Ad Infinitum | 27

1.7K 382 21
                                    

Hari Seninku baru berakhir pukul delapan malam. Awal minggu baru saja dimulai, namun tubuhku rasanya sudah remuk, seperti baru saja selesai lembur berhari-hari tanpa istirahat. Lebih parahnya lagi, perutku lapar luar biasa. Sengaja aku melewatkan makan malam karena ingin pulang lebih cepat. Sebuah keputusan yang dengan cepat aku sesali karena ketika aku lapar, aku malah jadi semakin sulit berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaan. 

Biasanya Rama pasti sudah menghubungiku sejak satu jam yang lalu, memintaku untuk menemaninya makan malam atau bertanya jam berapa aku bisa dijemput dan setelahnya kami akan makan bersama. 

Tapi tidak dengan hari ini. Hari ini, aku berdiri di tengah-tengah koridor lobi gedung yang masih ramai orang, tanpa Rama dan tanpa ajakan makan malam. Sendiri dan kesepian, aku pun menghela napas panjang sambil memerhatikan sekitar.

Ada seorang perempuan yang sepertinya seumuran denganku yang baru saja dijemput suami dan anaknya. Ada seorang laki-laki berjas abu-abu yang berjalan cepat keluar dari lift karena istrinya yang sedang mengandung sudah menunggu di kursi lobi. Ada juga sepasang laki-laki dan perempuan - entah suami-istri atau masih pacaran - yang baru saja melewatiku, berjalan bersisian sambil mengobrol dan tertawa. Yang perempuan menatap pasangannya dengan mata yang berbinar-binar, dan di tengah-tengah obrolan yang tampak seru itu, si pria tiba-tiba mengulurkan tangannya dan membelai lembut rambut perempuan di sampingnya. 

Satu kesamaan dari mereka semua, ada ekspresi yang begitu bahagia terpampang jelas di sana. Memang tidak ada yang lebih membahagiakan daripada memiliki seseorang yang bisa menjadi teman untuk berbagi waktu dan ruang. Teman mengobrol atau sekedar berbagi lelucon tidak penting yang belum tentu bisa membuat orang lain ikut tertawa, tapi bisa membuat kita tergelak berdua bersama. Seseorang yang bisa menjadi tempat bersandar, dan menjadikan kita tempat bersandarnya, di saat-saat penuh duka.  

Dan melihat orang-orang ini berlalu-lalang dengan raut bahagianya, aku iri. 

That kind of person in our life, that's definitely worth having, right?  And anything worth having needs effort, doesn't it?

Di dalam kantong blazer, tanganku memainkan telepon genggam dengan gelisah. Nama Rama muncul dalam benakku tanpa basa-basi, begitu juga dengan hasrat untuk menghubunginya yang begitu menggebu-gebu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku kangen. 

Aku kangen mendengar suaranya saat tertawa. Aku kangen dengan perhatian-perhatian kecilnya. Aku kangen bertukar cerita ketika kami sedang sama-sama lelah karena urusan kantor, kangen dengan tatapan manjanya setiap kali ia refleks menyandarkan kepalanya di bahuku dan berkata, "Aku capek banget dari kantor. Kamu pasti juga capek, ya?"

Momen-momenku bersamanya berkelebatan dan akhirnya aku menyerah. Rasa takut yang sebelumnya menguasaiku setiap kali aku memikirkan hubunganku dengan Rama kali ini sukses dikalahkan oleh rindu. Tanpa sadar, aku sudah menekan tombol telepon di sebelah namanya di layar ponsel dan nada sambung itu pun dengan cepat terdengar. Aku tidak lagi bisa kabur dari rasa rinduku.

"Hai..." Aku terdengar gugup saat menyapa Rama di telepon, "Sibuk nggak? Udah makan?"

Tanpa sadar, senyumku segera terbit setelah mendengar respon Rama di seberang sana, "Makan yuk."

*

Aku sampai lebih dulu di restoran dan Rama baru tiba sepuluh menit kemudian. Senyumnya adalah yang lebih dulu muncul saat sepasang mata kami akhirnya bertemu. Namun yang membuatku tertegun sesaat malah rambutnya yang tampak lebih panjang dan kantong matanya yang menggelap. Sesibuk apa dia sampai tidak sempat mencukur rambut dan kurang tidur seperti ini?

"Udah lama, El? Sorry ya, tadi harus discuss dulu sebentar, makanya telat." Ujar Rama sambil menarik kursi di hadapanku.

Aku menggeleng sambil tersenyum, "It's okay. Aku juga belum lama kok."

Ad Infinitum (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang