Pukul sepuluh malam, Sekar baru kembali lagi ke rumah. Langkahnya terhenti saat netranya melihat Regan yang tengah duduk di ruang tengah dengan bersedakap dada dan tatapannya yang tajam.
"Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?" tanya Regan. Aura dingin yang menguar dari laki-laki itu membuat Sekar bergidig ngeri.
Kepala Sekar tertunduk, dia menyadari kesalahannya yang pergi selama itu apalagi hanya pamit melalui selembar kertas.
"Aku nanya, bukan nyuruh kamu nunduk." Tubuh gadis yang tengah dilanda gugup dan takut itu berjangkit kaget saat Regan sudah berdiri di hadapannya dan mendongakkan dagunya yang membuat Sekar mau tidak mau menatap mata yang dipenuhi amarah itu.
"A-aku dari rumah sakit," cicit Sekar, matanya terpejam erat tak sanggup menatap lebih lama netra gelap di depannya.
"Kenapa tidak bilang dan hanya pamit lewat surat? kamu pikir kamu siapa bisa pergi seenaknya?" Regan mendekatkan wajahnya dengan Sekar.
"Ingat!" Sekar membuka matanya dan menatap Regan dengan takut.
"Di dalam rahimmu, ada anakku. Aku tidak peduli apa yang kau lakukan di luar sana. Tapi kau membawa anakku. Kalau sampai terjadi sesuatu pada anakku, akan ku pastikan hidupmu hancur," desis Regan.
Mata Sekar berkaca-kaca, setiap perkataan yang diucapkan lelaki itu menghujam tepat di jantungnya, perih sekali.
Mengapa Regan begitu tega berkata sekasar itu padanya? anak yang tengah dikandungnya bukan hanya anak lelaki itu, tetapi juga anaknya. dan suaminya itu dengan begitu mudah mengatakan seolah-olah dia akan mencelakakan anaknya.
Bagaimana bisa Regan sekejam itu? lebih dari siapapun dia yang paling menyayangi anaknya. Dia yang mengandung, dia juga yang akan melahirkannya nanti. Meski kehadirannya tidak dia inginkan, namun bukan berarti dia sampai hati untuk menyakiti.
Sekar terduduk di lantai sesaat setelah Regan pergi meninggalkannya, hatinya hancur. Dia tidak menyangka dirinya serendah itu di mata lelaki yang telah menikahinya.
Setelah puas menumpahkan tangisnya, Sekar melangkah gontai ke kamarnya. Rasa lelah yang mendera tubuhnya berkali-kali lipat setelah menangis.
Tanpa membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian, Sekar langsung membaringkan tubuhnya ke kasur dan memejamkan matanya. Ia tak peduli walaupun tubuhnya terasa lengket, rasanya sudah benar-benar tak sanggup berjalan walau hanya ke kamar mandi.
***
Regan duduk menyandar di kursi putar yang biasa dia gunakan untuk bekerja, tangannya menjambak kasar rambutnya dan menggeram frustasi. Bagaimana bisa dia mengatakan hal sekejam itu pada Sekar? sungguh, dia benar-benar merasa bersalah.
Tidak seharusnya dia mengucapkan kalimat terkutuk itu. Dia yakin hati gadis itu pasti sangat terluka mendengar perkataannya. Seharusnya dia hanya perlu mengungkapkan kekhawatirannya namun yang terucap justru kata penuh duri.
Berjam-jam lelaki berahang tegas itu termenung di ruangan kerjanya, mengapa dirinya begitu sulit untuk mengungkapkan kekhawatirannya pada Sekar padahal bila hal itu terjadi pada Arumi, ia begitu mudah dalam mengungkapkan dan mengekspresikan dirinya. Tapi kenapa pada wanita yang saat ini tengah mengandung anaknya itu begitu sulit?
Regan mendongakkan kepalanya, tak terasa sudah tiga jam dirinya berada di ruang kerjanya yang itu berarti malam sudah semakin larut. Regan beranjak dari duduknya dan kembali ke kamar.
Langkah Regan terhenti di depan pintu kamar Sekar, niatnya yang ingin segera kembali ke kamarnya dia urungkan. Dibukanya pintu bercat cokelat itu dengan sangat pelan dan hati-hati agar tak menimbulkan suara.
Regan melangkah, mendekat pada Sekar yang terbaring dan duduk di sampingnya. Laki-laki itu tertegun saat melihat setitik air di sudut mata gadis itu. Regan merasa dirinya pasti sudah terlalu menyakiti sang istri hingga dalam tidurnya sekalipun calon ibu dari anaknya itu meneteskan air mata.
