Erlangga Diwantara melirik Diaz yang sedang menggiring dirinya untuk masuk kedalam ruangan, hentah ruangan apa yang Angga lihat banyaknya kursi dan meja yang berisikan manusia yang sedang makan.
Mata Angga membulat, ia akan makan diluar lagi. Namun tempat ini lebih bersih dibandingkan tempat saat itu makan di luar dengan Diaz. Sudah beberapa hari Diaz selalu menjemput Angga, karena Pak Sudi sedang cuti kerja. Biasanya Diaz langsung membawa pulang Angga. Kali ini, tidak.
"Ayo," ajak Diaz.
Angga terus memimpin didepan, dengan Diaz dibelakangnya menggiring kemana harus Angga langkahkan kakinya.
"Kita mau makan di lual, Pa?" tanya Angga tak bisa menahan rasa penasaranya.
Diaz berpikir sejenak. "Enggak."
"Telus ngapain kita kesini?"
"Aa katanya mau ketemu Om Risyad," jawab Diaz.
Angga membulatkan bibirnya, pertanda bahwa ia mengerti.
"Disini?"
"Iya," singat Diaz.
"Kenapa gak disuluh ke lumah aja Om Kakak Icad-nya?" heran Angga.
"Enggak," repot. Cuman jadi benalu, lanjut Diaz dalam hati.
"Hai!" Risyad sedang melambai-lambaikan tangannya ke arah Diaz dan Angga, di tempat duduknya Risyad bangkit dan tersenyum. Mengabaikan banyak pasang mata yang meliriknya, sungguh Risyad sudah hilang urat malunya.
Angga tersenyum melihat seluit Risyad, sedangkan Diaz memasang wajah tak perdulinya. Angga dengan semangat menghampiri Risyad.
"Halo, Om Kakak Icad," sapa Angga.
Risyad melotot tak percaya. Om Kakak Icad, panggilan gila macam apa ini.
"Kakak Risyad, Elang," ralat Risyad.
"Angga, Om," ralat balik Angga.
Risyad berdecak kesal. Angga ini tidak seperti bapaknya, jika Angga bawel maka Diaz diam.
"Kakak, Elang," ngotot Risyad.
"Gak usah pake otot, lo malah nyolot. Bener kok, Om, gak pantes disebut Kakak. Terlalu tua," cibir Diaz.
Risyad membuang nafas pasrah. Perhatiannya jatuh kepada Angga yang masih berdiri.
"Mau duduk gak?" tanya Risyad basa-basi.
Angga menganggu menjawabnya. "Syaratnya tos dulu," ucap Risyad.
Angga sudah akan menyatukan telapak tangan kecilnya ke telapak besar milik Risyad, namun sang empun malah membalikan tangan dan menggaruk belakang kepalanya. Ya, Angga bertos dengan angin kosong.
"Om, ih!" Wajah Angga memerah antara malu dan kesal.
Risyad tertawa karena telah berhasil mengerjai Angga. "Ayo duduk," ajak Diaz pada Angga.
Diaz memanggil pelayan kafe untuk memesan. "Aa mau makan?"
"Enggak, tadi udah makan bekal dali Nenek," tolak Angga.
Risyad sendiri susah memesan sebelum Diaz datang, jadi sekarang yang Risyad lakukan yaitu sedang meniup-niup kopi panas yang hendak ia minum.
"Mau minum apa?" Diaz pastikan bahwa Angga kehausan, bayangkan saja suasana kota yang padat ini saat sedang panas-panasnya.
"Teh tawal," kata Angga tegas.
Uhuk uhuk.
Risyad yang sedang menyesap kopinya, tersedak kala mendengar permintaan Angga. Disela-sela batuknya, Risyad masih sempat tertawa, lama-kelamaan tawa itu semakin menjadi. Pelayan kafe pun sama terkejut, terlihat dari mata yang membola tak percaya. Seperti ingin tertawa tapi takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dad [END]
RandomMeski udah End, tetep vote ya... Semua orang memiliki kelemahannya tersendiri. Begitu pula dengan Diaz, terlahir sebagai laki-laki cuek terhadap lingkungan dan sekitarnya. Erlangga Diwantara, anak yang belum genap berusia 5 tahun. Harus ditinggal o...