Bohong jika aku mengatakan bahwa pengakuan Rama tempo hari tidak mengganggu pikiranku. Faktanya, sudah beberapa hari berlalu, namun aku masih belum bisa melupakan ekspresi patah hatinya, intonasi sedihnya, dan tatapan terlukanya saat bercerita tentang Amara. Dan nama perempuan yang tidak pernah aku kenal itu pun dengan setia menemani setiap kali bayang-bayang tentang Rama muncul ke permukaan.
Rangkaian cerita Rama sudah cukup untuk membuat Amara menjadi penghuni tetap di benakku. Dalam imajinasiku, Amara menjelma menjadi sosok yang tidak pernah lupa menyapa siapapun dengan ramah, lengkap dengan senyum manis keibuan yang aku yakin selalu menghiasi wajahnnya yang bersahaja. Sangat bertolak belakang dibandingkan aku yang beberapa tahun belakangan jarang sekali tersenyum.
Padahal aku sama sekali tidak pernah melihat wajahnya, apalagi mengenalnya. Namun bayangan tentang perempuan itu, dan cerita yang pernah Rama miliki bersamanya, sudah cukup untuk membuatku gelisah selama berhari-hari.
Maka ketika siang ini aku menerima telepon dari Ibu yang berkunjung dari Bogor dan meminta ditemani makan siang, tanpa pikir panjang aku pun segera mengiyakan. Selain karena aku akan merasa berdosa jika menolak permintaan Ibu, sesungguhnya aku juga berharap bahwa mengobrol dan menghabiskan waktu dengan beliau - walau hanya beberapa jam saja - akan menjauhkan pikiranku dari Rama. Aku ingin tahu bagaimana kabar Bapak, juga keponakan-keponakanku yang dari foto-fotonya saja terlihat semakin lucu dan menggemaskan.
Namun alih-alih membahas tentang keluargaku atau topik yang tidak berhubungan dengan Rama, Ibu malah menanyakan satu-satunya hal yang tidak ingin aku jawab.
"Teman kamu yang tempo hari mengantar ke Bogor apa kabar, El?"
Pertanyaan itu meluncur ketika aku sedang menyesap es jeruk pesananku dan sukses membuatku tersedak sampai terbatuk-batuk.
"Ibu..." Ujarku setelah berhasil meredakan batukku, "Kenapa tiba-tiba nanyain dia sih?"
"Lho? Kenapa?" Ibu balik bertanya dengan ekspresi bingung, "Kan Ibu pengin tahu."
"Kepengin tahu buat apa? Kan aku udah pernah bilang, kami cuma teman. Nggak ada apa-apa."
Di hadapanku, Ibu lalu mengulum senyum, "Cuma teman kok jauh-jauh mengantar ke Bogor."
"Apaan sih, Bu?" Aku mendengus sebal, "KTP baruku yang ada status cerai hidupnya saja baru selesai dicetak beberapa waktu lalu. Kok malah sekarang Ibu sudah bahas-bahas yang kayak gitu? Nanti dululah. Aku masih mau kerja dulu, mau traveling lagi, mau sekolah lagi. Masih banyak rencana yang mau aku lakukan, yang dulu terlantar karena si Dirga sialan itu."
Hal-hal yang aku kemukakan itu memang bukan sepenuhnya bohong. Tapi mana berani aku mengatakan alasan yang sebenarnya kepada Ibu? Bahwa yang paling membuatku ingin mundur teratur dari kedekatanku dengan Rama adalah bayang-bayang bernama Amara.
"Apapun rencanamu, buat Ibu yang penting kamu happy."
"Kalau memang Ibu mau aku happy, nggak usah nanya-nanyain orang itu lagi, ya? Please?" Aku pun menatap Ibu penuh permohonan. Sekali ini saja, aku ingin bebas dari pikiran-pikiran tentang Rama.
"Iya deh..." Ujar Ibu mengalah, persis ketika pesanan soto betawi dan nasi hangatnya tiba di atas meja, "Ibu nggak akan tanya-tanya lagi. Asal kamu juga mau janji."
"Janji apa?"
"Kalau ada apa-apa, kabar baik ataupun buruk, bilang sama Ibu ya, El?" Pinta beliau, "Ibu nggak mau kamu memendam cerita sendiri kayak dulu, hanya karena nggak mau Ibu dan Bapak khawatir. Mengkhawatirkan anak-anak itu sudah jadi makanan Ibu sehari-hari. Memang begitu tugasnya orang tua. Jadi kamu nggak perlu takut untuk bilang ke Ibu. Ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ad Infinitum (Hiatus)
Romanzi rosa / ChickLitSetelah tiga tahun bertahan dalam sebuah pernikahan yang hanya membuatnya tertekan lahir batin, akhirnya satu tahun lalu, Elora resmi bercerai dari Dirga. Perlahan, Elora berusaha untuk menyusun lagi potongan-potongan hidupnya yang dulu ia abaikan s...