Perlahan jemarinya terangkat dan mengusap lembut air mata itu, rasa bersalah semakin mencengkram erat hatinya melihat kesedihan gadis yang masih terlelap itu. Regan merasa semakin buruk sebagai lelaki dan suami.
"Maafkan aku," bisik Regan di telinga Sekar. Entah setan apa yang merasuki dirinya hingga dia ikut membaringkan tubuhnya di samping sang istri dan memeluknya erat.
Tubuhnya menegang saat Sekar membalikan tubuhnya dan memeluk perutnya. Nafas hangat yang menyapu lehernya membuat tubuh Regan meremang.
"Akh... Gadis ini, apa dirinya tidak sadar perbuatannya membuat sesuatu terbangun," gumam Regan dalam hatinya.
***
Sekar menggeliat pelan dan mengerjapkan matanya, saat mata itu terbuka sempurna-gadis itu hampir saja melompat dari atas kasur kalau saja lengan Regan tidak menahannya.
Sekar membulatkan matanya tak percaya, bagaimana bisa Regan ada di kamarnya dan tidur di atas kasur yang sama dengannya.
"Hey, kenapa?" tanya Regan karena melihat Sekar yang masih terdiam. Laki-laki itu memahami istri keduanya itu pasti terkejut dengan keberadaannya.
"Ha-haus." Hanya kata itu yang mampu terucap dari bibir tipis Sekar. Lidahnya kelu, tak mampu untuk berkata-kata. Terlalu terkejut saat mendapati kehadiran sang suami di sampingnya.
Regan beranjak duduk dan mengambil segelas air yang ada di nakas lalu memberikannya pada Sekar yang langsung ditenggak habis oleh gadis itu.
"Maaf, aku tahu kamu pasti kaget lihat Aku ada di sini," ucap Regan seraya meletakkan kembali gelas yang sudah kosong di atas nakas.
Sekar menatap Regan dengan tatapan yang sulit di artikan, dia masih belum mampu mencerna situasi yang terjadi saat ini.
"Aku minta maaf, aku tahu perkataan ku terlalu kasar dan membuatmu terluka. Aku minta maaf." Regan menatap lekat Sekar, menunggu reaksi yang akan diberikan gadis itu.
Melihat Sekar yang hanya diam Regan kembali melanjutkan ucapannya, "A-aku... Hanya terlalu mengkhawatirkan mu." Dapat Regan lihat keterkejutan di mata Sekar walau hanya sesaat.
"Yah, aku terlalu mengkhawatirkan mu, kau pergi dari pagi hingga malam tanpa memberi kabar sedikitpun. Aku mengkhawatirkanmu... Dan anak kita." Tangan Regan mengelus lembut perut Sekar yang masih datar.
"Seharusnya aku mengatakannya, tapi aku justru mengucapkan kata-kata yang sangat kejam kepadamu. Maafkan aku, aku hanya bingung dan tidak tahu bagaimana mengungkapkannya." Regan menghapus air mata Sekar dengan lembut.
Melihat air mata itu, ingin sekali rasanya Regan membenturkan kepalanya pada dinding. Dia tidak mengerti apa yang terjadi padanya tapi dia merasa benci saat melihat air mata itu keluar dari mata Sekar.
"Sekali lagi maafkan aku. Sekarang tidurlah." Regan mencium kening Sekar lama dan membaringkan tubuh istri keduanya.
Regan membawa tubuh Sekar mendekat, meletakkan kepala gadis itu di atas lengannya. Sebelah tangannya memeluk erat pinggang ramping istrinya.
Seperti terhipnotis, Sekar menuruti perintah Regan tanpa melakukan penolakan sedikitpun. Melihat penyesalan di mata sang suami, Sekar tak bisa lagi berkata-kata.
Matanya terpejam merasakan kehangatan dalam dekapan suaminya. Entah ini salah atau benar, tapi Sekar merasa nyaman saat berada di posisinya saat ini. Pelukan Regan membuat hatinya menjadi lebih tenang.
NOTE : BACA PART SELENGKAPNYA HANYA DI KBM APP. OVER BERBEDA DENGAN DI WATTPAD.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pernikahan Impian
Aktuelle Literatur[ REPOST ] SELESAI Mencintai dalam diam bukanlah sesuatu yang mudah, tapi hal itu sudah menjadi pilihan Sekar. Meski hatinya patah berkali-kali Sekar tetap memilih bungkam tentang rasanya. Perbedaan status sosial yang sangat jauh membuat Sekar tak...