[1] Hadirnya Rasa Itu

82 11 1
                                    

Suhu ruangan terlalu rendah untukku, tepatnya dua puluh dua derajat celsius. Aku memandangi lantai yang tampak mengkilap. Terdiam, sesekali menyenderkan badan ke kursi pasien.

"Frank," dokter Maya mengaburkan lamunanku. Tepat dua tahun tiga bulan aku berada pada sesi terapi kognitif dan behavior. Akan tetapi, semua menjadi percuma karena aku tak memiliki alasan lagi untuk hidup.

Aku menyangga kepala dengan tangan kiriku, "Sudah selesai kan, Dok?"

Aku sangat bosan untuk menemui psikiater, lagi pula aku tidak memiliki gangguan yang berarti. Keinginan terbesarku adalah bisa merubah masa lalu dan menyelamatkan Syiela. Jika saja hari itu aku tak pernah meninggalkannya satu hari sekalipun, semuanya tidak akan terjadi.

"Tentu saja belum. Kamu harus bisa merelakan Frank, atau setidaknya mencari seseorang untuk kembali mengisi hatimu." Dokter Maya menatapku tajam.

"Ya," kali ini aku sedang tidak ingin membuang energi untuk melakukan penyanggahan.

"Rasa kehilangan memang berat. Itu semua bukan salahmu. Ada kalanya takdir berpihak pada kita ataupun tidak. Jadi, berhentilah menyalahkan dirimu sendiri dan bangkitlah." Dokter Maya mencoba mendongkrak semangatku.

"Ya," jawabku dengan rasa malas.

"Aku rasa hari ini tidak jauh beda dengan hari-hari sebelumnya. Kita sudahi saja sesi kali ini. Pekan depan kamu harus kembali kesini." Dokter Maya menatapku dengan mimik wajah yang tidak bisa kuterjemahkan.

Tanpa banyak bicara, aku langsung meninggalkan poli psikiatri. Tubuh terasa tak bertulang, pijakan kaki seolah melayang. Aku masih berjalan dengan kepala menunduk.

Brakkkk

Aku menabrak sesuatu di koridor rumah sakit, saat mengangkat kepala dan melihat apa yang ku tabrak ternyata adalah seorang gadis dengan rambut panjang terurai. Matanya sangat indah seolah berkilau. Tubuhku terasa berbeda, detak jantungku seolah menekan.

"Maaf," ucapku sambil mengulurkan tangan.

"Hum," jawab gadis itu sambil meraih tanganku.

"Au," tanpa sadar aku berteriak kecil dan memegang kepalaku.

"Kamu kenapa?" gadis itu terlihat khawatir.

"Tidak, tidak apa-apa. Maaf aku tidak sengaja menabrakmu." Perasaanku tak terarah, terbesit senyum Syiela yang tak pernah bisa kulupakan.

"Kamu yakin tidak apa-apa?" kekhawatiran belum hilang dari raut wajah gadis itu.

"Aku baik-baik saja." Aku meninggalkannya.

Dadaku terasa cukup sesak dan terisi, perasaan yang telah hilang tiba-tiba kembali. Syiela selalu ada dalam ingatanku. Semua menjadi lebih buruk dan semakin buruk.

"Kenapa rasanya tak asing?" Aku berbicara dengan diriku sendiri sambil berjalan menuju ke tempat aku memarkirkan motor.

"Aneh," lanjutku.

"Siapa dia?" Aku bertanya sendiri seperti sudah kehilangan akal sehatku.

Hati ini tak mampu diarahkan, perasaan yang telah lama mati, kini kembali bangkit. Saat terbayang gadis yang ku tabrak tadi, aku terbesit tentang Syiela. Adakalanya perasaan itu egois, dia menggantikan sesuatu dengan apa yang mirip ataupun serupa.

Setelah tiba di tempat parkir, aku langsung memacu laju motorku. Tanpa sadar, air mataku jatuh. Aku tidak tahu apa artinya. Sudah dua tahun lebih aku tanpa ekspresi maupun perasaan yang menonjol.

"Perasaan apa ini?" Aku mencoba memahami.

Gadis yang kutemui di koridor itu rasanya tidak asing. "Apakah aku akan kembali untuk membuka hati yang telah lama mati?" Aku mempercepat laju kendaraanku.


9-11 September 2020

UnconditionalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang