08. W A K T U

1.8K 219 36
                                    

.
.
.
.

Kalau ada kegiatan yang paling Purim sukai selain belajar, tentu Mapala adalah jawaban. Bergabung ketika masih dalam masa pengenalan hingga kini menjadi senior tingkat, Purim sudah menjelajah banyak tempat termasuk diantaranya panjat tebing, arum jeram, paralayang hingga telusur goa.

Sempat bersitegang dengan Papa karena membahayakan tapi Purim bilang dia sudah mengalah untuk tidak kuliah di luar kota, maka kali ini biar dia mengambil haknya untuk bebas dan Papa terdiam.

Menjadi pertama adalah beban bagi Purim. Meski sudah berusaha, keadaan terus menuntut agar Purim jadi teladan adik-adik. Menjaga batas meski Purim ingin sekali bolos dan pergi main warnet atau punya waktu sendiri tanpa direcoki Frank dan dibuntuti Nanon. Peran ini tidak selalu dinikmati olehnya.

"Woi Purim." Harit memanggil ketika Purim baru saja menutup pintu mobil, "Kritik jurnal numerik beneran submit hari ini?"

"Iya."

Harit mengangguk, berjalan bersama Purim memasuki gedung FTTM dengan perasaan ringan karena tidak lupa tugas lagi. "Anan ngajakin ekspedisi ke Gunung Talamau nih."

Yin Anan, mahasiswa teknik mesin yang pekan lalu baru saja dilantik oleh Badan Khusus Pelantikan Mapala Raikan menjadi ketua umum bersama 21 anggota lainnya termasuk Purim yang ditunjuk langsung untuk menjabat sebagai Waketum, sempat ditolak karena merasa belum mampu memegang tanggung jawab tapi Anan meyakini bahwa mereka akan berjalan bersama untuk nama Mapalara.

Anan adalah kawan baik, diluar Mapalara mereka sering nongkrong bareng atau kadang tracking dibeberapa tempat diluar agenda UKM. "Kelar UTS aja." Kata Purim mengambil duduk disudut kelas, kentara malas mengikuti kuliah hari ini. "Atur jadwal, biasanya Anan suka bentrok."

Harit mengangguk, "Yang penting lo nya udah setuju." Katanya. "Oh iya, ngomong-ngomong gimana kelanjutan?"

"Kelanjutan apa?"

"Pura-pura bego lagi. Kelanjutan sama mbak mantan lah, kemarin lo anter dia balik terus progres udah sampe mana?"

Purim mendengus, Harit memang tahu segala hal tentang dirinya termasuk Puimek. Juga Mapalara yang jadi wadah melupakan mantan. Keadaan sulit dimana Purim benar-benar tidak menyangka bahwa pendidikan jadi alasan Puimek berhenti. Padahal dia sudah bertahan meski berada dititik jenuh.

"Biasa aja."

Harit melirik tidak yakin, "Yang bener nih?"

"Hm."

"Puimek makin cantik ya rim." Harit belum mau berhenti menggoda, alisnya naik turun memandang Purim yang fokus dengan paper. "Emang kalo udah mantan beda ya."

Purim menghela nafas, capek mendengar celotehan Harit soal mantan. Padahal Purim memang sudah tidak punya rasa lagi. Baginya Puimek adalah masa lalu dan segala hal yang pernah diperjuangkan dulu sudah tidak punya arti.

"Gue udah punya seseorang yang lebih pantes diperjuangin, jadi berhenti bicara soal Puimek oke."

"Siapa?"

Purim tidak lekas menjawab, ada jeda ketika dosen masuk dan mengambil tempat, membiarkan Harit menunggu sampai Purim yakin bahwa ketika pada akhirnya Harit tahu, itu bukanlah kesalahan.

"Chimon."

"Hah?"

...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
H O M E S A T I O NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang