Aku tiba di kontrakanku, disisi lain perasaanku sangat kacau semua tumpang tindih tiada arti. Bagaimanapun rasa tak ingin kehilangan pasti muncul. Semua keegoisanku berkumpul dan larut dalam kehidupan yang semakin kelam ini.
"Aaaaaaaaaaaaaaa....." Aku berteriak.
"Huh? Tumben sepi." Aku berbicara sendiri.
"Ada yang kurang. Apa ya?" Aku melemparkan tasku ke sofa.
Kontrakanku benar-benar sunyi. Aku baru menyadari jika bertahun-tahun larut dalam kesedihan dan tidak pernah memperhatikan sekelilingku.
Kuraih handuk dan masuk ke kamar mandi. Kuguyur badanku yang penuh sesak dengan pikiran bertumpuk dan tiada akhir.
"Nadhien? Apakah aku siap kehilangan? Atau..., justru aku akan semakin hancur dan tenggelam? Sesak, rasanya menyakitkan." Aku berbicara sendiri sambil menikmati guyuran tetes demi tetes air yang mengalir.
Aku mencoba menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan. Tanpa sengaja aku baru teringat suatu hal penting.
"Oh, tidak...." Aku menepuk jidat.
"Aku lupa konsul dengan dokter Maya kemarin. Bagaimana aku bisa lupa untuk ke dokter Maya, padahal aku datang untuk menemani Nadhien." Aku bergumam.
"Ntahlah, biarlah. Sudah terlanjur lupa. Lagipula aku sudah baik-baik saja."
Aku melihat ke langit-langit saat keluar dari kamar mandi.
Duak....
"Aduh," secara refleks aku mengelus kepalaku.
"Sejak kapan pintunya bergeser?" Aku memaki-maki tiada henti.
"Hish...,"
Aku langsung menuju kamar untuk berganti pakaian. Dan mengistirahatkan diriku sejenak. Sesekali mataku terpejam, detak jantungku menjadi cepat. Aku tidak tahu kenapa, pastinya perasaan ini tak mampu ku kendalikan.
Mataku terlelap kembali tanpa sadar. Entah berapa jam terlewat.
"Huaaaaaaaa, aku lupa waktu." Aku menatap jam dinding, jam menunjukkan pukul empat sore.
Satu jam terlelap rasa-rasanya sudah seperti terlelap selama berjam-jam. Aku langsung teringat Nadhien. Segera aku berlari ke ruang tengah untuk mengambil ponse di tasku.
"Dik, kamu baik-baik saja?" Kukirimkan pesan untuk Nadhien. Aku menunggu balasan selama lima belas menit.
"Kling," ponselku berbunyi. Semua pemberitahuan aku bisukan, kecuali milik Nadhien. Sudah pasti itu balasan dari Nadhien.
"Baik kak." Balasnya.
"Oke." Aku tak tahu harus balas apa.
Sejak hari itu aku menjadi mudah terbangun dan terkejut. Ditambah pula Alphin sibuk menjadi editor di perusahaan percetakan sehingga dia sudah kembali ke messnya. Sejak aku tak menulis, Alphin terpaksa harus mencari pekerjaan lagi. Ya, itu salahku si. Beruntungnya Alphin masih setia denganku.
Biasanya kontrakanku selalu ramai, walau hanya ada Aku, Alphin, Zion, dan juga Syiela. Kami berempat sangatlah kompak. Bahkan aku tak sadar sejak kapan kesunyian ini datang.
Tanpa terasa aku kembali menangis. Apakah salah dari kesedihan seorang laki-laki? Entahlah, aku tak bisa memahami.
"Kling," ponselku berbunyi.
"Kak," pesan dari Nadhien.
"Ya, adik. Ada apa? Apakah sesuatu terjadi?"
"Ini aku kak, Dian." Jawaban pesan itu membuat detak jantungku tak beraturan.
"Apakah sesuatu terjadi pada Nadhien?" Tanganku mengetik pesan sambil bergetar.
"Em, iya kak. Nadhien kritis."
Aku langsung terpaku, tak bisa bertindak apa-apa. Semua kegelapan ini kembali menelanku. Tanpa tahu bagaimana dan apa. Aku baru saja ingin mendekatinya. Apakah ini kehidupan menegangkan yang sebenarnya?
13 Oktober 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional
RomanceAku mati rasa, tak ada lagi kebahagiaan yang bisa mendobrak hatiku. Dua tahun kuselami dalam kegelapan. Tanpa sengaja aku menabrak seorang gadis. Jantungku kembali berdetak, rasa yang telah hilang kembali hadir. Tapi faktanya aku tidak tahu apakah a...