Setelah sejak pagi berjibaku dengan dokumen-dokumen terkait salah satu start-up company bidang e-retail yang sedang diincar oleh kantorku, dan dibombardir oleh e-mail kerjaan dari Mas Naren sejak kemarin sore, akhirnya tepat sepuluh menit sebelum makan siang, hasil analisisku untuk pitch meeting nanti sore selesai juga. Hanya setelah memastikan bahwa aku sudah mengirimkan dokumen yang benar dan menekan tombol 'send' di layar komputer, baru aku bisa bernapas lega.
Di saat yang sama, terdengar suara ketukan dari arah pintu ruang kerjaku. Aku pun menoleh dan menemukan Naya di sana, sedang berdiri bersandar di kusen pintuku dengan sebelah tangannya ia masukkan ke dalam kantong celana, sedangkan yang sebelah lagi dipakai untuk menggenggam sebuah kantong kertas dengan logo Starbucks di depannya.
Dengan sekali lirik saja, aku sudah bisa menebak apa isi kantong itu: segelas iced grande americano untuk Naya, dan satu iced matcha latte untukku karena aku sudah berhenti minum kopi. Kafein, terutama kopi, hanya membuatku semakin gelisah.
"Tahu aja temennya lagi mumet," Ujarku sambil tersenyum miris ketika Naya mempersilakan dirinya sendiri untuk masuk ke ruang kerjaku dan meletakkan kantong kertas yang ia genggam ke atas meja.
Sambil mengambil gelas kopinya sendiri, Naya pun duduk di kursi kerja teman seruanganku yang hari ini sedang tidak masuk karena sakit, "Buat meeting nanti sore sama Mas Naren, ya?"
Aku mengangguk, "Banyak banget lagi dokumennya. Pusing gue."
"Nih minum dulu," Naya lalu mengeluarkan iced matcha latte-ku dari dalam kantong dan menyodorkannya ke arahku, "Kepala lo udah berasap tuh."
"Thank you," Dengan cepat aku menyesap isi gelas plastik itu dan tiba-tiba saja, setengah isinya sudah habis, "Gila, ternyata gue butuh gula. Pantesan mumet."
"Lo sih, serius banget ngurusin kerjaannya Mas Naren. Dedikasi ya? Karena yang nyuruh ganteng?" ujar Naya menggodaku sambil terkekeh geli.
Mendengar ledekan Naya, aku pun melayangkan tatapan tajam ke arahnya, "Udah deh, Nay. Dibilangin, gue tuh nggak ada apa-apa sama Mas Naren. Dia juga biasa-biasa aja kok ke gue."
Jawabanku ternyata malah membuat Naya semakin penasaran, "Emangnya kenapa sih kalau sama Mas Naren, El? Ganteng, mapan, pinter. On the way to be a General Partner in this firm. Lo kalau kawin sama dia bisa langsung pensiun, nggak usah susah-susah kerja lagi kayak gini."
Aku menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Naya, "Dulu waktu sama Dirga juga gue mikirnya gitu. Beneran disuruh berhenti kerja, kan? Abis itu jadi tahanan rumah, malah nggak boleh ke mana-mana."
Mendengar aku menyebut nama mantan suamiku, ekspresi Naya langsung berubah masam, "Nggak usah jual derita. Fokus aja ke masa depan, ngapain masih mikirin mantan?"
Aku pun terkekeh melihat muka Naya yang ditekuk, "Gue nggak mikirin mantan. I was simply stating the facts."
"Ya bener. Tapi kan belum tentu lo bakal menderita lagi kalau menjalin hubungan lagi sama cowok lain. Lagian apa sih kurangnya Mas Naren? Di jidatnya kayak udah ada stempel 'Jaminan Hidup Bahagia' gitu." ujar Naya berapi-api tanpa mengindahkan ucapanku sebelumnya.
"Dia nggak ada kurangnya, Nay." Balasku kemudian.
"Tapi?"
"Gue yang kurang mau sama dia." Jawabku sambil setengah mencibir dan tertawa, yang ternyata juga memancing tawa Naya.
"Sombong," Ujar Naya di tengah gelaknya, "Ditaksir bos sok nggak mau. Ganteng lho, El. Udah gitu, auranya juga mengayomi. Dia tegas, tapi nggak pernah marah. Mas Naren juga care ke anak buah, bahkan ke supporting staff aja dia baik. Gue yakin, siapapun yang jadi istrinya pasti bakal disayang banget deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ad Infinitum (Hiatus)
ChickLitSetelah tiga tahun bertahan dalam sebuah pernikahan yang hanya membuatnya tertekan lahir batin, akhirnya satu tahun lalu, Elora resmi bercerai dari Dirga. Perlahan, Elora berusaha untuk menyusun lagi potongan-potongan hidupnya yang dulu ia abaikan s...