arya itu anak papi. Jadi papi pasti tahu karakter Arya itu seperti apa, Rena. Dia nampaknya saja keras tapi bodoh. Kau pasti sudah tahu siapa Tamara kan?"
Aku mengangguk pelan. Waktu acara resepsi ngunduh mantu, mas Arya pernah memberitahuku.
"Itu namanya Tamara. Pacar aku. Lihat penampilannya. Selalu cantik dan modis. Jadi suaminya nanti pun bahagia kalau melihat istri selalu cantik begitu. Bukan kayak gembel. Tapi, iyalah ... mana mungkin itik buruk rupa bisa berubah jadi cinderella," sindirnya kala itu.
"Tamara adalah pacarnya Arya. Memang anaknya sangat cantik. Sayangnya, Tamara itu matre. Dulu, papi harus membayar tagihan kartu kredit Arya sampai puluhan juta. Dan itu menyebabkan papi menghukumnya dengan mencampakkannya ke kampung saudaranya mami. Semua fasilitasnya papi cabut. Mulai dari mobil dan kartu kredit. Sampai-sampai dia memohon-mohon supaya hukumannya dicabut. Walaupun begitu dia tetap saja kembali lagi pada si cewek matre itu. Dasar bodoh!" umpat papi kesal.
Ya, sebodoh aku yang menunggu cinta anakmu, batinku perih.
Aku masih menundukkan pandanganku. Apa sebenarnya maksud ayah mertuaku ini memanggilku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Buruk Rupa
Teen Fiction"Apa? Mas mau menikah lagi?" tanyaku pada suamiku yang baru saja pulang. "Emangnya kenapa? Apa urusanmu? "Mas, aku ini kan istrimu. Tega sekali mas bicara seperti itu," ucapku lirih dengan mata mulai mengembun. "Asal kau tahu ya. Aku itu tidak pern...