[6] Kenyataan

27 5 0
                                    

Alphin menginap di kontrakanku beberapa hari. Setidaknya aku mencoba menyelesaikan tulisan yang pernah kutinggalkan. Butuh waktu lama memang, tapi aku ingin mencoba mendalaminya kembali. Sehingga, aku harus membaca ulang draf naskah yang pernah kubuat. Karena, sudah dua tahun lebih aku meninggalkan naskah itu.

"Frank?" Alphin memanggilku dengan tatapan mata yang masih tertancap pada layar laptop.

"Hum?" Aku menjawab sambil membuka berulang draf naskah itu.

"Apakah kamu tidak berniat jalan-jalan di taman itu?"

"Taman itu?" Aku tidak ingat apa yang dimaksud.

"Taman tempat biasa kamu mendapatkan inspirasi untuk menulis dan ..." Alphin memotong pembicaraannya sendiri.

"Dan...?" Aku mencoba mencerna.

"Maaf, aku ingin mengatakan. Tapi, aku khawatir." Kalimat Alphin sudah bisa kutebak. Ya, tempat dimana aku biasa menulis dan tempat inspirasi bagi Syiela untuk melukis.

"Taman itu ya?" Tubuhku bergetar, napasku mulai tak beraturan.

"Maaf, tak perlu. . ." Alphin belum selesai berbicara.

"Ayo kita kesana esok ini jam sembilan tepat." Aku tersenyum. Ya, pagi hari bukankah seharusnya bekerja di tempat terbuka untuk akhir pekan agar tidak jenuh dan tertekan bukan? Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Namun, aku ingin mencoba kehidupan yang baru.

"Em, oke. Tapi, kamu gapapa kan?" Alphin tampak ragu.

"Kalo tidak mencoba, bagaimana akan tahu?" Aku mencoba tersenyum, meski hati ini merasakan kehampaan yang luar biasa. Rasa perih teriris yang tak kasat mata. Kenangan yang sangat dalam, di mana aku membayangkan senyuman Syiela. Rasanya sakit, teramat sakit. Tapi, sampai kapan aku akan terjebak dalam rasa itu?

Aku bergegas untuk pergi ke taman. Alphin juga mulai mengemasi peralatan yang akan dibawa. Taman Nirmala, tepatnya di Jalan Singasana.

Kepalaku terasa pusing, hanya saja aku tak ingin terus berlarut. Aku tahu aku salah. Jika saja Syiela melihatku, mungkin dia sangat kecewa padaku. Entah bagaimana perasaan ini terus bercampur aduk. Aku tak bisa menjelaskan.

"Frank." Alphin menepuk pundak, membuyarkan lamunanku.

"Jika memang belum siap, tak perlu dipaksakan." Alphin menenangkan diriku.

"Gapapa kok, semua akan baik-baik saja." Aku terpaku, mencoba mengatakan dengan suara yang bergetar.

"Sungguh?" Alphin merasakan keraguan dalam diriku.

"Ya, sungguh. Aku yakin, aku harus mencoba. Maaf sudah membuatmu kerepotan selama ini." Dadaku terasa nyeri, tapi aku mencoba menahan. Aku juga berusaha keras untuk mengontrol napasku. Kami berangkat menuju taman.

Sepanjang perjalanan, aku terdiam. Alphin mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Dia tidak menanyaiku, karena tahu bagaimana kondisi emosiku. Aku hanya menatap pohon di sepanjang jalan.

"Huft," Aku menghela napas.

Alphin tetap terdiam, dia tidak ingin membuatku semakin kacau. Bagaimanapun kami sudah bekerjasama sejak aku masih menempuh kuliah. Dia adalah satu-satunya editor terbaikku.

"Sudah sampai nih. Kamu baik-baik aja kan?" Alphin memarkirkan mobil dan memastikan kontrol emosiku.

"Semoga." Aku mengambil ransel dan peralatan yang sudah lama tak pernah kusentuh.

"Aku duluan ya, soalnya aku ingin jalan-jalan sendiri." Aku mencoba memisahkan diri dan ingin menikmati suasana maupun sensasi yang sudah lama tak aku dapatkan.

UnconditionalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang