[7] Perasaan

24 5 0
                                    

"Frank, sebaiknya kamu pulang dulu." Zion menghampiriku di ruang rawat inap.

Aku ingin menolak, tapi aku juga tidak bisa egois. Tatapan mataku tak bisa teralihkan dari Nadhien.

"Nadhien bakal baik-baik aja kok kak. Kan ada aku." Dian mencoba menenangkan.

Benar, aku bahkan belum pernah tahu siapa Nadhien. Dian seolah sudah biasa menghadapi apa yang terjadi pada Nadhien. Aku tidak mengerti apa yang harus kuambil.

"Tunggu." Nadhien meraih lengan bajuku. Aku memandanginya.

"Pftttt." Aku menahan tawa, wajah Nadhien memerah. Dian heran menatap Nadhien yang mencoba menahanku.

"Kenapa ketawa?" Nadhien menjadi kesal, dia melepas tangannya dari lengan bajuku.

"Kepiting." Aku berbicara menahan tawa. Nadhien melipat tangannya dan memalingkan muka.

"Wajahmu merah, seperti kepiting rebus." Aku tak kuasa menahan tawa. Entah, rasa sedih hilang begitu saja seketika setelah Nadhien mencoba menahanku.

Zion terdiam tanpa kata, Dian tampak semakin bingung dengan situasi yang terjadi. Aku mencoba menghentikan tawaku. Kudekati Nadhien dan memeluknya.

"Esok, aku pasti kembali. Jaga dirimu baik-baik." Aku merasakan kenyaman pelukan yang kulakukan.

"Jangan peluk aku, malu tau." Nadhien berusaha mengelak.

"Kupikir kamu bakal bilang, jangan peluk aku, asam tau...." Aku mencoba bercanda untuk menghidupkan suasana.

"Ish, kakak!" Nadhien semakin kesal.

"Aku pulang dulu ya." Aku mengelus kepala Nadhien, bersalaman dengan Dian, kemudian meninggalkan ruangan itu bersama Zion.

Sejak hari itu aku selalu datang ke rumah sakit jam sebelas pagi sampai jam satu siang. Nadhien selalu di kamarnya sendirian saat jam tersebut.

"Dik?" Aku memanggil Nadhien yang sedang asik membaca komik.

"Um?" Nadhien mematikan layar ponselnya dan menatapku.

"Kaget tau!" Aku terkejut ketika dia tiba-tiba menatapku.

"Salah Nadhien apa?" Nadhien justru melontarkan kalimat yang membuatku bingung.

"Iya ga ada yang salah sih. Tapi, gerakanmu yang mendadak membuatku terkejut." Aku menjelaskan.

"Ya maaf, kakak." Nadhien berkata dengan polosnya.

"Orang tuamu ga datang dik?"

"Maksud kakak, ayah sama bunda?" Raut wajah Nadhien berubah menjadi sedih.

"Em, iya." Aku merasa bersalah telah menanyakan itu.

"Ayah sama bunda . . . , sibuk kak." Kalimat Nadhien membuatku tertegun.

"Sibuk?" Aku masih tak percaya, apakah orang tua akan membiarkan anaknya seorang diri di rumah sakit.

"Huum." Nadhien mengangguk.

"Lalu, kalo kamu butuh apa-apa siapa yang bantu?" Tentunya aku ingin memastikan dia akan baik-baik saja. Jika aku menungguinya seharian atau bahkan berhari-hari tanpa pulang, itu melanggar etika dan adat.

"Ada papa kok." Sahut Nadhien lirih.

"Papa?" Aku menjadi bingung.

"Iya, papa. Dokternya Nadhien, kak. Yang kemarin nemui kakak waktu di ICU." Terang Nadhien.

"Kok papa?" Aku masih tak paham.

"Soalnya, papa sudah rawat Nadhien sejak Nadien kecil. Jadi, Nadhien manggilnya papa." Ekspresi wajah Nadhien berubah. Wajahnya memerah, aku mulai menyadari jika Nadhien tidak bisa menyembunyikan ekspresi apapun.

UnconditionalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang