Semua benda yang kulihat tampak goyang. Aku berjalan cepat meninggalkan taman.
Bruk...
"Apa lagi?" Emosiku mulai tak terkontrol.
"Uh," suara yang tak asing. Aku langsung menatap ke arah suara itu.
"Nadhien? Maaf." Detak jantungku berdegup dengan kencang.
"Kakak?" sahut Nadhien.
"Em, kak...." sepertinya dia lupa namaku.
"Frank." Aku menimpali.
"Eh iya, kak Frank." Tatapan polosnya membuatku tak mampu bergerak.
"Anu," Nadhien mencoba memberi tahu untuk membantunya berdiri.
"Maaf." Aku mengulurkan tangan.
"Tak apa, kakak pasti ga sengaja." Tangan kami masih berpegangan satu sama lain.
Aku menatap lama. Pikiranku mulai melamunkan hal yang tak penting.
"Kak?" Nadhien melambai-lambaikan tangan ke wajahku.
"Boleh lepas?" lagi-lagi pertanyaan dengan tampang polosnya.
"Maaf." Aku melepaskan tangan.
"Kakak hobi minta maaf ya?" ledek Nadhien. Aku tersipu malu.
"Oh iya, Kak, maaf aku buru-buru." Nadhien berlari meninggalkanku.
Rasanya aku kembali benar-benar hidup. Hari ini pun, aku menjadi sangat lega. Melihatnya berlari bisa membuatku tersenyum.
Aku segera menuju ke mushola rumah sakit. Menjalankan ibadah dan mencoba berdo'a untuk mencari jalan kebenaran. Hatiku tak lagi kosong.
Apakah ini cinta pada pandangan pertama? Tapi, sepertinya dia masih sangat muda dan jauh dari usiaku.
Pikiranku terbayang dan semakin tak terarah. Setelah merasa baikan, aku memilih untuk segera kembali ke kontrakan.
Sepanjang perjalanan, aku mencoba menata setiap memori yang kupunya. Membuka lembaran baru dan mencoba memulai hidup baru. Dunia kembali memancarkan warnanya, membuatku yang terpaku kembali tersenyum.
Perjalanan memakan waktu empat puluh menit. Setibanya di kontrakan, aku segera mengambil laptop di almari. Tanpa pikir panjang kuhubungi editorku melalui email.
"Alphin, aku siap untuk kembali."
Aku menyiapkan makan malam. Menata kamar yang sudah entah berapa lama tak kutata. Air panas kusiapkan untuk melemaskan otot-ototku.
Foto-foto yang terpajang di kamar mulaiku kemasi dan kumasukkan ke dalam kardus. Bukan bermaksud untuk melupakan orang yang pernah singgah di hatiku. Tapi, waktu berkata lain, dan sudah waktunya untuk bangkit.
Aku menata makanan yang sudah siap dan segera membersihkan tubuhku. Rasanya semua kembali lagi. Tidak ada titik jenuh yang bertahan abadi.
Tok... tok...
"Ya, siapa?" Aku masih mengeringkan rambutku dengan handuk.
"Ini aku, Alphin."
"Hah?" Aku menuju ke pintu dan membukanya.
"Bukankah aku baru mengirim email beberapa menit yang lalu? Ngapain kamu ke sini?"
"Hei, my ghost writer. Sudah berapa lama kamu menghilang. Aku datang untuk merayakan penyambutanmu kembali." Alphin merangkulku.
"Ish, apaan coba?" Aku menghempaskan tangan Alphin dari pundakku.
"Hahaha... Bagaimana aku tidak senang kamu kembali, Zoro Frank?" Alphin menyebut namaku, aku tak suka panggilan itu.
"Oke," sahutku dingin.
"Aromanya enak nih." Tanpa permisi, Alphin langsung menuju ke tempat aku menata makanan.
"Kebetulan banget aku lapar." Alphin mengambil piring dan sendok. Tentu saja aku tidak melarang. Entah berapa lama semua ini tidak terjadi.
"Ayo makan!" Alphin menarik tanganku.
"Woy, ini kontrakan siapa singgah? Yang masak siapa?" Aku bercanda dengan ekspresi yang tak dapat diterjemahkan.
"Oke, oke, tuan..." Alphin membalas candaanku.
Malam ini kulewati bersama Alphin. Dia adalah editor terbaikku dan selalu setia menungguku. Tak pernah memaksa dan juga tak pernah menuntutku.
Kami saling menguntungkan satu sama lain. Meski aku tidak kuliah dari jurusan sastra, menulis sudah menjadi pekerjaanku sejak masih kuliah. Dan hari ini menjadi hari awal setelah hari itu terjadi.
10 Oktober 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional
RomanceAku mati rasa, tak ada lagi kebahagiaan yang bisa mendobrak hatiku. Dua tahun kuselami dalam kegelapan. Tanpa sengaja aku menabrak seorang gadis. Jantungku kembali berdetak, rasa yang telah hilang kembali hadir. Tapi faktanya aku tidak tahu apakah a...