Langit sore di luar jendela sedang gelap-gelapnya ketika rapatku dengan Rama dan kliennya selesai. Bukan gelap karena matahari sudah terbenam, namun gelap mendung dengan awan kelabu tebal menggantung dan bergumul, tanda bahwa sebentar lagi Jakarta akan dihajar badai.
Suara dan pendar petir berkilat dan berkejaran di luar sana, bersamaan dengan Mas Naren yang menutup rapat dengan konklusinya. Intinya, proses due diligence[1] akan dilakukan mulai minggu depan melalui virtual data room. Hanya jika terdapat kejanggalan krusial, barulah kami - aku dan timnya Rama - bisa meminta akses atas dokumen fisiknya.
Begitu Mas Naren selesai bicara, semua orang di dalam ruangan dengan sigap langsung berdiri, terutama mereka yang tidak bekerja di gedung ini dan harus kembali ke kantornya masing-masing. Melihat keadaan langit di luar sana, juga fakta bahwa sekarang sudah memasuki jam pulang kantor, terjebak kemacetan lalu lintas Jakarta dalam kondisi seperti ini sama saja seperti mencemplungkan diri ke dalam neraka. Walaupun aku juga tidak tahu kondisi di neraka sesungguhnya seperti apa, yang jelas tidak menyenangkan.
Kami semua - Mas Naren, Naya, aku, bahkan Rama dan Theo - lebih dulu mengantar klien kami ke luar ruangan dan menuju lift gedung. Begitu mereka turun, tadinya Rama dan Theo ingin langsung pergi juga, kembali ke kantor mereka yang sebenarnya hanya berjarak kurang lebih satu kilometer dari gedung ini. Namun tiba-tiba, Mas Naren menahan Rama, meminta lawyer itu untuk ikut dulu ke ruangan kerjanya.
"For old time's sake, Ram. Kalau bukan karena acara lo di Bunga Rampai dan kerjaan ini, kayaknya kita nggak pernah ngobrol-ngobrol lagi," ujar Mas Naren sambil menepuk pundak Rama, yang segera disambut dengan tawa kecilnya, "Udah sore juga. Nggak sibuk, kan?"
"Nggak terlalu sih," Rama lalu menoleh ke arah Theo, "Lo balik kantor duluan aja kalau begitu, Yo. Pakai mobil kantor."
Mendengar perintah atasannya, Theo malah tercengang, "Terus Mas Rama nanti gimana?"
"Lo katanya lulusan terbaik, cum laude, IPK hampir 4.00. Masa yang kayak gitu masih ditanya?" Ujar Rama sambil terkekeh, "Nanti bilang sama supir kantor, abis ngedrop lo, minta tolong dia balik lagi ke sini buat jemput gue."
Raut wajah Rama tampak begitu selengean. Wibawa yang sebelumnya ia keluarkan dengan jor-joran selama rapat mendadak hilang digantikan aura jahil seorang senior kepada juniornya. Walaupun terkesan menyebalkan, tapi tetap tidak kehilangan nuansa bahwa ia sebenarnya mengayomi. Karena Rama mengucapkannya dengan penuh nada canda, bukan untuk menghina.
This is new. Sisi Rama yang seperti ini belum pernah aku lihat sebelumnya. Dan semakin banyak lapisan yang aku tangkap dari dirinya, semakin aku dikunci oleh rasa ingin tahu dan ingin mengenalnya lebih dekat. Sesuatu yang seharusnya tidak aku lakukan karena aku tahu pasti ia akan membawaku ke mana. Namun di saat-saat seperti ini, aku tidak bisa tidak bertanya-tanya tentang sisi-sisi Rama yang lainnya. Aku ingin mengenalnya dengan utuh.
Aku tidak menyadari bahwa Theo sudah menghilang masuk ke dalam lift yang baru saja terbuka ketika di saat yang sama, aku mendengar Mas Naren memanggil namaku.
"El, ngapain kamu bengong di situ? Ayo masuk."
Saat tersadar, aku melihat Naya, Mas Naren, juga Rama, sudah berdiri di depan pintu lobi kantor. Ketikanya menunggu dan memperhatikanku seolah-olah ada yang salah dengan diriku.
"Theo-nya udah pulang," Ledek Mas Naren, "Nggak usah ditungguin di depan lift gitu."
Celoteh Mas Naren sontak membuatku menoleh. Am I missing something? Kenapa jadi tiba-tiba bahas si Theo?
"Jadi kamu sukanya yang kayak Theo, El?" Kali ini, Rama yang nimbrung. Saat aku melihat ke arahnya, kerling jahil itu muncul lagi. Seriously! Kenapa Rama malah jadi ikut-ikutan? Dan kenapa malah sebut-sebut nama Theo?!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ad Infinitum (Hiatus)
ChickLitSetelah tiga tahun bertahan dalam sebuah pernikahan yang hanya membuatnya tertekan lahir batin, akhirnya satu tahun lalu, Elora resmi bercerai dari Dirga. Perlahan, Elora berusaha untuk menyusun lagi potongan-potongan hidupnya yang dulu ia abaikan s...