Kacau. Anggi sangat kacau.
Matanya membengkak, badan nya mengurus. Anggi selalu menatap handphone biru tersebut. Ia selalu memastikan handphone pemberian lelaki yang sangat ia cintai tidak rusak dan tepat waktu untuk mengisi daya baterai nya.
Mata nya selalu meneteskan airmata. Mengingat Doyoung yang bersikap kasar kepadanya. Ia mengerti alasan Doyoung selalu kasar terhadapnya. Dan menyesali kenapa ia memilih mundur.
Anggi meremas kertas pemberian Haechan dua hari yang lalu, katanya dia nemu ini di nakas saat Anggi tertidur. Anggi membaca nya dan menangis kembali.
Haechan sedikit menyesali perbuatan nya, seharusnya ia menunda untuk memberikan kertas itu ke Anggi. Sekarang, bahkan sudah sebulan Anggi menangis terus. Mengucapkan kalau dia merindukan Doyoung.
Doyoung benar-benar lelaki brengsek. Berani-berani nya meninggalkan surat yang membuat Anggi kembali menangis. Bilangnya, sangat membenci hal yang puitis. Justru Doyoung sangat cerdas jika membuat kata-kata.
Hilangnya kamu adalah kesalahanku. Bingung, kamu seperti asap yang ditiup oleh angin. Pergi tanpa meninggalkan jejak. Perlu dicari kemanapun, kamu tidak akan kembali kepadaku bukan?
Aku ingin memperbaiki diri. Tapi telat. Tuhan menyayangiku. Tidak, tidak boleh menyalahkan Tuhan karena ini pilihan ku. Pilihan manusia yang memilih menyelamatkan orang yang ia sayangi.
Aku menyayangimu.
Bagiku, semua yang kamu harapkan adalah aku yang berusaha memperbaiki diri agar lebih pantas bersanding denganmu. Aku sangat ingin hal itu terjadi.
Maaf, Anggi. Maaf karena ketidak sempurnaanku, kamu harus bersedih lagi seperti ini. Maaf seakan aku adalah yang paling buruk di seisi duniaku.
Maaf, Anggi. Aku minta maaf. Tolong, maafkan pria yang sempat kau cintai ini. Jangan benci aku, Anggi. Aku takut. Sungguh, aku sangat takut.Hal itu membuat Anggi menangis sejerit-jeritnya. Mengetahui kalau Doyoung benar-benar pergi. Tidak, Anggi tidak akan membenci pria itu. Ia mencintainya. Sangat mencintainya. Anggi pasti akan mencintainya sampai ia mati juga.
Dan satu lagi yang membuat Anggi tidak berhenti menangis. Bahkan rasanya ia ingin mati saat itu juga.
Mengetahui hal yang sangat menyedihkan. Ia menyesali kenapa harus bertanya seperti itu ke Haechan. Kenapa ia harus mengingatnya. Tolong, Anggi sangat ingin mati.
"Gue kangen Mark. Dia belum bangun ya?"
"Hm."
"Chan, anterin gue ke Mark dong."
"Maaf, gue gak bisa."
"Kenapa?"
Dan kemarin, Anggi diajak ke tempat tinggal terakhir Mark. Ya, pemakaman. Mark ikut pergi. Mark memilih pergi daripada bersama Anggi.
Haha. Anggi pembawa sial bukan?
Apa kalian pernah di posisi Anggi?
Mark dengan suaranya yang indah, memiliki penyakit yang tidak bisa ia sembuhkan. Mark sudah berhasil sembuh dan harus berada di sebelah Doyoung. Mereka mungkin sedang tertawa bersama di samping Tuhan.
Setidaknya, ia disana memiliki teman walaupun dulu mereka adalah rival untuk mengejar Anggi bukan?
Anggi menangis. Ia merasa sangat putus asa. Kenapa ia harus sembuh? Kenapa ia harus hidup? Seharusnya dirinya yang pergi. Bukan mereka berdua.
Matanya menatap cutter yang berada disebelahnya. Apakah ini saat nya? Cutter itu bersih, tetapi lengan nya sangat kotor. Ada nama Doyoung di tangan kirinya dan nama Mark di betisnya.
Gila. Anggi sudah gila.
BRAK
Pintu terbuka dengan sekali dorongan. Lelaki itu berlari dengan cepat. Terlihat panik karena Anggi sudah bersiap untuk meletakan benda tajam tersebut ke pergelangan tangan nya.
Haechan mendekapnya. Berusaha menahan agar Anggi tidak mencoba melakukan hal yang aneh. Membuang cutter yang ada di tangan Anggi walaupun tangan Haechan sedikit terkena goresan.
"Stop Anggi, jangan ngelakuin kaya gini." Haechan mengelus kepala Anggi. Haechan ikut menangis melihat sahabat kecilnya seperti bukan dirinya sendiri.
Anggi meronta, menangis dan berteriak. Mendorong agar Haechan melepaskan nya. Ia tidak membutuhkan siapa-siapa lagi. Ia tidak mau berharap lagi.
"Pergi, Haechan."
"Pergi, jangan peduliin gue."
"Haechan, jangan disini. Pergi."
Dada Haechan berkali-kali di pukul oleh Anggi. Ia masih setia memeluk sahabatnya walaupun sahabatnya menyuruh pergi.
"Haechan, gue jahat. Gue pembunuh."
"Gue bodoh kenapa harus mundur dan milih buka hati."
"Gue bodoh kenapa gue pengen banget makan ramen."
"Gue bodoh, gue pantesnya mati bukan?"
Haechan menggeleng. Ia tidak berbicara apa-apa. Tangan nya masih mengelus dan menahan agar kepala Anggi berada di dadanya. Berkali-kali ia menepuk punggung Anggi dan membuat Anggi tenang.
"Pulang Haechan, jangan disini."
"Gue mau sendiri. Pergi."
"Jangan deketin gue, gue pembunuh."
Suara Anggi melemah. Pelukan Haechan tidak seerat sebelumnya karena melihat tangisan Anggi yang mulai tidak terdengar. Hanya sesenggukan.
"Haechan, pergi."
"Gue disini, lo gak sendirian. Gue gak pergi." Haechan mengelus kepala Anggi.
Doyoung meninggalkan nya karena paru-parunya ia berikan kepada Anggi.
Mark meninggalkan nya karena kecelakaan saat mengabulkan permintaan Anggi.
Dan Haechan, selalu berada disisinya ketika Anggi benar-benar rapuh saat ini. Anggi memeluk balik lelaki itu. Sahabatnya. Menumpahkan semua air mata di pundak Haechan.
Anggi masih memiliki Haechan, setidaknya ada satu pria yang masih menyayanginya selain keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
7 days -Doyoung
Fanfiction[COMPLETED] Berawal dari permintaan nya yang di tolak oleh Doyoung, Anggi memutuskan untuk tidak mengejar Doyoung lagi. Namun, dengan izin semesta, Anggi mendapatkan keinginan nya. Ya, walaupun tanpa ia tahu banyak rahasia yang di tutupi Doyoung.