11. T E L U R C E P L O K

1.6K 230 49
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.

Purim adalah pribadi disiplin. Perasaan taat dan sadar tanggung jawab dibentuk oleh tekanan status sebagai sulung Vihokratana. Kalau ada yang tidak sejalan, ia mengalah. Purim memahami bahwa diri tidak lagi punya otoritas mutlak untuk sebuah asa. Ia pernah begitu kecewa. Ketika Papa menolak izin Purim untuk merantau. Melepas mimpi pada Institut Seni Raikan. Pernah berpikir kalau Sutradara akan jadi bagian dari hidup, ternyata bukan. Papa adalah alasan mengapa sayap Purim patah bahkan sebelum dicoba terbang.

Purim menekan diri, Papa tidak bersalah. Sejak awal ia tidak transparan. Mengambil keputusan tanpa melibatkan Ayah atau Papa. Purim sadar betul dirinya terlampau sembrono. Nasi sudah kadung jadi bubur. Menyesal juga buat apa. Purim cuma perlu menjalani apa yang telah dipilih. Toh, perminyakan juga tidak buruk, kan.

Pagi ini Purim bangun lebih awal. Papa pergi tanpa persiapan. Kulkas cuma ada bahan mentah dan Purim tidak pandai kalau harus mengolah. Standar memasak Pluem Purim itu cuma goreng nugget, indomie kuah dan ceplok telur.

"Kok tumben abang yang masak?" Nanon duduk dikursi makan, menatap aneh ceplok telur ala Pluem Purim yang sangat tidak aesthetic. "Ini bisa dimakan?"

Frank mencicipi duluan, "Flavor bagus, micinnya terasa banget. presentasi flat. Boleh ditambahi garnish kerupuk udang atau tomat iris. Soal bentuk, ini jelek ya. Kamu harusnya bisa bikin ceplok telur sempurna. Kuning setengah mateng tanpa gosong dipinggiran. Pluem Purim Vihokratana, persiapkan diri kamu masuk pressure test."

"Baik chef." Purim menanggapi lucu.

"Papa udah berangkat kerja?" Nanon bertanya soal Ketidakhadiran Papa yang terasa asing. Kalau pagi biasanya beliau sibuk menyiapkan bekal Nanon. Tapi hari ini tidak.

"Eyang masuk rumah sakit, Oma wira minta Papa langsung take off ke Solo nyusul Ayah." Jelas Purim dan Nanon jelas tidak terima. "Tadinya mau pamit sama kamu tapi tidurmu pules banget. Papa mana tega."

Nanon tidak jadi protes, sementara Frank menyela sedih, "Eyang tuh kayaknya benci deh sama gue. Tiap kita mudik ke Solo Eyang pasti judesin gue. Inget nggak, Eyang pernah bilang cuma Vihokratana gadungan yang diringkus polisi. Jelas banget kan nyindir gue."

Nanon tertawa, "Oh pantes lo uring-uringan gak jelas. Terus minta nginep dihotel sama Ayah." Nanon menggeleng geli. "Oma Wira sedih loh, beliau ngiranya kakak nggak betah karena rumah Oma nggak sebagus rumah Ayah disini."

"Mana ada. Gue tuh cuma males aja sama mulut eyang. Bisa-bisanya ngomong gitu depan gue. Dikira hati Frank Thanatsaran sekuat baja apa."

"Nangis lo?"

"Iyalah bego." Frank menoyor kepala Nanon. "Gue langsung nyamper Ayah minta dibeliin tiket pulang."

"Terus kok nggak jadi?"

H O M E S A T I O NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang