Part 5 : sekadar pernah

30 2 0
                                    

"Dijodohkan Abah?" Tanyaku pada Ning Husna, yang dikabarkan oleh warga pesantren akan menikah dengan seorang gus di daerah Jawa Timur.

"Iya, Mbak ... Aku sebenarnya tak menginginkan pernikahan ini, tapi ... Aku bisa berbuat apa?" Ujar ning Husna yang membuyarkan lamunanku.

Aku yang mengetahui kisah Ning Husna bisa menelan ludah penuh asa. Mungkinkah takdirku akan dijodohkan pula?

Tak ada yang tahu dengan siapakah kita kan berjodoh. Mungkin ajal akan mendahului sebelum berjodoh, atau jodoh kita bukanlah suatu hal yang dapat dicerna oleh logika. Dengan siapapun, pastilah, Allah akan menjadikannya yang terbaik untuk menjadi pendamping hidup, menuju jannah bersama yang kekasih halal ialah idaman setiap insan.

"Mbak ... Seandainya sampeyan (kamu) dijodohkan, apakah sampeyan akan menerima perjodohan itu atau menolaknya?" Tanya ning Husna padaku.

" Nderek Abah mawon kulo, Ning (ikut Abah saja saya, Ning) ," jawabku mantap.

"Tapi kalo sampeyan sudah punya pengisi hati, bagaimana?"

"Hehehe ... Pengisi hati bagaimana, Ning,"

"Itu loh mbak, yang biasanya bisa terbang cari makan, terus kalau udah kenyang, dia pulang," canda ning Husna.

"Itu mah, burung ... Ning. Pengisi sangkar,"

"Aku tenanan, lho mbak,"

"Nggih (iya) , Ning ... Hati kita Allah yang mengendalikan. Kulo pasrah mawon kalih kehendake Gusti,"

"Kan, kita bisa ikhtiyar untuk memilih pendamping yang kita inginkan, to mbak.."

"Iya, Ning ... Ikhtiyar kita salah satunya bisa dengan meraih ridho orang tua dan guru, insyaallallah, semoga Allah pun ridho," ucapku yang membuat ning Husna terdiam, menghentikan perbincangan kami sejenak.

"Ehm ... Dek, sampeyan ditimbali Abah,"
Ucap Gus Asif yang tiba-tiba memasuki ndalem.

" Nggih, mas. Abah dimana?" tanya ning Husna.

"Iku lho, Dek ... Nang ngajengan ( di depan)," tunjuk gus Asif luar ndalem.

Ning Husna beranjak pergi meninggalkan kami berdua, dan aku pun berniat kembali ke pondok (pesantren) untuk mempersiapkan kegiatan diniyah pagi.

"Mbak!" Panggil gus Asif.

"Nggih, Gus. Ajeng ngersakke nopo," tanyaku.

Di pesantren, pada keluarga kyai atau tamu jawa, dianjurkan untuk berbahasa kromo untuk menjaga tutur bahasa dan kesopanan. Kecuali kalau dengan adik-adik kecil yang belum bisa berbahasa kromo, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, untuk menyelaraskan komunikasi. Terkadang, karena gugup. Bahasaku menjadi campur aduk tidak karuan karena bingung .... Ya.. seperti itu.

"Nganu, Mbak ... Tahu sorban hijau apa nggak, Mbak?" tanya gus Asif.

"Niku ... Ada di almari, Gus. Kerso (mau) saya ambilkan?" tawarku.

"Wis, ndak usah mbak. Tak ambil sendiri aja. Suwun yo Mbak," katanya sambil berlalu meninggalkanku yang kini sendiri.

Kukira, aku duluan yang beranjak dari ruangan ini. Ternyata Tuhan berkehendak lain🤭🤣.

🌻

Asrama putri telah sepi, ketika aku masuk kedalamnya. Apakah sudah waktunya sholat dzuhur berjamaah? Ah, sial kali hariku, batinku. Tadi, di kelas bisa-bisanya aku tertidur disaat jam terakhir, kebetulan pelajarannya kimia yang diajar oleh BuKim, nah, nggak tau gimana sampai sekarang pun aku belum bisa berkawan baik dengan pelajaran itu.

Padahal aku seorang anak IPA, lho. Sudah seharusnya bertemu dengan pelajaran kimia, fisika, biologi, dan pelajaran yang berbau hitung-menghitung lainnya. Entah mengapa, aku lebih senang bertemu sosiologi, penjaran agama, atau apalah.

Aneh, kan😂

Btw, kita lanjutin ceritaku yang tadi, pas itu enggak ada yang mbangunin pula, hadeeh..

Bangun-bangun udah kagak ada orang, kesel kali. Yasudahlah. Pulang ke asrama pun juga kagak ada orang, pada kemana sih?

Ceklek, bunyi pintu berdecit.

"Assala ... mu'alai-kum, " Kataku sambil membuka pintu.

Lah? Kosong. Udah pada ke aula berarti, aku harus cepet nyusul. Dengan segera aku mengambil wudhu dan mukena serta melesat ke aula. Sampai di depan pintu aula, kok gelap? Batinku.

Masuk enggak ya..

Masuk..

Enggak..

Masuk..

Enggak..

Masuk ajalah, ya?

Bismillahirrahmanirrahim..
Kubuka pintu dengan perasaan yang deg-degan.

Oke, kita buka..

Satu..

Dua..

Tiigaa..


Ceklek, krieeet..
Pintu terbuka

"Kan, beneran gelap?! " Gumamku.

"Okelah sholat sendiri enggak apa-apa, " Lanjut ku.

Omong2, kok aku nggak kepikiran mau nyalain lampu dulu ya?

Ah, bodo amat lah..

Allahuakbar, aku mulai takbir..
....

Disepanjang sholat, kok kedengeran kaya ada bisikan gitu, eh ngeri.

...


Udah lah
Mungkin godaan syetan kali ya?

...



...





Salam,

"Assalamu'alaikum warahmatullah," Ucapku sambil menoleh ke kanan.

"Assalamualaikum warahmatullah, " Ucapku lagi sambil menoleh ke kiri.

Tiba-tiba....

"Waalaikumsalam warohmatulohi wabarakatuh!"

"Astaghfirullah" Teriakku sambil menutup mata.

Tbc...

Kilas Author


Beda matanya ditutup sama enggak itu apa to?

Kan tempatnya udah gelap dari tadi woy?!

Lha kok? Kok gitu thor?

Ada deh

Sebening Cinta Rayhana (✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang