Tiga hari sudah berlalu, kejadian itu masih membekas di hati Angga. Sudah sejak saat itu Angga juga tak pernah melihat Diaz ada di rumah. Saat bertanya kepada Bi Diah tentang keberadaan Diaz, wanita lansia itu hanya menjawab bahwa sang papa berada di Pekanbaru.
Angga tak tahu jarak dari rumah hingga ke Pekanbaru itu seberapa jauh, sampai Diaz tidak pulang-pulang.
"Erlangga, kenapa duduk disini?"
Angga mengangkat pandangannya, memperlihatkan sorot layunya. "Enggak," jawab Angga singkat dan tak nyambung.
"Ayo, Sayang, gabung sama yang lain," ujar Bu Hera, sambil mengelus lengan kecil Angga.
Anak itu beberapa hari ini terlihat begitu tidak bergairah, seperti memiliki masalah. Namun, Bu Hera merasa tak mungkin, Angga yang terlalu muda untuk duduk di bangku TK ini memiliki masalah.
Angga tak menjawab, anak itu fokus kembali ke dalam lamunannya. "Erlangga," kata Bu Hera menyadarkan Angga.
"Ayo, gabung. Kita ke taman." Bu Hera kembali membujuk Angga yang hanya diam.
Angga mengikuti langkah guru yang sudah berkepala tiga itu dengan langkah gontai. Angga takut. Takut Diaz meninggalkannya seperti Dessi yang melupakannya.
Bu Hera membawa Angga ke taman sekolah, ia takut anak didiknya merasa bosan jika terus belajar dalam kelas. Bu Hera juga sudah mengundang orangtua atau wali murid anak didiknya, guna membahas perkembangan, keserasian, dan kekompakan anak muridnya.
Anak-anak yang lain sudah duduk dengan posisi melingkar, di taman yang beralas tikar. "Ayo, Erlangga duduk."
Angga manut saja, anak itu duduk diantara Arya dan Langit, posisinya berada di tengah-tengah kedua orang itu. Arya menatap malas Angga, sedangkan Langit menatapnya heran. Sejak kemarin lusa, saat Angga bersekolah kembali. Arya and the gang sudah menjahili, mengusil, dan mengejek Angga, namun tak di gubris oleh empunya.
"Sambil nunggu Ibu atau Ayah kalian, mending kita nyanyi bareng. Mau?" usul Bu Hera.
"MAU!" Dengan serempak mereka menjawab sama.
Semua anak bernyanyi dengan ceria. Bahkan kelewat senang ada yang bernyanyi dengan mengeluarkan suara terkerasnya, tanpa memperdulikan nasib pita suaranya.
Angga tidak ikut bernyanyi, anak itu berkelana kembali kedalam lamunanya. Bi Diah berjanji akan datang ke sekolah, harapannya Bi Diah memenuhi janjinya.
****
Orangtua siswa sudah banyak berdatangan, Angga melirik Bi Diah yang berbeda penampilan hari ini. Biasanya meski mengantar jemput Angga, wanita renta itu selalu memakai daster, sekarang Bi Diah memakai kebaya warna hijau dengan sinjang hitamnya. Seperti pakaian zaman dahulu, berbeda dengan orangtua yang lain berpenampilan sebagai ibu-ibu sosialita.
"Itu walinya Angga?" bisik salah satu orangtua murid memperhatikan penampilan Bi Diah.
"Iya, kayaknya. Waktu Angga daftar sekolah, di daftarin sama Bu Mira, Mamanya Azril," timpal yang lain.
"Iya, mungkin pembantu di rumah Bu Mira kali. Mungkin aja, itu neneknya Angga."
"Orangtua Angga gak pernah keliatan, ya, kayak orang penting, sok sibuk." Ibu-ibu muda itu berkumpul, mulai menggosipakan status Angga.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dad [END]
RandomMeski udah End, tetep vote ya... Semua orang memiliki kelemahannya tersendiri. Begitu pula dengan Diaz, terlahir sebagai laki-laki cuek terhadap lingkungan dan sekitarnya. Erlangga Diwantara, anak yang belum genap berusia 5 tahun. Harus ditinggal o...