1O ; menemukan realita

165 58 28
                                    

double up gais, cek part sebelumnya ya. makasih <3


"Tante merasa bersalah sama Ayden, karena selama ini tante terlalu mengatur kehidupan pribadinya dan membuat dia tertekan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tante merasa bersalah sama Ayden, karena selama ini tante terlalu mengatur kehidupan pribadinya dan membuat dia tertekan."

"Semua ini pasti berat buat dia, terlebih setelah ayahnya wafat, dia jadi dingin dan tertutup. Bukan sama tante saja, tapi sama seluruh keluarga besar."

"Dia dipaksa buat nerusin perusahaan ayahnya, walaupun itu bukan cita-citanya. Bahkan untuk mempatenkan relasi bisnis, dia diharuskan menikah dengan putri dari rekan kerja mendiang ayahnya."

"Tante nggak pernah memaksakan hal itu, tapi semua itu sudah disiapkan oleh ayahnya Ayden dengan alasan demi kesejahteraan keluarga,"

"Setelah menerima berbagai paksaan, Ayden minta untuk pisah rumah. Tante sangat tahu jika ia nggak nyaman dengan semua ini, makanya tante memperbolehkan dia tinggal di apartemen ini."

"Tante juga nggak tega lihat Ayden harus bertunangan dengan orang yang nggak dia suka. Tapi keluarga kami juga sungkan membatalkan, karena kami berhutang budi pada pihak mereka yang ternyata sangat mengharapkan pertunangan itu."

Inara menundukkan kepalanya dalam-dalam, ia ikut merasa sedih. Dirinya tak menyangka jika dibalik sosok Theo yang ceria ternyata menyimpan berbagai masalah yang rumit.

"Sikapnya Ayden di sekolah gimana?" tanya Gianna kemudian.

"Theo ramah dan sopan kok tante. Dia juga punya banyak penggemar karena humoris dan baik ke semua orang."

Gianna tersenyum lega setelah mendengar jawaban dari Inara.

"Syukur deh, tante salut banget sama dia. Sikapnya udah dewasa," ujar Gianna.

Lalu wanita itu menepuk pundak Inara dan mengulas senyum hangat. "Terimakasih ya, sudah mau berteman baik dengan Ayden dan mau mendengar cerita tante."

Inara mengangguk cepat. "Iya tante, nanti sebisa mungkin Nara bantu jagain Theo."

Gianna berterimakasih sembari mengerlingkan matanya. "Tante pulang dulu ya, Ayden pasti nggak suka kalau lihat bundanya ada disini." pamit wanita itu.

"Oh ya, jangan bilang-bilang ke Ayden ya kalau tante habis kesini..."

Inara mengiyakan singkat, lalu mengantar kepergian Gianna sampai ke pintu apartemen.

Setelah presensi ibu dari Theo sudah raib dari pandangan, Inara pun memutuskan untuk kembali masuk, namun tangannya dicekal oleh seseorang.

"Lo ngapain keluar, Ra?" tanya Theo.

Inara menoleh. "Eh? Anu... tadi ada yang ketok pintu tapi ternyata nggak ada orang," jawabnya berbohong.

"Oh gitu, yaudah makan dulu kuy? Lo pasti udah laper 'kan?" ajak Theo sambil menyodorkan kantung plastik berisi dua kotak pizza.

Inara bertepuk tangan antusias. "Yeay! Pengertian banget deh, hahaha,"


* * *


Theo dibuat heran dengan tingkah Inara yang sedari tadi melahap potongan pizza sambil menatap lelaki itu dengan intens tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Lo kenapa deh ngeliatin gue terus? Naksir sama gue ya?" tanya Theo iseng.

PLAK!!

Inara memukul punggung Theo dengan kencang. "Nggak usah pede!"

"Garang bener buset, untung sayang." celetuk Theo dengan mengunyah makanannya.

Akhirnya di antara mereka berdua tidak ada yang membuka percakapan, memilih untuk fokus menikmati makanan mereka. Namun Inara masih menatap lekat Theo.

Ia kagum sekaligus tersentuh dengan sikap Theo yang berusaha untuk terlihat baik-baik saja meski dibebani oleh problematika keluarganya.

Inara pun memeluk Theo sembari menepuk-nepuk punggungnya. "Lo harus tetep tabah dan kuat ya. Gue yakin, seberat apapun lo pasti bisa ngehadapin masalah lo." ucapnya menyemangati Theo.

"Perasaan gue belum cerita masalah gue deh, kok lo udah ngomong kayak gitu?" Theo kebingungan.

"Eh..." Inara panik karena keceplosan.

"Mau gue ceritain nggak?" tanya Theo.

"Terserah aja deh," jawab Inara sekenanya. Toh dia juga sudah tahu ceritanya dari Gianna, ibu kandung lelaki itu.

Theo mengangkat sebelah alisnya. "Kayaknya lo cuma kepo sama orang yang gue sukai, makanya sekarang nggak nagih minta diceritain." katanya.

"Eh bukan gitu ya!" Inara gelagapan saat Theo menuduhnya seperti itu.

"Halah, ngaku aja Ra..."

"Bener ih, gue bilang 'terserah' karena nggak mau maksa, senyaman lo aja."

Theo terkekeh melihat tanggapan Inara yang terlalu serius menanggapi perkataannya. Akhirnya perempuan itu melahap pizza nya untuk menutupi rasa malunya.

"Nara," panggil Theo.

"Apaan?" balas perempuan itu.

"Jadian yuk," ajak Theo.

Uhuk uhuk!

Inara tersedak makanan yang sedang ia kunyah akibat mendengar ajakan nyeleneh dari Theo.

"Terus tunangan lo gimana?" tanya Inara yang sedetik kemudian ia menyesali ucapannya. Ia menepuk keningnya dengan raut wajah pias.

Theo mengerutkan dahinya heran. "Lho, kok lo tahu? Dari siapa?"

Inara menggigit bibirnya, merutuki kecerebohannya.

"Ada minum nggak? Gue haus," ia mencoba mengalihkan pembicaraan.

Theo kembali dibuat bingung oleh ucapan Inara. Padahal pertanyaannya tadi belum dijawab, perempuan itu justru meminta minuman.

"Ra, hari ini lo aneh deh..." ucap lelaki itu menyelidik.

Inara mengusap wajahnya dengan kasar. Ia mati kata hendak bagaimana menjawab ucapan Theo.

"Lo... abis ketemu nyokap gue ya?

Inara langsung mematung di tempat.

Inara langsung mematung di tempat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





* * *

yok keluarkan spekulasi kalian, aku pengen tau xixixi.

gatau mau ngomong apa, intinya i lop yu tri tawsen deh <3









Mengapa Kita #TerlanjurMencintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang