Without me knowing

618 86 3
                                    

Doyoung menatap wanita di hadapan nya. Pandangan nya sangat kesal. Jari-jari wanita itu mengetuk meja beberapa kali. Doyoung sendiri bisa merasakan kalau wanita di hadapan nya sedang sangat gelisah.

"Anda mau menjelaskan perihal mendiang keluarga saya yang di tekan oleh perusahaan anda?" ucap Doyoung.

Wanita tua tersebut mengibaskan rambutnya, keringat mulai mengalir melewati tengkuknya. "Kamu kemarin ke rumah?" tanyanya.

Doyoung mengangguk. Suasana kafe hari ini ramai dan dingin, tapi yang Doyoung rasakan adalah hawa panas dan sepi. Melihat dihadapan nya adalah wanita yang selalu membuatnya tertekan.

Ibu nya Anggi, Nyonya El.

"Gak usah gugup, saya cuma mau-"

"Saya ganti hutang nya secepatnya kok, nyonya." potong Doyoung.

"Kok kamu berani motong ucapan saya?" Nyonya El menatap Doyoung secara intens. Doyoung sendiri sudah menunduk karena malu menjadi pusat perhatian karena ucapan nya yang terdengar kencang.

Nyonya El menghela nafas. "Orang tua kamu, dulu nyuri uang saya untuk masa depan kamu." ucap Nyonya El yang masih menatap Doyoung. Ia menghela nafas sebelum melanjutkan. "Mereka gak bilang ke saya, jadi itu tidak bisa saya sebutkan hutang kan?"

Doyoung terdiam, badan nya mematung mendengar hal itu. Pantas saja Nyonya El selalu menagih hutang dengan cara yang sangat kejam. Entah mencari Doyoung dimanapun ia berada atau menghancurkan beberapa perabotan dirumah.

"Tapi mereka bilang sama saya," Mata Doyoung terangkat dan menatap Nyonya El dengan pandangan berharap. "Mereka mencuri buat kebutuhan anak satu-satunya."

"Tapi-"

"Tolong jangan potong ucapan saya."

Doyoung kembali membungkam mulutnya. Ia tidak percaya dengan apa yang di ucapkan wanita tua di hadapan nya ini. Wanita paruh baya itu menghela nafas.

"Mereka berusaha meyakinkan saya untuk memegang uang yang bisa dibilang banyak itu. Saya percaya kalau mereka akan mengganti nya. Yang bikin saya tidak percaya, kenapa mereka harus mengakhiri hidupnya dan memberikan beban ini ke anak mereka?"

Doyoung mematung. Tangan nya mengepal, kejadian dimana melihat kedua orang tua nya loncat dari gedung perusahaan milik keluarga Anggi membuat ia kembali merasakan kesedihan yang sama seperti saat itu.

"Walaupun saya ikhlas karena saya bisa mengganti uang tersebut, tapi rasa kesal saya belum bisa digantikan. Saya juga orang tua, meninggalkan anak dengan beban yang besar itu hal rendahan."

Nafas Doyoung terengah, menatap Nyonya El yang menceritakan secara rinci dengan tajam.

"Kamu tau, Doyoung, saya bangga dengan apa yang kamu lakukan. Uang masih bisa di cari, tapi anak yang bertanggung jawab sangat sulit di cari." ucap Nyonya El menatap Doyoung dengan dalam. "Tapi tetap saja, keluarga kamu terpandang penipu. Itu yang membuat kamu susah mencari kerjaan. Bukan karena saya."

Doyoung memalingkan wajahnya. Mata nya berkaca-kaca, mendengar sedikit penjelasan dari Nyonya El tentang keluarga nya. Ya, keluarga Doyoung penipu karena ingin Doyoung meraih cita-cita nya. Tapi karena ini tersebar di media manapun, Doyoung sebagai anak dari seorang penipu tidak diterima dimanapun karena masalah orang tua nya.

