Use Indonesia

623 106 2
                                    

—Sofia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

—Sofia

To be honest, Haris is cutest boy ever, i swear.

Beneran. Di balik tingkah jailnya dan ngeselinnya yang kelewatan batas manusia normal, aku gak bisa bohong kalau Haris ada pria yang terlucu yang pernah aku kenal.

So, this is how we met.

Aku lahir di Toronto, Canada. Dari kecil sampai umur dua belas tahun aku tinggal di negara kelahiran ku itu. Sampai Daddy yang di pindahkan tugas ke Indonesia oleh atasannya, membuat aku, Mommy, dan Adik Perempuan ku yang masih sangat kecil itu otomatis mengikutinya untuk pindah ke negara Tropis ini.

Tiga tahun di Indonesia berjalan dengan lancar sampai akhirnya Daddy mengatakan bahwa ia di pindahkan tugas (lagi) ke Berlin. Aku menolak dengan keras, karena sudah merasa betah di negara ini. Setelah rapat meja bundar— eh gak, maksudnya setelah berfikir panjang, Daddy mengusulkan ku untuk pindah saja ke Bandung untuk tinggal bersama Paman dan Bibi ku.

Aku juga tadinya kurang mensetujuinya, namun karena Mommy pandai sekali dalam hal membujuk ku, disinilah aku sekarang. Di rumah Paman dan Bibi ku yang berada di Bandung.

Aku memperhatikan kamar yang sengaja di kosongkan oleh kakak dari Daddy dan juga Istrinya ini. Aku sedikit memutar tubuh ku untuk merasakan lagi euforia kamar ini.

"Sofi, you know you can do anything with this." Paman tersenyum ramah kepadaku, menepuk bahuku ringan. "Kalau ada apa-apa jangan sungkan panggil Om sama Tante, ya?"

Aku mengangguk, mulai membayangkan bagaimana aku akan mendekorasikan kamar ini nanti. "Toko-toko yang jual barang-barang lucu gitu dimana ya, Om?"

"You means . . mall?" Om bertanya ragu padaku, "Kalau toko khususnya gitu Om gak tau sih. Tapi kalau kamu mau ke mall Om bisa anter, oh atau Kak Mike bisa antar kamu juga kesana."

"Lah gak usah di anter, Om." Aku menolak dengan halus, "Aku cuma nanya. Pengen berangkat sendiri biar hafal jalan."

Paman terkekeh, mengacak surai ku dengan pelan, "Mirip banget kamu sama Daddy kamu itu." Aku hanya terkekeh sebagai balasan. "Kenapa gak beli di online shop aja?"

"Di bilang aku mau sekalian hafalin jalan," Aku menggeleng pelan, "Lagipula kalau online shop gak langsung dateng gitu 'kan? Males aku nunggu."

Paman hanya menggelengkan kepalanya pelan sebelum kami tersentak kala suara Bibi mengintruksi untuk memanggil Paman. "Om di panggil Ibu Ratu nih, kita lanjutin nanti ya ngobrolnya."

Aku tertawa, mengacungkan kedua jempol ku sebagai balasan. Selepas Paman keluar dari kamar ku, aku memutuskan untuk duduk di tepi kasur sembari membrowsing sesuatu di Internet.

Ah. Aku menemukan sebuah Mall disini. Jaraknya juga lumayan.

Aku melirik jam yang menggantung di dinding, masih jam tiga sore. Masih siang.

Aku pun dengan cepat mengenakan jaket denim ku, mengambil kunciran dan sling bag yang ku isi dengan dompet. Aku berjalan menuju keluar dan kebetulan berpapasan dengan Kak Mark.

"Hai, sissy. Where you go?" Tanyanya, aku lantas menoleh, lalu memberikan cengiran.

"Mau beli barang-barang buat di kamar nih, Kak. Bilangin Om-Tante aku keluar yaa." Pamit ku lalu bersiap menyentuh pagar kalau suara Kak Mark gak mengintrupsi ku. "Apa???"

"Jangan nyasar!" Ulang Kak Mark seraya tertawa, "Hati-hati, sister!"

Aku hanya tertawa sebagai balasan.




























Aku menatap layar ponsel ku nanar, benda kesayangan ku ini mati dan aku tidak membawa power bank.

Nice, Sofia. You're really really a smart girl.

Aku pun tidak tau ini ada dimana — eh, maksudnya aku sekarang berada di sebuah Mall sih, maksudnya aku gak tau harus pulang naik apa. Aku menghela nafas, menaruh kantung belanjaan ku di tanah dan mulai celingukan.

Apa di sini gak ada taksi? Kok sejauh mata ku memandang aku hanya melihat— apa tuh, namanya yang sejenis mobil tapi gak ada AC-nya, angkot ya? Hft, ojek juga gak ada.

Then what should i do?

Aku ingin sekali bertanya namun aku sungkan, makhluk pribumi disini selalu menggunakan bahasa yang tidak aku mengerti.

Duk.

"Eh, Neng! Hampura! Urang teu sengaja, hampura-hampura!" Ujar seseorang saat aku sibuk mengelus kepala ku yang habis tercium botol bekas.

Aku mengaduh, menatap pria yang menatap ku khawatir dengan heran, "Hampura? Hampura itu apa?"

Dia sempat terdiam, sebelum akhirnya tersenyum geli membuat aku semakin terheran, "Kenapa sih?"

"Oh, ai kamu teh lain orang dieu?" Tanyanya, kemudian ia menggeleng pelan. "Eh, maksudnya kamu teh bukan orang sini?"

Aku mengangguk-angguk, sedikit merasakan lega di hatiku kala orang ini menggunakan bahasa yang ku mengerti. "Use Indonesia ya, please."

Ia melongo lagi, sebelum akhirnya mengangguk juga. "He'eh, tapi kamu juga harus pakai Indonesia ya. Aku mah mana ngerti bahasa orang Inggris mah. Cinta Indonesia aja."

"Oke?" Aku berucap ragu-ragu, masa sih udah segede gini belum mengerti bahasa Inggris?

"Jadi, kamu orang mana? Ke sini sama siapa?"

"Oh, i'm alone here and i liv—"

"Ih, Bahasa Indonesia!"

Aku tertawa sedikit, "Tinggal di Neo Residence. Tau?"

"I know, i know," Katanya yang membuat aku tergelak, katanya gak ngerti bahasa Inggris?

"You was said we just speaking Indonesia here?"

"Ih, kamu mah pakai Indonesia aja." Dia merengut, "Aku Haris."

"And i'm Sofia." Aku tersenyum sedikit sebelum akhirnya meledakan tawa ku kala ia tampak berfikir keras. "Kusut banget itu dahinya."

"Kok diketawain?!" Protesnya, "Can i anter you ke rumah? You wanna take it or leave it?"

Aku tersenyum geli, meski aku sudah di peringati tentang bahayanya orang asing sedari kecil, tapi aku percaya saja dengan Haris saat itu. Maka aku mengangguk, menyetujuinya.

"Let's go, you use a car or motorcycle?"

"... angkot."

"HAHAHA, seriously???"

"Gak kok, aku pakai motor. Yuk."

Dan yang mengejutkan ku yaitu fakta bahwa Haris ini adalah Kakak kelasku pada saat SMA.

Kala Merindu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang