My Dad-13

13.2K 1.2K 50
                                    

Byur!

Air yang awalnya tenang, langsung menciptakan gaduh. Diaz yang sedang berjemur dipermukaan air, merasa air bergoyang tak tentu arah, membuat keseimbangan Diaz ikut goyah. Dengan segera  Diaz melepaskan earphone Jabra Elite 75t yang terpasang di telinganya, matanya terbuka melihat apa gerangan yang mengganggu Diaz berjemur.

Mata Diaz membola sempurna melihat tubuh kecil Angga, yang hampir tenggelam di air. Gelembung-gelembung udara mulai bermunculan di permukaan air membuat Diaz berenang dengan laju yang cepat.

Diaz semakin mendekati Angga, kemudian menarik Angga untuk ketepian. Anak itu masih tersadar, bahkan tangannya mulai memeluk Diaz dengan kepala yang bersender pada bahu lebar Diaz. Angga terbatuk-batuk karena meminum air kolam.

Diaz sudah membawa Angga ketepian, ia mendudukan Angga disisian kolam renang. Diaz sendiri sudah naik kesamping kolam, menyaksikan bagaimana Angga terbatuk-batuk dengan mata memerah.

Nafas Diaz memburu dengan cepat, bersyukur Diaz tak memiliki riwayat penyakit jantung karena anaknya yang satu ini selalu membuat ia khawatir berlebih. Air yang berjatuhan dari ujung rambut, dengan earphone yang menggantung di lehernya membuat Diaz semakin tampan untuk ditatap.

"Erlangga! Ngapain kamu nyebur ke kolam? Jangan main-main! Kolamnya dalam, kamu bisa aja mati gara-gara tenggelam!" ujar Diaz penuh amarah.

Angga tak menyahut, tenggorokannya terasa sakit yang membuat Angga terus terbatuk.

"Kamu ngapain main disini, ha? Tau gak?! Bahaya anak kecil kalo tenggelam! Kamu tuh jangan nakal!" Diaz semakin berapi-api.

"Pak Daiz." Pak Sudi yang berada di halaman depan mendengar keributan, langsung menghampiri sumber suara.

"DIAM!" bentak Diaz tak kenal mangsa, semuanya kena imbas.

"Kamu ngapain disini, Angga?" tanya Diaz penuh penekanan.

Angga sudah menangis sedari tadi karena tenggorokannya sakit dan tidak berhenti terbatuk.

"Jawab! Angga!" Lagi Diaz membentak Angga, tak memikirkan anak itu yang menggigil akibat kedinginan.

"Yaz," panggil wanita paruh baya. Yang sedari tadi menyaksikan betapa khawatirnya Diaz tetapi salah mengekspresikan, jatuhnya menjadi marah.

Saat tadi Pak Sudi ke halaman depan rumah, alasannya membukakan pintu gerbang untuk Bi Diah. Seharusnya tadi tak perlu berlama-lama bercengkrama dengan Bi Diah di halaman depan. Wajar saja jika Angga mencari ke dapur, tak mendapati sang empunya.

"Aa masih kecil. Jangan dibentak-bentak, kamu gak kasihan Aa udah gemeteran gini?" Bi Diah menyelimuti tubuh kecil Angga dengan handuk berwarna biru.

Bi Diah akan menuntun Angga untuk memasuki rumah, ditahan oleh tangan mungil yang bergetar.

"Pa.... maafin Aga," ujar Angga dengan suara seraknya.

"Uhuk, uhuk." Angga terbatuk pelan, lalu memuntahkan air kolam yang tak sengaja ia telan.

"Aga tadi cuman mau selamatin Papa, Aga takut Papa kayak Mama. Enggak bisa belenang, tadi juga Papa ngambang-ngambang kayak Mama waktu itu," ucap Angga dengan suara lirih dan serak.

Mata anak itu memerah karena tenggelam dalam air, tenggorokannya juga sakit, tubuhnya menggigil kedinginan. "Ayo, A. Kita bilas," ajak Bi Diah. Meninggalkan Diaz serta Pak Sudi.

"Kalo begitu saya duluan, Pak. Mari," pamit Pak Sudi.

Pak Sudi tahu selain Diaz yang tak suka kegiatan berjemurnya diganggu, majikannya itu sedang khawatir. Maka pamit adalah pilihan yang tepat.

****

Angga sedang menangis. Dari tadi ia menahan agar air mata itu tak tumpah, sangatlah susah. Sekarang anak itu tengah berada di kamarnya. Saat ada Bi Diah disini, Angga sama sekali tak menangis. Tetapi setelah ditinggal sendiri Angga merasa sedih, niat hati ingin menolong malah dimarahi.

Sebut saja Angga cengeng karena menangisi hal sepele, namun terngiang kembali bentakan Diaz. Angga kira papanya tak akan membentak seperti mamanya, nyatanya sama saja.

Angga menangis tersedu-sedu sarat akan kesedihan, anak itu semakin terisak dengan pemikiran yang bercabang. Apakah papanya akan membuangnya kembali ke rumah mamanya, atau tak mau memperhatikan Angga lagi karena kesalahannya.

"Maaf Papa," racau Angga dengan suaranya yang masih serak.

Angga membaringkan tubuhnya, dengan posisi meringkuk. Angga memandangi kamar dengan pandangan sendu, tak terasa air matanya mengalir sendiri. Angga sudah lelah dengan tangisnya, tapi matanya tak lelah mengeluarkan air mata.

"Om Icad, bantu Aga," ucap Angga dengan memejamkan kedua matanya.

Angga mengingat jelas, bagaimana Risyad memberi satu kemudahan dalam masalahnya.

"Kalo lagi perlu bantuan itu gampang. Tinggal bilang aja, 'Kak Icad, bantu Elang.' Nanti Kak Icad langsung datang terus selesaikan masalah kamu. Hebat, kan?" Pesan dari Risyad beberapa hari yang lalu saat di cafe.

Nayatanya tidak sesuai dengan perkiraan, itu hanyalah sekedar ucapan penghibur yang harus Angga telan dalam-dalam. Suara tangis anak itu kembali terdengar, kali ini lebih memilukan.

"Papa, Aga gak mau main-main, kok, tadi Aga mau bantu Papa bial kelual dali kolam. Kalo Aga gak bisa bantu Papa, bialin kita ngambang-ngambang beldua," ucap Angga tersenggal oleh tangisnya.

"Aga nakal, maafin Aga..."

Terlalu lama bersedih mata sayu itu pun, perlahan-lahan memejam. Terbuai akan mimpi yang indah, deru nafas Angga yang teratur menandakan ia sudah tertidur.

Diaz menghela nafas gusar, ia menatap Angga yang tertidur membelakanginya dengan tatapan nanar. Sungguh tanpa ada niat sedikit pun dihatinya, membuat Angga takut.

Diaz terlalu khawatir dengan keadaan putranya yang terus terbatuk, hingga lepaslah emosi Diaz. Dari saat Bi Diah keluar kamar Angga, Diaz sudah memperhatikan anaknya di daun pintu.

"Maafin Papa, Aa," kata Diaz sambil menutup pintu kamar Angga.

****
TBC

Sedikit? Sengaja biar rasa penasaran kalian yang kemarin terjawab.

Jujur aku gak bisa gantungin kalian.. Aku semaleman gak tidur karena merasa bersalah gantungin kalian:(
Aku juga mau bilang seminggu kedepan aku fokus ulangan, jadi aku gak tau kapan up... smoga kalian mau menunggu

Angga: see you:*

My Dad [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang