[3] Rahasia

37 8 0
                                    

"Mood swing kamu sangat bagus pada sesi ini." Dokter Maya memperlihatkan raut wajah bahagia.

"Eum, entahlah." Aku sendiri tidak mengetahui rasa yang sudah lama hilang dalam diriku.

Ya, tepat lima hari ini kondisiku membaik. Aku mulai beraktivitas jauh lebih baik dari sebelumnya. Sejak kali kedua aku bertemu dengan Nadhien, jiwaku terasa kembali hidup.

"Apakah ada hal spesial yang terjadi?" dokter Maya penasaran dengan perubahan drastis yang kualami.

"Tidak tahu. Saya rasa mungkin iya." Aku menjawab dengan intonasi stabil.

"Baguslah," dokter Maya merasa lega. "Hampir dua tahun empat bulan kamu berada pada titik terendahmu," lanjutnya.

"Huft," aku menarik napas panjang. "Ya," lanjutku.

"Apa alasannya?" Dokter Maya masih mencoba mengintrogasiku.

"Seorang perempuan muda bernama Nadhien," sahutku.

"Nadhien?"

"Ya, gadis yang saya temui di koridor rumah sakit sepekan yang lalu. Dia juga ada di taman rumah sakit, lima hari lalu," jelasku.

"Nadhien Rizkia?"

"Aku tidak tahu nama lengkapnya," terangku. Ekspresi wajah dokter Maya berubah.

"Kenapa? Adakah yang salah?" Aku mempertanyakan.

"Tidak," dokter Maya berbicara dengan suara lirih.

"Apa yang salah dengan Nadhien?" Aku tidak bisa mengerti, kemarin Zion, sekarang dokter Maya.

"Tidak ada." Dokter Maya menjawab dengan nada datar.

"Dok?" Aku semakin bingung.

"Apakah kamu benar-benar bahagia setelah bertemu Nadhien?" Dokter Maya mengalihkan pembicaraan.

"Iya. Tetapi Zion bilang, sebaiknya aku tidak menaruh rasa padanya," jelasku. Dokter Maya mengenal Zion. Karena Zion adalah salah satu putra dari seorang dokter saraf yang ada di rumah sakit ini.

"Apakah rasa itu tidak bisa kamu alihkan?" Pertanyaan dokter Maya semakin membuatku bingung.

"Maaf dok, bukan aku yang memilih untuk memiliki perasaan ini," pungkasku.

"Aku harap kamu bisa bangkit dan tidak kembali jatuh." Suara dokter Maya seperti terbebani oleh sesuatu.

"Dok. Apa yang salah dengan Nadhien?" Aku menjadi tidak bisa mengendalikan rasa keingintahuanku.

"Nadhien, ya?" Dokter Maya tidak memberi tahu apapun tentang Nadhien padaku.

"Kita akhiri sesi hari ini." Dokter Maya memotong pembicaraan.

"Dok, jangan membuat saya bingung." Aku memprotes keadaan.

"Maaf, Frank. Aku tidak ingin kamu kecewa." Keterangan yang dokter Maya berikan semakin membuatku bingung.

"Jika hanya Nadhien yang bisa membangkitkanmu. Saya juga tidak bisa berbuat apa-apa, Frank." Dokter Maya tampak dilema.

"Faktanya, selama dua tahun lebih aku tidak bisa memperbaiki kondisimu kembali. Tapi, Nadhien bisa membuatmu mendapatkan semangat hidupmu kembali." Dokter Maya menjelaskan seolah tidak ada pilihan. Aku hanya terdiam kaku, tidak bisa menangkap pembicaraan ini.

"Hanya saja di sisi lain, saya tidak ingin kamu tenggelam di genangan air yang lebih dalam." Perkataan dokter Maya semakin tidak bisa kutangkap.

"Apakah anda mengenal Nadhien?" Aku mencoba menyela.

"Ya, sangat mengenalnya. Semua pegawai di rumah sakit ini mengenal Nadhien." Jawaban dokter Maya semakin membuatku bingung.

"Siapa Nadhien? Kenapa semua orang mengenalnya?" Pertanyaan itu muncul di pikiranku begitu saja.

"Maaf Frank, hari ini cukup." Dokter Maya menutup rekam medis milikku.

Aku meninggalkan ruangan, pikiranku semakin buyar. Sudah dua tahun lebih aku di rumah sakit ini, akan tetapi aku baru pertama kali bertemu dengan Nadhien. Pikiranku semakin kacau, berharap hari ini aku bertemu dengannya lagi.

Aku melewati koridor rumah sakit, tak ada sosok yang kucari. Entah kenapa hati ini harus kembali berlabuh. Jika pada kenyataannya semua orang memaksaku untuk berlabuh pada hati yang lain. Bukan aku yang memilih, bukan aku yang menginginkan pada siapa hati ini kembali merasakan kehidupannya lagi.

9 Oktober 2020

UnconditionalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang