12

64 1 0
                                    

“Alana, kamu dipanggil ke ruang kepala sekolah sekarang,” ucap Pak Dika yang sedang mengajar.

“Baik Pak.” Jawab Alana

Sesampainya di ruang kepala sekolah. “Maaf Ibu memanggil saya?” tanya Alana.

“Benar, kamu sudah bawa surat yang harus saya tanda tangani?” tanya Ibu Ema.

“Ini Bu.” Alana menyerahkan surat-surat persetujuan yang harus ditandatangani.

“Duduk dulu, Na!”

“Terima kasih Bu.” Alana sedikit takut karena ruang kepala sekolah adalah ruangan yang paling ditakuti anak-anak di sekolah.

Ibu Ema pun selesai menandatangani surat-surat yang dibuat Alana, “Bagus, kamu boleh pergi. Tapi tunggu sebentar, sepertinya Evan belum datang.”

“Maaf Bu, saya terambat.” Kata Evan yang masih terengah-engah.

“kamu ini tidak sopan! Ketuk pintu dulu sebelum masuk!” Ibu Ema mengingatkan Evan.

“Yasudah, saya ketuk dulu ya Bu.”

“Sudah, sudah. Kamu bawa stempel club?”

“Bawa Bu.”

“Kalau begitu kamu boleh pergi.”

“Alana, kamu bisa bareng dengan Evan. Tujuan kalian kan sama.” Kata Ibu Ema.

“Baik Bu.” Kata Alana sambil mengangguk.

***

“Selamat siang Pak! Bisa saya bertemu dengan kepala sekolah di sini?” tanya Alana kepada satpam yang sedang bertugas.

“Adik dari mana?”

“Kami dari SMU Harapan ingin memberikan undangan untuk pertandingan persahabatan antar sekolah.”

“oh, silahkan masuk. Itu ruangan yang ada di sebelah taman.”

“Terima kasih, Pak.” Sahut Evan.
Alana dan Evan lalu masuk dan langsung menuju ruang kepala sekolah.

Tok.. Tok.. Tok..

“Selamat siang.” Alana dan Evan mengucapkan salam berbarengan.

“oh, masuk.. masuk..” sahut seorang pria dari dalam.

“maaf mengganggu, Pak! Kami dari SMU Harapan ingin menyampaikan surat untuk pertandingan persahabatan antar sekolah. Ini, Pak!” Alana menyodorkan surat-surat itu kepada kepala sekolah.

“Oh, Terima kasih. Pada dasarnya saya setuju saja dengan acara-acara seperti ini, tapi saya harus bertanya dulu pada ketua OSIS di sini. Saya panggilkan dia dulu.”

Evan langsung duduk di bangku yang ada di sebelahnya, tapi Alana langsung berbisik “Bangun..!!”

“Kenapa?”

“kan kepala sekolahnya belum nyuruh kita duduk!”

“emang gak boleh? Gue kan capek!” bantah Evan.

“Evan, jangan malu-maluin dong! Lu gak sopan tau!”

“Pak, saya boleh duduk di sini?” tiba-tiba Evan bertanya kepada kepala sekolah.

Sejenak kepala sekolah itu terdiam, tidak disangka-sangka beliau tertawa terbahak-bahak dan menghampiri Evan, “Dasar anak muda, gayanya ada-ada saja.”

“bagaimana kalau kamu ikut saya keliling-keliling?” tanya kepala sekolah pada Evan.

“Saya?”

“Iya, ayo! Saya terkadang bingung dengan anak-anak yang masih saja takut setiap kali masuk ruangan ini. eh sekarang saya bisa bertemu kamu yang seperti ini, cukup berani juga!” puji  kepala sekolah kepada Evan. “Biar yang urus teman kamu saja, jangan khawatir!” lanjut kepala sekolah.

“Na..?” Evan setengah bertanya kepada Alana.

“Yaudah jalan-jalan aja.”

Alana menunggu di ruang kepala sekolah. Sepuluh menit.... lima belas menit... setengah jam... akhirnya muncul seorang pria setengah baya yang mengantar Alana ke ruang OSIS. Alana bete abis karena susah banget nemuin ketua OSIS sini, emangnya artis kali ya ketua OSISnya.
“Selamat siang! Saya Alana dari SMU Harapan. Saya ke sini untuk meminta persetujuan dari ketua OSIS untuk pertandingan persahabatan antar sekolah, bisa saya bertemu dengan ketua OSIS nya?” Alana yang sudah sampai di ruang OSIS langsung nyerocos, di situ ada seorang cowok yang sedang duduk di kursi.

“Saya ketua OSIS nya!” ucap cowok itu dingin.

“Kenalkan nama saya Alana, maaf atas ketidak sopanan saya tadi.”

“Ardito..!” balas cowok itu cuek.

“hmm.. kamu bisa langsung menandatanganin surat-surat ini kan?

“Bisa lebih sabar?”

“saya sudah menunggu selama setengah jam lebih untuk ketemu sama kamu. Sekarang kamu masih menyuruh saya terus menunggu? Kamu kira saya tidak ada urusan lain apa?” Alana mengeluarkan semua unek-uneknya.

Dito hanya memandang Alana sejenak, “Bisa minta kartu pelajarnya?”

Alana sebenarnya kesal setengah mati tapi dia tetap mengeluarkan kartu pelajarnya. ‘Dia dengerin gue ngomong nggak sih? Kaya ngomong sama robot! Dari tadi diem terus, gak punya kerjaan lain apa?’ Alana bicara sendiri dalam hati.

“Saya dengar ada anggota tim basket yang datang?”

“Iya, memang kenapa?”

“Hanya ingin lihat seberapa hebat dia bermain basket!”

‘kayanya mendingan dari pada lu,’ Alana ngedumel lagi dalam hati.
“Oh, emang kamu main basket juga?” tiba-tiba pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Alana.

“hmm.....”

‘Bisa mati gue lama-lama ngomong sama robot gak jelas gitu. Udah tampangnya dingin lagi! Eh tunggu, Tampangnta sih lumayan tapi tetp aja keliatan ngeselin. Pasti Cuma orang yang gak waras yang mau berteman sama dia dan mau jadi pacarnya.’ Alana tersenyum-senyum sendiri.

“Maaf ada yang aneh?”

“eh, tidak! Jadi bagaimana keputusannya?”

“daritadi kamu hanya melamun saja ya? Tidak lihat kalau saya sudah selesai menandatanganinya?” Ucapannya terdengar menyindir.

“Terima kasih!” Alana cemberut dan langsung keluar dari ruangan itu.
Di luar, Alana melihat kiri-kanan mencari Evan dengan perasaan kesal dan bete.

“dari tadi gue udah ada di belakang lu kali!” Evan mengagetkan Alana.

“Cepet pulang deh yuk ah!” Alana segera berjalan ke arah mobil Evan.

Di belakang sana, Alana tidak tahu kalau Dito melihatnya dari kejauhan. Diam dengan seribu makna.

Tolong Cintai AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang