Ad Infinitum | 2

3.7K 619 37
                                    

Narendra Djani:
El, nanti kamu gantiin Naya datang ke networking event, ya. Yang bikin law firm-nya klien kita. 

Narendra Djani:
Di Bunga Rampai, Menteng. 7:30pm. Minta didrop pakai mobil kantor aja. Kita ketemu di sana. Thanks, El.

Pesan itu aku terima tepat pada pukul lima sore, ketika aku sedang menyelesaikan pekerjaan terakhirku dan berharap bisa pulang cepat setelah seminggu lalu lembur hampir setiap hari. Sebuah perintah yang walaupun tidak terlalu singkat, namun padat dan jelas sehingga aku juga tidak bisa beralasan untuk menghindarinya. 

Spontan, aku menggurutu. Karena jujur saja, aku sudah membayangkan bisa bersantai di rumah, memasak makan malam di apartemen, dan cekikikan menonton tingkah konyol Sheldon di The Big Bang Theory yang sudah aku tonton berulang kali. Namun ternyata, manusia hanya bisa berencana, tapi bos jugalah yang menentukan. Kalau sudah 'ditembak' seperti ini, aku tidak punya pilihan lain selain mengiyakan, kan?

Akhirnya di sinilah aku sekarang. Celingak-celinguk di tengah kerumunan orang, mengenakan high heels tujuh centimeter yang membuat kakiku pegal setengah mati, sambil berusaha mencari sosok Mas Naren yang - sejak aku tiba di restoran ini sekitar sepuluh menit lalu - belum terlihat batang hidungnya. 

Semakin lama aku berada di dalam ruangan ini, aku bisa merasakan tanganku mulai basah karena keringat dingin dan jantungku berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Merasa gugup berlebihan di tempat ramai seperti ini bukan hal baru sebenarnya. Sejak berpisah dari si egosentris Dirga dan kembali berkehidupan sosial seperti manusia pada umumnya, tidak jarang aku menemukan diriku merasa minder saat sedang berinteraksi dengan orang lain. Takut salah bicara dan bersikap membuatku akhirnya jadi lebih sering diam dan menyimpan opini. 

Psikolog yang aku temui mengatakan bahwa rasa minder dan kurang percaya diri itu umum terjadi pada seseorang yang pernah mengalami tekanan emosional dalam waktu yang lama dan pelan-pelan bisa membaik seiring dengan kondisi emosionalku yang menjadi lebih stabil. Ketika beliau mengatakannya, aku merasa sedikit lebih tenang. Setidaknya masih ada harapan bagiku untuk bisa kembali menjalani hidup dengan normal. 

Menyadari bahwa kegugupanku tidak juga mereda, aku memutuskan untuk keluar sebentar dari ruangan. Persetan dengan Mas Naren yang entah di mana. Kalau memang dia membutuhkan kehadiranku di acara ini, dia pasti mencariku. Dengan langkah cepat, aku pun beranjak ke arah pintu masuk dan segera melesat keluar saat seorang waiter membukakan pintu untukku dengan sopan. 

Seperti orang yang baru saja tenggelam di lautan, dengan serakah aku menghirup oksigen dalam satu tarikan napas panjang begitu aku bisa merasakan hembusan udara luar ruangan di wajahku. Satu napas. Dua napas. Tiga napas. Perlahan, degup jantungku melambat. Aku pun tidak lagi terengah-engah dan bisa kembali mengatur napasku hingga aku tidak lagi terlihat seperti orang yang sedang terkena serangan jantung. 

"You okay?" Kehadiran suara bariton yang mendadak itu jelas-jelas mengejutkanku, membuatku sampai mundur satu langkah saking kagetnya. 

Saat aku menoleh, aku melihat satu sosok laki-laki dengan setelan jas lengkap sudah berdiri di sampingku dan sedang menatapku dengan lekat. Wajahnya familiar. Namun aku tidak ingat pernah melihatnya di mana. 

"Nggak apa-apa." Aku menjawab cepat.

Jawabanku sepertinya tidak membuat laki-laki di hadapanku ini percaya karena dari ekspresi wajahnya, aku bisa melihat bahwa ia meragukan ucapanku. 

"You sure?" Ia bertanya lagi, "Soalnya tadi kayak sesak napas gitu. Perlu ke rumah sakit?"

He saw that? Sebenarnya sudah berapa lama dia memperhatikanku di luar sini?

Ad Infinitum (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang