[4] Penantian

30 6 0
                                    

Seperti biasa, aku menunggu di hari dan jam yang sama di rumah sakit. Tetapi, baru kali ini perasaanku tidak diselimuti oleh rasa bersalah. Aku melihat sekeliling, berharap bisa kembali melihat Nadhien. Ingin aku menghisap sebatang rokok, namun tak mungkin atau aku akan diusir.

Waktu demi waktu kulalui, dua jam sudah aku menunggu. Nadhien tak tampak juga, mungkin pertemuan kami pekan lalu hanyalah sebuah kebetulan. Tidak ada orang yang betah untuk terus di rumah sakit, bukan?

Aku melihat Zion berjalan di tepi taman. Ku lambaikan tanganku memberi isyarat agar dia menuju ke arahku. Zion berlari ke arahku.

"Ada apa?" tanyanya.

"Eum, itu. Dokter Maya bilang kalo semua pegawai rumah sakit ini mengenal Nadhien," terangku.

"Lalu?" Zion menanyakan maksudku.

"Apa kamu juga mengenalnya?" tanyaku.

"Ya," Zion menjawab dengan nada dingin.

"Zi, tak ada orang yang tahu pada siapa hatinya akan berlabuh kembali setelah sekian lama jatuh dan tenggelam." Aku membela diri.

"Nadhien sering ke rumah sakit. Dia akan datang rutin pada hari kamis dan jum'at setiap pekannya. Pekan lalu dia baru saja dirawat. Hari ini aku belum melihatnya." Belum juga aku menanyakan apapun, Zion seolah bisa membaca pikiranku.

"Ma....," aku ingin mengucapkan terima kasih. Namun Zion memotong ucapanku yang belum lengkap.

"Jika ada tempat lain untuk berlabuh. Jangan berikan hatimu pada Nadhien. Aku tidak ingin kamu melukainya." Zion terdiam sejenak, "dan aku juga tidak ingin kamu kembali terluka."

Persahabatanku dengan Zion sudah lebih dari empat tahun. Dia tahu seluk beluk dan semua tentangku. Ya, meski hanya Zion sahabatku yang setia. Dia tidak pernah membuatku kecewa.

"Ya, ya, ya..." sahutku.

"Aku pergi dulu. Ayah memanggilku segera, maaf." Zion berjalan dengan menundukkan wajahnya.

"Nadhien? Apa salahnya aku dengan Nadhien?" Aku masih bingung dengan Zion dan juga dokter Maya.

Aku masih menunggu. Tanpa terasa, hari semakin sore. Aku mulai menikmati hari-hariku. Sebatang penaku keluarkan dari tas kecil. Kutuliskan nama 'Nadhien Rizkia'. Senyap, hatiku mulai merasakan dingin menjalar di seluruh tubuhku. Bayang-bayang Syiela tetap tak akan hilang dengan mudahnya begitu saja.

Kamis, 22 September 2016. Aku kehilangan seorang yang sangat kucintai. Seorang yang selalu menjadi inspirasi dan mendukung hari-hariku. Tepat jam 10.40, detak jantungnya berhenti sepenuhnya. Aku yang telat membawanya ke rumah sakit, hanya bisa termenung. Tubuhku mematung dan membisu.

Tepat pada hari itu, tak ada hal lain yang bisa kulakukan. Aku terhenti di taman dan merasakan sesak yang luar biasa. Tepat pada hari itu jam 03.20, pembunuhan terjadi. Ponselku mati dan tak dapat dihubungi.

Jika saja aku tak pernah meninggalkannya semenit sekalipun. Syiela pasti masih ada di sisiku. Dadaku mulai merasakan sesak. Ingatan buruk, cipratan darah, pisau, semua terbayang begitu saja. Perasaanku hilang tak berbentuk, tumpah menjadi satu rasa yang tak terkendali.

Bayang-bayang kembali buyar. Napasku masih tak terkontrol. Semua warna yang kulihat berubah menjadi hijau. Aku menyenderkan tubuh ke kursi. Menata kembali emosi, mencoba merelakan dia yang telah pergi.

Tamparan keras itu benar-benar membuatku terpaku pada rasa bersalah. Ingatan dimana orang tua Syiela tak dapat menerima kenyataan. Jika putri semata wayangnya pergi untuk selamanya dengan tragis.

Kesunyian semakin larut dalam diriku. Aku mencoba berdiri tegak. Mempertahankan konsistensi tubuhku agar tidak terjatuh.

Aku tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Namun, hatiku telah bermuara di satu tempat yang sama. Penglihatanku menjadi samar-samar.
Suara adzan maghrib terdengar sayup-sayup.

10 Oktober 2020

UnconditionalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang