[2] Apa?

41 8 0
                                    

Tepat jam 10.40 aku berada di taman rumah sakit. Rasanya masih sangat mengganjal. Aku tak dapat menyampaikan ekspresi apapun.

"Frank!"

Dari kejauhan Zion melambaikan tangan ke arahku. Namun, aku tak bergeming sedikitpun.

Perasaan itu tiba-tiba kembali datang. Aku menoleh ke segala penjuru. Tampak seorang gadis yang kutabrak di koridor dua hari lalu. Mataku mulai berkaca-kaca, tak dapat memendam rasa rindu yang telah lama tenggelam. Tapi, rasa apa itu? Siapa gadis itu?

"Frank!" Zion sudah memanggilku berulang kali. Aku mengusap kedua mataku.

"Kamu nangis?" Zion tidak memberikan ekspresi yang buruk.

"Frank, cukuplah. Kamu tidak perlu terus menerus merasa bersalah." Zion memberikan semangat.

"Bukan. Memangnya kamu pernah melihatku menangis sejak hari itu?"

"Tidak, sih."

"Aku hanya...," mataku tertuju pada gadis yang terus menghibur anak-anak di rumah sakit.

"Nadhien," ucap Zion.

"Apa?" sahutku.

"Gadis itu namanya Nadhien."

"Oh."

"Apa kamu tertarik dengannya?"

"Entahlah, aku tidak tahu isi hatiku."

"Jika bisa, kamu jangan menaruh hatimu pada gadis itu," ucap Zion lagi yang membuat mataku terbelalak. Ada rasa ingin marah, tapi aku juga tidak tahu itu apa.

"Maaf, aku tidak bermaksud...." Zion menyadari ada yang salah dengan perkataannya.

"Cukup!" Aku tidak ingin mendengar penjelasan apapun. Aku buta, rasa ini tidak bisa kumaknai.

Aku hanya mengamati gadis itu dari kejauhan dan rasa nyaman muncul dalam hatiku.

"Kamu selalu merasa bersalah, bahkan kamu selalu menunggu di hari dan jam yang sama di tempat ini. Apakah kamu tidak memiliki rasa lelah? Aku hanya tidak ingin melihatmu terus menerus terpuruk." Zion menyampaikan kekhawatirannya padaku.

"Karena semua memang salahku!" Intonasi suaraku tak terkontrol sehingga semua mata tertuju ke kami. Gadis yang kulihat dari kejauhan berlari ke arah kami.

"Maaf, harap tenang dan tidak berkelahi di rumah sakit," ucap gadis itu.

"Maaf." Aku menekan pelipis mataku. Semua mulai pudar, cahaya putih memasuki pikiranku. Aku tak ingat apapun.

Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Sosok Syiela adalah yang pertama kali kulihat. Dengan pikiran yang masih kacau, aku menarik sosok yang kulihat dan memeluknya erat-erat.

"Maaf, maafkan aku. Maaf, maaf." Aku terus mengucapkan kata itu berulang.

Rasa hangat memasuki tubuhku. Kepingan puzzle yang hilang seolah bisa tertata rapi kembali.

"Anu, etto..." Suara itu membuyarkan pandanganku.

"Maaf, tapi... itu." Gadis itu mencoba menyampaikan, tapi aku tak bisa melepaskan pelukanku.

"Maaf, jangan memelukku. Aku malu."

Kalimat tersebut membuatku tersadar dan melepaskan pelukan itu.

"Maaf, pikiranku kacau," aku mencoba menjelaskan.

"Eum, oke. Tidak apa-apa. Daijobou." Gadis itu mundur beberapa langkah.

"Nadhien," dia mengulurkan tangganya.

"Frank." Aku meraih tangannya.
Zion terdiam di pojok ruangan, dia tidak mengatakan apapun padaku. Aku tidak tahu apa alasannya. Hanya saja, kurasa dia tidak ingin aku memiliki rasa pada Nadhien.

"Eum, aku pergi dulu ya." Ucapan Nadhien terasa lembut dan manis.

"Terimakasih," ucapku.

"Tunggu!" Nadhien menghentikan langkah, dan berbalik padaku. "Bolehkah aku mengenalmu?"

"Eum, boleh," sahut Nadhien malu-malu. Ia kembali membalikkan badan, dan melangkah pergi. Lalu, Zion menghampiriku.

"Aku hanya tidak ingin kamu menyesal." Zion menatapku tanpa arti.

"Aku tidak tahu. Tapi jujur, aku merasakan rasa itu lagi!" sanggahku.

"Tapi...," Zion mencoba memberi tahu.

"Kenapa?" tanyaku.

"Nanti kamu akan tahu. Aku tidak tahu apakah aku harus senang mengetahui kamu mulai bisa mengekspresikan emosimu lagi. Atau aku akan khawatir kamu terjatuh lagi." Zion kembali menatapku dengan ekspresi tanpa arti.

12 September 2020

UnconditionalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang