Dulu aku berpikir, kelak aku akan menemui cinta sejati yang dapat menerima apa adanya. Mamak bilang, "Kamu tuh cantik kok, nak. Hanya saja mereka tidak menyadari akan hal itu. Tak perlu menjadi orang lain supaya disukai." Kata-kata itu yang selalu kupegang sampai dewasa.
Tapi pada kenyataannya, aku membuktikan, kata-kata mamak itu adalah omong kosong. Dari kecil aku selalu dibully teman-teman di kampung. Bahkan aku pernah dipermalukan oleh laki-laki yang kusukai saat SMA.
Cuma Ayu yang mau berteman denganku. Ayu adalah anak tetangga yang rumahnya juga tak jauh dari rumahku. Kami juga bersekolah di tempat yang sama, bahkan duduk pun sebangku.
Ketika mendengar aku akan dinikahkan dengan anak sahabat bapak yang sudah sukses di ibu kota, hatiku berdebar tak karuan. Apalagi begitu aku bertemu, jantungku seakan terus berpacu dengan cepat. Berkejaran dengan detik jam yang juga tak mau kalah.
Dreeettt. Ponsel yang kusetel dengan mode silent, bergetar di atas meja. Dahiku berkerut membaca nomor yang tak bernama di layar.
Kugeser tanda panah ke kanan, dan terdengar suara bariton bapak di ujung telepon.
"Assalamualaikum, Rena. Ini bapak, nak."
Suara yang sudah lama kurindukan. Sayangnya kesedihanku yang lalu dan kesibukan sebagai direktur saat ini, sudah banyak menyita waktuku. Sampai aku hampir tak pernah menghubungi bapak dan mamak. Ah, anak macam apa aku ini?
"Wa'alaikumsalam, pak' e. Apa kabarnya?"
"Alhamdulillah bapak sehat, nak. Kenapa sudah lama sekali kamu tidak menelepon bapak dan mamak? Apa kamu sudah tidak peduli lagi dengan kami orang kampung ini?" Tersirat nada sedih dan kerinduan mendalam di suara seraknya.
Kata-kata bapak barusan bak sembilu yang tiba-tiba menyayat hati ini. Ya Allah, kenapa aku sampai melupakan orang tuaku sendiri demi mengejar cinta suami yang tak pernah peduli?
"Astaghfirullah. Maafkan Rena ya, pak'e. Rena terlalu sibuk di kantor sampai lupa dengan bapak dan mamak. Sekarang Rena yang diamanatkan papi untuk memegang perusahaan, pak."
"Oh iyakah? Alhamdulillah, nak. Ternyata Cokro benar-benar menepati janjinya untuk menganggapmu seperti anaknya sendiri."
"Iya, pak. Papi memang sangat menyayangi Rena. Bahkan seluruh perusahaannya dilimpahkan kepada Rena."
"Alhamdulillah baguslah, nak." Bibirnya tak henti-hentinya mengucap syukur. "Tapi ...."
"Tapi, apa, pak. Kok tidak dilanjut kata-katanya?"
"Tapi, apa bisa kau pulang ke kampung, nak, mendengar kesibukanmu saat ini?"
Pintu ruanganku tiba-tiba terbuka. Melongok kepala mas Arya dari balik pintu. Tanpa dipersilahkan masuk, dia langsung duduk di sofa ruangan yang tadinya adalah ruangan miliknya.
Aku masih meneruskan obrolan teleponku dengan bapak, tanpa mengacuhkannya sedikit pun.
"Memangnya ada apa, pak? Kenapa Rena harus pulang ke kampung? Apa ada sesuatu yang penting?"
"Mamakmu, nak ... mamakmu sakit keras."
Bagai dihujam palu, aku merasakan seperti duniaku berhenti. Mamak sakit keras?
"Ya Allah, mamak sakit apa, pak?" tanyaku khawatir.
"Kemarin bapak sudah larang supaya mamakmu tidak ikut ke sawah. Karena waktu itu badannya sudah terasa hangat. Tapi dia terus memaksa mau ikut bapak ke sawah. Panas badannya semakin tinggi, lalu pingsan di sawah. Untung saja saat itu ramai orang yang sedang panen. Jadinya, ada yang membantu mencarikan pick up untuk bawa mamakmu ke klinik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Buruk Rupa
Teen Fiction"Apa? Mas mau menikah lagi?" tanyaku pada suamiku yang baru saja pulang. "Emangnya kenapa? Apa urusanmu? "Mas, aku ini kan istrimu. Tega sekali mas bicara seperti itu," ucapku lirih dengan mata mulai mengembun. "Asal kau tahu ya. Aku itu tidak pern...