🌟○○●♧●○○🌟
Aku berdiri tegap beberapa meter dari satu sosok yang begitu ku kagumi selama empat tahun terakhir ini,
melihat dia terduduk ditanah dengan begitu rapuh membuat hatiku kian teriris. Seseorang yang angkuh, sombong dan pendendam ternyata memiliki air mata kepedihan juga.
Aku tidak berani mendekat, jaga-jaga agar aku tidak kembali dibentak. Bahu Jeno bergetar kuat, kontras sekali dengan tangisannya yang tak terdengar.
"Kak-"
"Diem!" Saut Jeno cepat, agak berteriak, membuat lidahku kelu seketika.
"Anu, k-kita udah dua jam di sini." Sebagai seorang manusia dan terlebih lagi wanita, aku cukup risih dengan angin-angin pemakaman yang tidak bersahabat.
"Gue gak pernah nyuruh lo buat nunggu, kalo lo mau pergi, silahkan. Demi Tuhan gue gak larang dan gue gak peduli semua tentang lo." Kata-kata penuh penekanan itu membuat kakiku yang tadinya melangkah mendekat, mulai berhenti mendadak.
Aku tidak akan pergi. Apapun yang terjadi, aku akan tetap disini untuk menunggu hatinya terbuka,
walau sebenarnya hatiku turut terluka.
"Hehe, maaf kak. Aku tungguin terus kok."
Jeno berdiri, menghapus jejak-jejak air matanya, kemudian mengahadap kearahku bersama tatapan tajam bak burung elang emas, "Lo pulang sendiri, gue mau jemput Lia."
"Kak tapi akukan gak-"
Pergerakan Jeno selanjutnya membuatku bungkam seribu bahasa, dia mendekat, mencekram kerah seragamku sampai benar-benar kusut dibuatnya.
"Gue muak harus sok baik ke keluarga lo. Jadi jangan anggep kebaikan gue itu tulus, lo gak ada apa-apanya di banding cewek gue."
Aku hanya bisa kembali menatap mata Jeno dengan teduh, manik yang terlihat melirik sana sini untuk memastikan tidak ada seorangpun yang menyaksikan tindakan gegabahnya ini.
Lalu dia menghempaskanku, membuat aku sedikit limbung dengan perasaan yang linglung.
Jeno pergi,
meninggalkanku bersama sinar matahari sore yang mungkin sebentar lagi akan merubah diri menjadi malam.
Aku tersenyum kecut, menertawakan diriku sendiri yang entah kenapa terlihat seperti seorang pengecut, "Om, anaknya nakal. Nanti suatu saat kalo Om ketemu sama Jeno, hukum dia ya."
Kataku pada nisan berwarna kelabu yang terawat rapih diatas tanah merah.
Sempat berdo'a sejenak sebelum akhirnya meninggalkan pemakaman dengan hati yang penuh suara dentuman.
••○••
Aku menatap aspal jalanan, menulikan telinga kala kelakson mobil bersautan layaknya perseteruan.
Mau tak mau aku harus berjalan setidaknya satu kilometer untuk benar-benar sampai dirumah dan-
"Heh! Diem-diem bae, gue ngelaksonin dari tadi. Budeg lo?" Terlihat Lucas mensejajarkan mobilnya disampingku, dia tidak begitu peduli pada suara nyaring dari belakang yang memintanya untuk tidak menciptakan kemacetan dijalan.
Lucas mengebulkan kepalanya keluar, "Sabar anjing! Gue lagi ngomong sama calon istri nih!"
"Cas!" Aku buru-buru naik kedalam mobilnya. Bukan bermaksud lancang, namun hanya untuk menetralisir rasa malu dan panik yang terpadu menjadi satu semenjak kehadiran Lucas beberapa detik lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
OLETHROS || Lee Jeno ✅
Fanfiction"Suatu kebimbangan yang hadir bersama dengan kehancuran." 1 on #nct21 [06.12.20]