"𝘛𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘭𝘢𝘮𝘢 𝘥𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘳𝘶𝘢𝘯𝘨 𝘨𝘦𝘭𝘢𝘱, 𝘬𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘵𝘮𝘶 𝘭𝘶𝘱𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘩𝘢𝘳𝘢𝘱 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢 𝘤𝘢𝘩𝘢𝘺𝘢.".
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
. . . ✨ . . .
Musim panas kali ini, terasa lebih membakar dari biasanya. Kulit putih Jundi sudah meronta terkena sengatan matahari.
Namun, seperti tidak merasakan apapun. Jundi hanya menatap kosong batu nisan di depannya. Membaca tiap huruf yang terpahat di sana, membuat hawa panas terasa beku dan kering.
"Ibu, ...," ucap Jundi lemas.
Belakangan ini, Jundi tidak bisa makan dengan baik. Dia tak sanggup makan di bawah bayang-bayang ibunya—yang terbaring lemah di rumah sakit. Biasanya ibu akan menyiapkan segala sesuatu untuk Jundi.
Hanya malaikat berselimut kata ibu—yang mampu membuat Jundi hidup tanpa banyak mengeluh. Karena beliau pula, Jundi tidak mempermasalahkan peran ayahnya. Dia tidak pernah protes saat ayahnya tidak mendengarkan cerita, atau mendongeng saat Jundi kecil akan tidur.
Dia sama sekali tidak mengeluhkan ayahnya yang sibuk. Bagi Jundi, ibu saja sudah cukup untuk menemaninya hidup. Dia bisa berbagi cerita tentang harinya di sekolah, bermain bersama di halaman rumah, dan menemani ibunya belanja.
Tidak masalah menunggu ibunya belanja berjam-jam, yang penting dia di samping ibunya. Jundi juga sering di suruh mencoba banyak pakaian, kata ibu Jundi—tidak baik pakai baju yang sama berulang kali. Kamu punya badan yang bagus, Jangan sia-siakan itu.
Kalimat itu selalu tersimpan dalam benak Jundi, dan mulai sekarang dia melawan kalimat itu.
Siang ini Jundi harus rela berpisah dengan orang yang paling dia sayang.
"Ibu bukan lagi malaikat, mana ada malaikat yang jahat. Pergi meninggalkan anaknya sendirian. Aku tidak akan menuruti kata-kata Ibu lagi."
Jundi menoleh sekilas ke jalan keluar makam. "Aku juga tidak akan menurut perkataan orang itu." Ucap Jundi sambil melihat ayahnya yang menunggu di depan mobil.
"Maafkan aku Bu, kalau Aku tidak bisa bertahan hidup dengan ayah." Jundi mengusap batu nisan lalu bangkit, dia menyusul ayahnya.
Baru sebentar berjalan, langkah Jundi terpotong karena menyadari keberadaan pemuda yang juga menggunakan pakaian serba hitam.
"Jidan?" tanya Jundi pelan pada dirinya sendiri.
Dia menyipitkan mata, melihat tingkah aneh Jidan—teman sejawat yang terkenal misterius. Tidak ada yang mau berteman dengan Jidan karena dia menyeramkan.
Jidan yang sedang tertawa di bawah pohon Kamboja segera menoleh ke arah Jundi. Tatapan Jidan berubah datar dan mengintimidasi Jundi.
"Orang aneh. Pantas tidak ada yang mau berteman," simpul Jundi yang sudah siap melanjutkan langkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterthought
Teen FictionDunia terlalu sempit untuk lari dari masalah. Daripada dihindari dan membuat lelah, lebih baik mengadapi apapun resikonya. Namun, tidak semua paham akan makna sebuah masalah. Seperti halnya kisah seorang Pemuda bernama Jundi- yang menyalahkan ayahny...