7. Gara Gara Ayah? (b)

29 5 0
                                    

Plak!

Perempuan paruh baya itu semakin mengapit erat lengan pria disampingnya.

Bukan.

Seharusnya yang diberi perlindungan bukan dia, tapi cowok itu. Riski.

Dia baru saja ditampar dihadapan perempuan yang telah membuat hidup keluarganya jungkir balik seperti sekarang.

Dan yang melakukan itu tidak lain dan tidak bukan adalah Herman. Ayahnya sendiri.

Riski masih memegangi area pipi yang sempat memerah. Dia menunduk dalam.

"Ayah nampar aku karena aku mau bawa ayah untuk pulang? Apa aku salah, Yah?" tanya Riski parau. Dia tak kunjung mendongak.

Sebelah tangannya terkepal kuat.

"Kalo kamu mau bawa ayah pulang, ayo kita pulang! Tapi jangan pernah sekalipun kamu kasar sama Arini!"

Riski tersenyum getir, perempuan itu lebih berharga dibandingkan eksitansinya saat ini?

"Mas?"

Suara lembut barusan, semakin membuat darah Riski berdesir hebat.

Kenapa ayahnya jadi seperti ini?

Berpihak pada seseorang yang tidak sepantasnya ada diposisi itu.

"Yah?" Akhirnya Riski mendongak. Matanya yang mulai merekah seakan mampu menembus dan menyelami iris pekat milik Herman. "Ayah pergi setelah bertengkar hebat sama bunda, bikin bunda nangis semalaman sampai sakit. Dan dengan mudahnya sekarang ayah malah menghilang kekota buat ketemu sama dia." sambung Riski sarkas, bahkan tanpa berniat menoleh sedikitpun pada presensi disamping ayahnya.

Herman berpejam sesaat, menggigit sudut pipi bagian dalamnya, bukan hanya Riski. Saat ini dia juga tengah berontak melawan hati dan keinginan.

Herman menarik tangannya dari perempuan bernama Arini itu. Perlahan mendekat dan merengkuh bahu Riski dengan erat, agar Anak itu menatapnya tegar dan berani. Bukan seperti saat ini, lesu dan menyedihkan.

Herman tidak suka melihat sulung laki lakinya seperti itu.

"Pulang dan temani bundamu"

Riski menggeleng lemah, lengan cowok itu bergerak naik, balas memegangi tangan Herman yang masih bertopang dipundaknya.

Sudut mata Riski sudah digenangi oleh cairan bening yang jika sedikit saja dia berkedip, maka akan tumpah.

"Kenapa kita nggak pulang sama sama buat bunda, Yah?"

Sebisa mungkin Riski menahan, namun semakin ditolak, buliran bening itu semakin jatuh dan mengalir deras membasuh wajahnya.

Itu adalah pertahanan terakhir.

Artinya, saat ini Riski sudah benar benar lemah dan tidak berdaya.

Herman menurunkan tangannya kembali.

"Untuk sekarang ..." pria itu menyorot dengan tatapan kosong, lalu tertunduk dalam. "Saya nggak bisa, nak"

Riski mencelos.

Saya?

Herman sudah menarik Arini ikut pergi bersamanya. Masuk kedalam mobil pajero hitam yang terparkir tidak jauh dari sana.

Riski hanya mampu menatap nanar kepergian mereka.

kedua lututnya melemas, dia tersungkur direrumputan.

Bahunya bergetar, cowok itu mendongak menatap hamparan luas semesta diatas sana. Sungguh, yang saat ini dia lakukan adalah upaya agar air matanya tidak kembali tumpah.

NETRALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang