Sesuatu yang disebut dengan tidur, ternyata tidak mudah datang seperti dulu bagi Anggi. Perempuan itu menolak untuk beristirahat sejenak karena merasa takut dengan segala hal. Ia selalu mengingat dimana dua lelaki yang mencintainya sudah pergi, mengingat kenangan indah yang mereka beri ataupun kenangan pahit yang tidak bisa Anggi lupakan.
Kadang-kadang, mengisi kegabutan nya, Anggi akan membaca percakapan dan pesan-pesan yang mereka kirimkan untuknya. Ia juga mengharapkan ada pesan untuknya lagi, entah dari Mark ataupun Doyoung. Anggi benar-benar merindukan kedua lelaki itu.
Anggi mencengkram erat benda pipih itu. Dirinya sudah tidak bisa untuk membaca pesan terakhir yang mereka kirim kan dan akhirnya menonaktifkan handphone nya. Dia meletakan benda itu di meja kecil sebelah tempat tidurnya. Anggi menarik nafas dalam-dalam dan memejamkan mata.
Pintu kamar terbuka tanpa suara, secara perlahan Haechan masuk dan duduk di pinggiran kasur dekat dengan Anggi. Ia menatap Anggi dalam, pikiran nya bekerja untuk mencari topik yang ingin ia bicarakan. Haechan menyerah ketika mata Anggi menatapnya sendu, penuh dengan kesedihan.
"Gimana Mark?" tanya Anggi.
"Berdarah." jawab Haechan spontan. Dirinya merasa tatapan Anggi berbeda, hingga ia terhipnotis begitu saja.
"Gimana Doyoung?"
"Di tutupin kain putih."
Jawaban Haechan membuat Anggi memalingkan wajahnya. Ia merasa sangat tidak puas dengan jawaban Haechan.
"Gimana bisa lo bilang kalau Doyoung bener-bener- gak disana lagi?" Suara Anggi memelan di akhir. Ia mendecih pelan.
Haechan tidak menjawab, ia membungkam bibirnya. Takut jika jawaban nya malah membuat Anggi kembali menyalahkan dirinya. Haechan menghembuskan nafas nya dan mendekat ke arah Anggi.
"Lo tau?" tanya Haechan sembari menggaruk tengkuk nya gugup. "Doyoung- dia bilang kalau- dia gak suka lo karena-" Haechan berkata dengan nada yang terbata-bata. Tapi ucapan nya terpotong ketika Anggi menutup telinga nya dengan kedua tangan nya.
"Jangan," Haechan membeku. "Jangan di lanjutin, Haechan. Jangan."
Haechan menghela nafas. "Maaf."
Haechan menatap Anggi dengan penuh kesedihan. Sebagai seorang sahabat, Haechan merasa kalau dirinya sama sekali tidak berguna saat ini. Ia tidak bisa mengembalikan senyuman Anggi sejak Anggi terbangun sebulan yang lalu.
Malam itu, Haechan hanya memperhatikan Anggi yang menatap jendela. Melihat kegelapan yang Anggi yakini itulah keadaan nya sekarang. Tidak ada warna dalam hidupnya. Anggi tidur selalu dengan rasa penyesalan.
Langit malam tiba-tiba menjadi biru pucat dan cahaya bulan perlahan menyebar ke cakrawala. Anggi tersenyum tipis, apa semesta tau kalau dirinya benar-benar membutuhkan cahaya untuk kembali menjalani hidupnya?
Anggi merasa tangan nya di raih oleh seorang yang berada di sebelahnya. Anggi menoleh dan melihat Haechan menggenggam tangan nya. Mata Haechan masih setia menatap Anggi yang sekarang menatapnya bingung.
Ya, Haechan akan melakukan nya sekarang.
"Lo tau, alasan gue selama ini ada di sisi lo itu apa? Kebahagiaan lo, Gi." ucap Haechan dengan pelan. "Gue gak pernah sekalipun ngeliat lo nangis karena perilaku gue, walaupun pernah, mungkin dengan cepat gue bakal bikin lo kembali senyum."
Anggi masih menatapnya dengan penuh heran. Ia tidak ingin mengeluarkan suara sampai Haechan menyuruhnya. Anggi tidak merasa apa-apa saat ini.
"Tapi kali ini, walaupun lo nangis bukan karena gue, gue ngerasa gagal buat ngembaliin senyuman itu." lanjut Haechan dengan senyuman pahitnya. "Dua orang yang sekarang mungkin lagi main bareng, mereka yang udah bikin lo begini dan ngebiarin gue berjuang sendiri, itu rasanya bener-bener bikin gue gak tenang setiap malam nya."
Haechan nenarik tangan Anggi pelan, membawanya ke dadanya dengan tulus. Anggi terkejut dan perlakuan Haechan kali ini. Suara Haechan sama sekali berbeda, terlihat dari matanya, Haechan sangat serius mengucapkan itu.
"Gue tau, apa yang gue lakuin gak bakal bikin lo senyum. Tapi, gue masih bisa ngasih lo segala nya. Kalau lo gak mau, lo bisa buang. Kalau ini menggelikan, lo bisa nyuruh gue berhenti. Tapi, gue bakal tetep ngelakuin hal ini karena niat awal gue bukan sekedar liat lo senyum buat malam ini doang." ucap panjang Haechan di hadiahi mata yang terbelak kaget dari Anggi. Haechan menghela nafas sebelum melanjutkan kalimat terakhir nya.
"Izinin gue buat bawa keluarga gue kesini, izinin gue buat milikin lo sampai akhir, izinin gue buat liat senyuman lo di pagi hari dan malam hari, izinin gue buat ngasih segala nya demi liat lo bahagia lagi, dan-" Anggi menunggu lanjutan Haechan dengan gugup. "Izinin gue buat cinta sama lo sebagai perempuan, bukan seorang sahabat lagi."
Semesta benar-benar memberikan cahaya untuk membawa Anggi keluar dari tempat persembunyian. Membiarkan Anggi melewati nya dengan perasaan amat senang, membiarkan perutnya terisi oleh kupu-kupu yang menggelikan. Anggi tersenyum manis ke arah Haechan.
Jika itu alasan nya, maka mengapa Anggi harus menolak?
KAMU SEDANG MEMBACA
7 days -Doyoung
Fanfiction[COMPLETED] Berawal dari permintaan nya yang di tolak oleh Doyoung, Anggi memutuskan untuk tidak mengejar Doyoung lagi. Namun, dengan izin semesta, Anggi mendapatkan keinginan nya. Ya, walaupun tanpa ia tahu banyak rahasia yang di tutupi Doyoung.