Bab 10 | Paviliun Teratai III

34.1K 4.4K 105
                                    

Teteng teteng~~
As always, vote vote💕

Happy reading
.
.
.
.

o0o

"Pedang ini menginginkan darahmu, permaisuri,"

Dengan lembut Lianxi menekan ujung pedang di leher putih permaisuri. Raut ketakutan dan kemarahan bercampur aduk di wajah permaisuri Chun yang sudah pucat pasi. Itu semua menjadi hiburan tersendiri bagi Lianxi.

Lianxi berdecih angkuh, sambil mengeratkan jambakan rambut permaisuri yang acak-acakan, ia berkata,
"Kau berusaha membunuhku, mengapa kau begitu terkejut saat aku juga ingin membunuhmu huh?"

Sorot dingin dalam manik Lianxi dan aura mengintimidasi yang kuat, siapa yang tidak tertekan? Permaisuri yang kejam dan bengis pun gemetar dibuatnya. Kini permaisuri umpama seekor kelinci di hadapan seekor singa.

Permaisuri Chun berpikir keras, gadis di depannya ini bukanlah gadis lemah yang ia racuni tempo hari. Terbesit dalam benaknya, arwah jahat telah bersemayam di tubuh Lianxi. Penuh kebencian ia membalas,
"Kau ingin membunuhku huh? Aku tidak akan membiarkan orang yang membunuhku tetap hidup!"

"Begitukah?" seringai Lianxi sambil memegang pergelangan kaki kiri permaisuri Chun. Hal yang sama akan terjadi seperti kaki kanannya.

Krak

"Arghhh!!! Kau!!! Sialan!!! Aku tidak akan memaafkanmu!!!" raung permaisuri sambil mencengkram kerah hanfu Lianxi  dengan tangannya yang bebas.

"Siapa yang membutuhkan maafmu? Wanita tak waras!"

Lianxi menghempas kasar permaisuri Chun hingga wanita itu tersungkur mencium lantai kayu. Permaisuri Chun yang menyadari aroma arak menguar di kamarnya lantas bertanya murka,
"Untuk apa kau menyiram arak di kamarku???!!"

Lianxi mendudukkan dirinya senyaman mungkin di  ranjang mewah permaisuri, sambil mengelus pedang di tangannya ia membalas,
"Menurutmu? Aku tak mengira kau sebodoh ini,"

Permaisuri Chun merasakan tangannya dingin dan kebas, detak jantung yang sebelumnya telah tak karuan kini bertambah jadi. Jika benar apa yang ia pikirkan... Maka kematian akan menjemputnya malam ini.

Permaisuri Chun berpikir keras mencari solusi, berteriak pun tak ada gunanya. Dari sikap gadis yang memandang rendah dirinya sekarang, ia yakin prajurit dan dayang setianya telah dihabisi. Rencana yang telah ia susun rapi, sayangnya telah didahului oleh Lianxi.

Memohon belas kasih... Itu adalah satu-satunya cara. Dengan kondisinya sekarang, permaisuri Chun tidak berdaya melakukan apapun. Jika ia mengancam Lianxi, itu akan memperburuk situasinya.

"Sial!! Aku tidak bisa melawannya sekarang. Heh... Biar begitu, aku tidak akan kalah!" teriak permaisuri Chun dalam hatinya.

Lalu bagaimana dengan harga diri? Harga diri yang selama ini ia junjung tinggi, haruskah seorang permaisuri menjatuhkan harga dirinya di depan gadis yang pernah ia bunuh? Bukankah itu sangat memalukan? Tapi begitulah manusia, makhluk yang akan melakukan apapun untuk mempertahankan nyawanya.

Permaisuri Chun merangkak bersusah payah dengan sisa tenaganya, sambil memeluk kaki Lianxi ia memohon,
"A-ampuni aku! A-aku tidak akan mengulanginya!"

Lianxi tertawa puas, sampai-sampai ia meneteskan air mata. Memang... Di zaman kuno ataupun modern, manusia tetaplah makhluk tidak tahu malu. Tangannya terulur mencekik leher permaisuri Chun, ingin melihat  wajah wanita yang menjilat ludahnya sendiri.

"Apa kau tolol? Kau masih belum sadar juga? Aku tidak datang untuk mendengar permohonan maafmu itu, aku datang untuk mengambil nyawamu," ucap Lianxi sambil menendang keras permaisuri yang bergelayut di kakinya.

Lianxi mulai mengguyurkan sisa arak di teko ke seluruh tubuh permaisuri hingga tetes terakhir, lalu ia kembali berkata,
"Jika kau ingin meminta maaf, itu sudah terlambat,"


"Kau!!! A-apa yang ingin kau lakukan??!!! A-aku akan memaafkan sikap kurang ajarmu, jadi pergilah!!" jerit permaisuri angkuh sebagai usaha terakhir.

Jleb

"Arghhh!!!!!" pekik permaisuri Chun.

Ujung pedang itu menancap di telapak tangan kiri permaisuri hingga menembus lantai kayu. Permaisuri Chun menjerit histeris, tangisnya sampai ke ujung langit. Genangan darah melebar, aroma amis bercampur manisnya arak menguar di kamar temaram itu.

"Apa yang kau lakukan padaku, aku akan membalasnya lebih kejam," tutur Lianxi.

Lianxi melangkah keluar, meninggalkan permaisuri Chun yang berteriak memakinya. Segala sumpah serapah terlontar, menambah daftar dosa permaisuri. Lianxi menulikan telinganya, tanpa beban ia berjalan di halaman beraroma arak. Sebenarnya ia tidak berniat untuk membunuh permaisuri, yang dilakukannya saat ini hanya untuk memberi peringatan. Walaupun sepertinya ini memang cukup berlebihan.

"Jika kau mati itu karena kehendak dewa, tapi jika kau selamat... Kita punya banyak waktu untuk bersenang-senang permaisuri,"

Sejenak Lianxi menatap obor yang ia genggam, jika ini terlalu kejam pun ia tak akan menyesal. Karena.... Permaisuri Chun mungkin tidak hanya membunuh putri Lianxi, tetapi juga dalang dibalik tuduhan palsu yang merenggut nyawa permaisuri Xia He. Lianxi yakin itu bukanlah sekedar dugaan semata.

Penuh kekuatan Lianxi melempar obor ke arah pintu kamar peraduan permaisuri Chun. Langsung saja api menyambar seluruh bagian paviliun dan menjalar sampai halaman. Sang jago merah berkobar ganas, hingga menciptakan semburat merah di langit istana. Derak kayu yang dilahap api memercik riuh di keheningan malam. Asap pekat membumbung tinggi menyentuh langit. Dalam sekejap, paviliun teratai menjelma bagai lautan api.

"Selamat malam, permaisuri..."

.
Apa permaisuri akan berpulang ke pencipta ?

Silahkan vomentnya gaisku 💕
Temu lagi di bab selanjutnya yaw 💕






Return of Princess LianxiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang