Perasaanku semakin tak terkontrol, rasanya seperti tercekik. Pandanganku menjadi buyar. Namun, aku tidak ingin berpikir panjang. Kutinggalkan pekerjaanku dan segera ke rumah sakit.
Aku mengendarai motor dengan kecepatan maksimal. Bahkan tak ada rasa takut sedikitpun, tak peduli apa yang akan terjadi padaku.
"Dimana Nadhien?" Aku semakin panik setelah tiba di ICU rumah sakit.
"Kak, tenang kak. Nadhien pasti baik-baik saja kok. Dia pasti akan bangun. Percayalah kak." Dian mencoba menenangkanku.
Aku duduk dan mematung, kupegang erat-erat kepalaku. Air mataku menetes dengan derasnya. Meskipun emosiku tidak melonjak, namun semua terasa amat menyakitkan.
"Seharusnya aku datang untuk menjaganya." Aku menyalahkan diriku sendiri.
"Kak, kakak pikir Nadhien akan suka melihat kakak seperti ini? Jangan salahin diri kakak. Karena ini tidak ada hubungannya sama kakak. Nadhien sudah biasa melewati semua ini kak. Yakinlah, dia bisa melewatinya." Jawaban Dian membuatku terkejut.
"Biasa? Biasa melewati semua ini?" Otakku tak dapat menerima kalimat itu.
Apapun yang coba Dian katakan tak bisa membuatku lebih tenang. Ketakutan terus melanda, membuatku berpikir "Apakah aku memang tidak layak untuk Nadhien?".
Ponselku berdering, aku mengabaikannya dan membuat ponselku dalam mode senyap. Aku tak ingin menggerakkan tubuhku. Rasanya sakit, lebih tepatnya hancur, hati ini terasa amat sakit dan hancur.
Waktu demi waktu terus berlalu. Hari hampir gelap, aku tak bergeming sedikitpun. Nadhien belum juga keluar dari masa kritisnya.
"Kak," Dian mencoba menyentuh pundakku. Aku berdiri, dan menarik napas dalam-dalam. Aku mencoba berpikir dengan akal sehatku dan menenangkan diriku.
"Dik, jangan lupa makan. Jaga kesehatan kamu baik-baik, agar kamu bisa selalu menemani Nadhien." Aku menatap Dian dan menepuk kedua bahunya. Dian tampak bingung.
"Iya kak." Sahutnya dengan ragu. Aku meninggalkan ruang ICU.
Hati ini semakin tak tertata, aku tak akan pernah siap untuk kehilangan. Aku mengambil ponsel di tas. Ada 54 panggilan tak terjawab, aku memasukkan kembali ponselku karena tidak tertarik.
Aku berjalan menuju tempat parkir, mengambil helm, dan segera mengendarai motorku. Pikiran kalut terus bersemayam, beberapa kali terselip wajah Syiela yang berlumuran darah. Detak jantung semakin tak beraturan. Mataku semakin sayu. Dengan sisa-sisa kesadaran yang kumiliki, kukendarai motor sekencang mungkin.
Brakkkkk
Motorku menabrak pembatas jalan tepat di depan kontrakanku. Tubuhku terpelanting, kepalaku membentur pembatas jalan, beruntungnya helm tidak terlepas dari kepalaku. Suara hentakan kaki berlarian mendekat ke arahku.
"Frank!!!!" teriak suara yang semakin lamat-lamat.
"Frank, kamu bisa mendengarku kan?" raut wajah Zion tampak panik dan samar-samar.
"Ayo, angkat dia." Pinta Zion.
Aku tak ingat apapun setelah itu. Hingga beberapa jam kulalui dengan kondisi tidak sadarkan diri.
"Huft." Aku menarik napas panjang, menyeka mataku dengan siku.
"Syukurlah, kamu udah sadar." Ucap Zion dengan ekspresi wajah yang campur aduk dimana terpancar ekspresi sedih, marah, dan juga kecewa. Aku berada di sofa panjang ruang tengah, menatap langit-langit, dan terdiam tanpa makna.
Aku tahu, Zion sebenarnya ingin mengatakan banyak hal. Namun dia menahan keinginannya.
Alphin terlihat berdiri dengan ekspresi yang tak dapat kuterjemahkan. Sesekali dia menengok jam tangan yang dia kenakan.
"Maaf," ucapku sambil menatap langit-langit.
Zion dan Alphin tidak menjawab apapun. Mereka mendiamkanku tanpa sepatah kata. Entah, rasanya justru membuatku semakin terhimpit.
Aku bangun dan mencari ponselku. Tas yang kupakai tadi diletakkan di sebelahku. Aku langsung mengambil ponsel di tas itu. Membuka 56 panggilan tak terjawab.
"Bukankah sebelumnya 54?" Aku berbicara sendiri. Ternyata 56 panggilan tak terjawab itu semua dari Zion.
"Mampus." Aku berbicara dalam hati.
"Zi . . . " Aku mencoba memberi penjelasan.
"Sudah, tak perlu kamu jelaskan sekarang. Intinya hari ini kamu sudah berhasil membuatku dan Alphin mengalami spot jantung." Zion semakin kesal.
"Um. . . , maaf." Aku hanya bisa mengucapkan kata maaf.
"Apalah arti kata maaf, jika itu tidak dapat merubah apapun." Sepertinya Zion benar-benar marah.
Anehnya, baru kali ini Zion tidak bisa menebak keberadaanku. Biasanya dia seperti seorang cyber yang bisa melacak dimanapun aku berada.
Suasana menjadi hening, kami bertiga saling mematung. Bahkan Alphin tampak semakin gusar.
"Alphin? Adakah yang mengganggu pikiranmu?" Tanyaku sambil mengambil sebatang rokok dan korek api.
"Sepertinya, aku ingin kita kembali seperti dulu Zi." Jelas Alphin singkat.
"Seperti dulu?" Aku belum bisa menangkap apa yang dimaksudkan.
"Ya, aku ingin kembali menjadi editormu seorang. Menjadi editor di perusahaan menghabiskan banyak waktu. Sepertinya kamu tidak bisa lagi untuk ditinggal seorang diri. Aku ingin mengawasimu. Tapi, itu berarti pula kamu harus menulis untukku." Alphin berbicara sambil menunduk.
"Seharusnya kamu tak perlu berlarut. Jika ada tempat untuk bangkit, mungkin itu tempat yang tepat. Dan . . . ," Zion menjeda.
"Dan. . . ?" Aku menirukan kata terakhirnya.
"Ayahku dipindah tugaskan di luar kota. Sepertinya kita akan berpisah Frank." Zion mengatakan kalimat itu dengan berat hati.
"Berpisah ya? Selama itu bukan kematian bukan masalah untukku." Sahutku datar.
"Tapi, aku yang tidak tega. Kamu bahkan sering tanpa sadar hampir menusuk jantungmu dengan pisau. Aku sudah beberapa kali menemuimu melakukan hal aneh sejak kepergian Syiela." Intonasi suara Zion meninggi.
"Bukan cuma kamu yang kehilangan Syiela. Tapi aku dan Alphin juga merasa kehilangan. Kita berempat selalu bersama, duka, cita juga kita pikul bersama. Kamu tidak bisa menghentikan kehidupanmu." Baru kali ini Zion bisa membentakku.
"Aku tahu, aku telat sadar. Tapi, sekarang aku sudah sadar." Kuhisap sebatang rokok yang sudah kunyalakan. Situasi kembali menjadi hening.
"Kling," ponselku berbunyi. Pesan dari kontak Nadhien.
"Kak, kata om Tanno kondisi Nadhien sudah stabil. Besok dia pasti akan bangun dan bilang ; Pa, aku lapar. Soalnya Nadhien akan terbangun jika lapar." Dian mengirim pesan yang membuatku sedikit lega.
"Kenapa tersenyum?" tanya Zion.
"Nadhien baru saja keluar dari masa kritisnya." Sahutku.
"Mungkin kamu tidak tahu siapa Nadhien, Frank. Dia baru saja pindah ke sini sejak dua tahun lalu. Tapi, dia . . . Sudahlah, aku tak ingin berdebat denganmu. Pikirkan, apakah kamu akan terus menyiksa hatimu?" Zion mencoba mengguncang pikiran Frank.
"Asal kamu tahu juga, usianya baru delapan belas tahun. Dia masih duduk di bangku SMA. Apakah perasaan benar-benar membutakanmu?" tambah Zion.
"Jadi, kamu tidak bisa dihubungi karena datang ke tempat Nadhien dirawat?" Alphin mencoba memutus perdebatan. Aku hanya mengangguk.
"Terserah pilihanmu. Karena, setelah ini tak akan ada Zion yang lain yang bakal betah dengan sifat dan sikap anehmu." Zion berdiri. Aku tak dapat berkata-kata.
"Aku mendukungmu Frank. Apapun pilihanmu, asalkan kamu kembali menulis dan tetap menulis." Alphin tidak ingin perdebatanku dan Zion semakin jauh.
"Sampai jumpa." Zion melangkah keluar. Dia berhenti sejenak dan mebisikkan sesuatu ke Alphin.
"Ya, pasti. Tenang saja, aku akan menjaganya dengan baik." Jawab Alphin, entah apa yang mereka bicarakan.
20 Oktober 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional
RomansaAku mati rasa, tak ada lagi kebahagiaan yang bisa mendobrak hatiku. Dua tahun kuselami dalam kegelapan. Tanpa sengaja aku menabrak seorang gadis. Jantungku kembali berdetak, rasa yang telah hilang kembali hadir. Tapi faktanya aku tidak tahu apakah a...