"Saya masih mau nerima kamu, tapi kamu selalu menolak dengan alasan kami yang membunuh keluarga kamu." Nyonya El berkata dengan serius. Ia menghela nafas pelan. "Apa kamu akan menolak setelah saya jelaskan ini?"

"Nyonya, apa nyonya ingat ucapan nyonya saat terakhir kita bertemu?" tanya Doyoung.

"Apa?"

"Saat itu, saya bertemu nyonya di rumah sakit. Saya berobat untuk memeriksa tangan saya yang terkilir karena orang suruhan nyonya."

Flashback on

Doyoung menginjak kaki di gedung rumah sakit ini. Dengan tangan terbalut dengan perban, ia berjalan lurus dan berdiri didepan meja information. Ia menulis nama nya dan duduk di kursi khusus antrian.

Mata nya mengelilingi seisi rumah sakit yang ramai oleh pasien disini. Bibir Doyoung terangkat melihat beberapa orang gua di antar oleh anak mereka.

Mata Doyoung terhenti, melihat wanita paruh baya yang memandang jendela panjang yang memperlihatkan suasana luar yang mendung. Doyoung kembali berdiri, ia berniat untuk menghampiri wanita paruh baya itu.

Ketika sampai, Doyoung menepuk pundak wanita tersebut dan membuat wanita tersebut sontak menoleh dan mengusap air mata yang mengalir di pipi nya.

"Mau apa kamu?" justru hanya ucapan sinis yang Doyoung dapatkan dari Nyonya El.

"Saya kira saya salah liat." jawab Doyoung. "Nyonya lagi apa? Tangan nyonya terkilir juga?" lanjutnya terdengar sinis.

"Anak saya sakit."

Doyoung terdiam. Ia mengenal anak dari wanita ini. Teman nya semasa SMP. Doyoung membuang wajah nya kesembarang arah. Berusaha untuk tidak peduli.

"Saya takut anak saya mati." lanjut Nyonya El.

Mendengar hal itu, Doyoung kembali menatap Nyonya El dengan wajah panik. "Mati? Kenapa?"

"Penyakitnya, mulai parah."

Doyoung menghembuskan nafas panjang. Ia tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Doyoung mengusap wajah nya kasar. Wajahnya memperlihatkan kalau ia sungguh khawatir dengan gadis itu.

Nyonya El manatap ke arah Doyoung, ia merasa heran dengan reaksi yang Doyoung perlihatkan kepada nya. "Kenapa kamu ikut panik?"

"Saya-"

"Saya gak mau anak saya di cintai sama anak dari penipu." ucap Nyonya dengan sedikit keras. Ia menatap Doyoung dengan pandangan tidak suka.

"Anak nyonya yang suka sama saya."

"Saya gak mau kamu dekat dengan anak saya."

"Anak nyonya yang dekat-dekat sama saya."

"Apapun itu, saya gak mau tau. Jauhi anak saya. Saya gak mau anak saya berteman dengan anak dari penipu."

"Nyonya-"

"Kamu mau menghina saya karena anak saya sedang butuh transplatasi paru-paru?!"

Flashback off

"Kamu beneran cinta sama anak saya?"

Tanpa ragu, Doyoung mengangguk cepat. Ia tidak peduli ia akan menyesal atau apapun. "Iya." jawabnya singkat.

Nyonya El menghembuskan nafasnya. "Maaf."

Doyoung menggeleng. "Saya berharap saya bisa bertemu keluarga saya buat minta penjelasan dari mereka."

Nyonya El merasa heran dan mengerutkan dahi nya. "Maksudnya?"

Doyoung tersenyum tipis. "Kalau bisa, tolong katakan pada kematian, saya ingin pulang tanpa ada dosa."

"Doyoung,"

"Nyonya, boleh saya kasih paru-paru saya buat anak nyonya yang saya cintai?"

7 days -DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang