I don't like the way Rama makes me feel.
Dengan gestur rileksnya, dia membuatku dengan cepat merasa nyaman. Dengan celetukan-celetukan humorisnya, dia membuatku mudah sekali tertawa lepas. Dengan atensinya terhadap hal-hal kecil, dia membuatku merasa diperhatikan. Dan aku tidak suka. Semua perasaan itu hanya membuatku jadi ingin mengenalnya lebih dari sekedar teman, sesuatu yang tidak sesuai dari apa yang pernah aku tawarkan kepadanya. Yang lebih menyebalkan, hal itu tidak sesuai dengan apa yang pernah aku janjikan kepada diri sendiri. Bahwa aku tidak akan memulai romantic relationship sebelum aku benar-benar siap secara mental.
Dan jelas sekali kan bahwa aku belum siap?
Namun di saat yang sama, laki-laki yang sedang mengemudi di sebelahku ini membuatku merasa begitu penasaran. Dan ketidaksengajaanku mendengarnya memanggil 'sayang' di telepon tadi hanya membuat rasa ingin tahuku jadi semakin menggebu-gebu.
Siapa yang dia panggil 'sayang' itu? Lalu, kenapa dia tiba-tiba menawarkan diri untuk berteman denganku? Kenapa dia bersikap begitu baik, padahal aku adalah seseorang yang sama sekali tidak pernah dia kenal sebelumnya? Sebenarnya, dia mau apa?
Diam-diam, aku melirik ke arah Rama yang sedang fokus menyetir dan menatap ke arah jalanan. Who are you, Rama? What do you want?
Tanpa ku sangka, di saat yang sama tiba-tiba Rama ikut menoleh ke bangku penumpang. Aku pun tertangkap basah sedang memerhatikannya.
Rama lantas tersenyum jahil, "Kenapa? Kok ngelihatin saya sampai segitunya?"
"Lagi mikir mau nanya apa ke kamu." Jawabku sambil memicingkan mata, pura-pura berpikir keras padahal aku sudah tahu pertanyaan apa yang akan aku ajukan kepadanya.
Ia lalu menaikkan sebelah alisnya, "So? Udah tahu mau nanya apa?" Ekspresinya seolah menantangku bahwa apapun yang aku tanyakan, dia pasti bisa menjawabnya dengan mudah.
Aku memutar tubuhku, tidak lagi bersandar di kursi penumpang melainkan memunggungi pintu mobil dan menghadap lurus ke arah Rama. Sambil menyilangkan kedua tanganku di depan dada, aku bertanya, "Kenapa?"
Rama menoleh lagi. Wajahnya terlihat bingung, "Kenapa apanya?"
"Kenapa tiba-tiba kamu mau temenan sama saya? Kita nggak pernah saling kenal sebelumnya. We have zero mutual friends. Well, ada Mas Naren, tapi saya bahkan nggak tahu siapa kamu sampai insiden saya sesak napas di Bunga Rampai tempo hari. Why, Rama? Why the sudden interest?"
Namun alih-alih merasa terintimidasi dengan pertanyaanku, aku bisa melihat salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas begitu aku selesai bicara. Dia tersenyum.
"Kamu bener-bener nggak suka basa-basi ya orangnya." Ujar Rama sambil terkekeh kecil.
"Why waste time?" Balasku sambil mengangkat kedua bahu.
"Good point," Senyum di bibirnya hilang, digantikan raut wajah yang lebih serius. Mungkin, ini adalah ekspresi Rama yang paling serius yang pernah aku lihat selama aku mengenalnya, "So, you're asking why the sudden interest? Hm... kenapa ya? Memang harus ada alasannya kalau mau berteman sama orang lain?"
"Iyalah! Nggak mungkin kamu tiba-tiba aja pengen temenan sama seseorang tanpa alasan apa-apa. Pasti ada hal yang bikin kamu mau kenal lebih akrab sama orang itu."
"Misalnya?" Rama malah balik bertanya. Aku mulai curiga jangan-jangan ini adalah caranya untuk menghindar dari kewajiban menjawab pertanyaanku. Selain bikin penasaran, cowok ini ternyata jago bikin emosi juga.
"Ya banyak," Aku mendengus tidak sabar, "Dari mulai yang klise, orangnya cantik atau ganteng, kaya, pinter. Bisa juga karena kamu pengen masuk ke lingkaran sosial tertentu buat kepentingan pekerjaan. It can be anything."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ad Infinitum (Hiatus)
Chick-LitSetelah tiga tahun bertahan dalam sebuah pernikahan yang hanya membuatnya tertekan lahir batin, akhirnya satu tahun lalu, Elora resmi bercerai dari Dirga. Perlahan, Elora berusaha untuk menyusun lagi potongan-potongan hidupnya yang dulu ia abaikan s...