22

5.5K 364 20
                                    

Instagram: @laras.sptr
Happy reading ❤

Vote and comment

•••

Berita tentang penculikan Key sudah sampai ke telinga murid dan guru-guru Taruna School. Para guru pun mulai berdatangan untuk menjenguk Key.

Tidak ingin hal seperti ini terulang kembali. Taruna School pun kembali memperketat keamanan lingkungan sekolah. Seperti menambah CCTV di depan gerbang sekolah dan sudut-sudut tersembunyi, menambah security dan keamanan lainnya.

Seperti saat ini, Taruna School membuatkan kartu khusus untuk siswa-siswi dan juga wali murid sebagai akses masuknya ke dalam sekolah elit itu. Hanya orang yang memiliki kartu khusus yang dapat keluar masuk Taruna School.

Zoe dan Zie baru saja tiba di sekolahnya. Dua laki-laki yang memiliki paras wajah yang sama itu melangkah menuju ruang kelas mereka dengan lesu.

"Eh, kembar tak sesifat, emang bener, ya, berita tentang Key?"

Zoe menghentikan langkahnya kala mendengar suara yang terasa tak begitu asing di telinganya. Begitu juga dengan Zie yang ikut menghentikan langkahnya.

Mereka memutar badannya menghadap ke belakang. Mendapati Refa dan Kia yang berjalan menghampiri mereka. Zoe terus menatap Kia dengan tatapan tajam membuat gadis itu menunduk takut.

Zie yang menyadari perubahan sikap kakaknya langsung menyenggol lengan Zoe. "Dia nggak ada sangkut pautnya," ujar Zie berbisik.

"Terserah," sahut Zoe kemudian berlalu meninggalkan Zie.

"Kenapa tuh kembaran lo?" tanya Refa seraya menunjuk Zoe dengan dagunya.

Zie menggeleng. "Kayak nggak tahu sifat dia aja, Fa," celetuk Zie. Tatapannya beralih menatap Kia yang sedari tadi terus menunduk.

Refa mengangguk. "Gue mau ke kantin dulu, lo mau ikut?" tanya Refa.

Zie menggeleng. "Nggak, gue ada perlu sama Kia," ucap Zie yang mampu membuat Kia mendongak.

Refa mengangguk, kemudian berjalan meninggalkan Kia dan Zie. Padahal suasana di koridor sangatlah ramai dan berisik. Namun, entah kenapa Kia merasa sangat hening dan sepi.

"Ada perlu apa?" tanya Kia.

Zie tersenyum. Sedetik kemudian ia menyambar lengan Kia dan membawanya menjauh dari koridor itu.

•••

Di rumah sakit, Key tengah duduk seraya bersandar pada kaca yang memperlihatkan ramainya kota itu. Berbagai macam model kendaraan berlalu lalang seakan berlomba-lomba untuk menjadi juara. 

Terlalu fokus melamun membuat gadis itu tak sadar jika seseorang baru saja masuk ke dalam ruangannya. "Key, sarapan dulu, Nak."

Key menoleh. Mendapati mommy, grandma dan adiknya sudah tiba dengan kantung yang berisi makanan di masing-masing tangan mereka.

"Mommy bawa bubur kesukaan kamu, mommy suapin sini," ucap Lia.

Key hanya menurut. Perutnya pun sudah terasa sangat lapar mengingat dari kemarin ia belum makan apa-apa.

Dengan sangat telaten Lia menyuapi Key. Wanita itu juga begitu sabar membujuk Key untuk memakan obat yang sudah dianjurkan oleh dokter.

Di sofa, ada Meira yang sedang menemani Ryan sarapan. Key tersenyum tipis saat melihat Ryan yang tengah menyantap sarapannya sendiri.

Seakan mengerti keadaan mommy-nya yang tengah merawat sang kakak. Bocah berusia tiga tahun itu menyantap sarapannya di temani sang nenek dan juga film kartun kesukaannya.

Lia mengikuti arah pandangan Key. Wanita itu ikut tersenyum. Ada rasa bangga di dalam hati Lia kala melihat anak-anaknya tumbuh menjadi anak yang mandiri. Itu semua tak luput dari campur tangan sang suami yang memang begitu tegas dalam mendidik anak-anak mereka.

•••

Di lain tempat, Zie membawa Kia ke perpustakaan. Menurutnya, hanya di ruangan perpustakaan yang benar-benar sepi dan sangat jarang di datangi para murid di pagi hari.

"Santai aja, Ki. Nggak usah tegang gitu," celetuk Zie yang sedari tadi menyadari ketegangan Kia.

"Nggak!" elak Kia cepat.

"Gue pikir lo udah tahu, 'kan masalah yang menimpa adik gue? Kalau lo nggak tahu berarti lo ketinggalan berita banget, Ki. Bahkan dari guru-guru sampai murid Taruna School aja udah tahu," ujar Zie.

Zie berjalan mendekati salah satu rak yang memiliki banyak buku-buku di dalamnya. "Sebagai seorang kakak gue ngerasa gagal buat ngejagain adik gue, Ki. Gue sama kakak kembar gue ngerasa nggak berguna banget. Lo tahu, 'kan Key itu satu-satunya anak perempuan di keluarga gue? Mungkin, kalau lo udah ngerasain jadi orang tua lo baru tahu gimana sakitnya anak yang udah lo rawat dengan kasih sayang dan cinta, lo jaga sebaik mungkin, dan tiba-tiba ada seseorang yang nyakitin anak lo itu. Sakit? Hancur? Pasti! Itu yang keluarga gue rasain saat ini, Ki."

Kia tidak berani menjawab. Ia hanya mendengarkan ocehan Zie dengan tenang. Walaupun keringat sudah mulai bercucuran dari pelipis gadis itu, tetapi sebisa mungkin ia menunjukkan ekspresi tenang.

Zie berjalan mendekati Kia. Mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah gadis itu. "Lo tahu apa yang bikin keluarga gue makin sakit dan belum bisa nerima kenyataan, Ki?"

Kia menggeleng cepat seraya menatap mata Zie. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.

"Om Vito," sahut Zie.

Kia memejamkan matanya. Ia tidak menyangka jika Zie akan mengetahui secepat ini. Ia sendiri juga tidak menyangka jika papanya ikut andil dalam penculikan itu.

Sebisa mungkin Zie menahan amarahnya untuk tidak meledak di depan gadis yang tengah memejamkan mata di hadapannya. "Kaget? Nggak nyangka? Sama, Ki. Gue juga nggak nyangka banget," ucap Zie lirih.

Setetes air mata keluar dari pelupuk mata gadis itu. Mengalir membasahi pipi chubby-nya. "Maafin papa gue, Zie," ujar Kia lirih.

Melihat ada air mata yang mengalir di pipi gadis itu sontak saja membuat Zie merasa bersalah. Tanpa di sadari, tangannya terulur dan menghapus air mata Kia. "Jangan nangis, lo nggak ada sangkut pautnya di sini. Gue cuma mau berbagi cerita sama lo."

"Atas nama papa gue, gue minta maaf sebesar-besarnya."

"Akhir-akhir ini emosi Zoe lagi nggak stabil. Gue harap lo ngerti keadaan saat ini dan nggak di masukin ke hati apa pun yang di ucapin sama Zoe," ujar Zie mengingatkan Kia.

Kia mengangguk. "Gue ngerti,"

"Jangan ngejauh dari kita, Ki. Gue nggak mau karena hal ini lo ngejauh dan ngerusak persahabatan kita. Masalah ini biar orang tua, polisi, dan hukum yang menyelesaikannya. Anggap aja seperti nggak terjadi apa-apa, ngerti?"

Kia mengangguk paham. Respon dari Zie sungguh jauh dari apa yang ia bayangkan. Ia pikir Zie akan mencacinya, membenci dan yang lebih parahnya lagi tidak mau bersahabat dengannya. Namun, kenyataannya laki-laki itu dengan senang hati tetap menerima dirinya sebagai sahabat. Sungguh, benar-benar di luar pikirannya.

"Makasih, Zie," ujar Kia.

Zie mengangguk. "Ayo balik ke kelas, bentar lagi bel masuk bunyi."

POSSESSIVE BROTHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang