14

38 4 0
                                    


Maaf ya baru update ceritanya lagi, kemarin-kemarin moodnya lagi kurang bagus dan lagi mager pisun wkwkwk tapi tenang abis ini aku bakalan lanjutin ceritanya, kalo bisa aku kebut biar cepet end dan kalian yang sudah menunggu jadi terobati ^^

Selamat membacaaaa....

###

"Jadi maksud Dokter, tidak lama lagi saya bisa bertahan?"

"Bukan begitu. Hanya... penyakit kamu menyebar dengan sangat cepat, dan lagi kami belum dapat menemukan sumsum tulang belakang yang cocok untuk kamu." jelas sang Dokter.

"Jadi..."

"Lebih baik kamu sabar, banyak-banyak berdoa pada Tuhan. Kami di sini hanya bisa berusaha tetapi Tuhan yang menentukan segalanya."

"Terima kasih selama ini Dokter sudah banyak membantu saya."

"Sudah kewajiban saya sebagai seorang Dokter."

Rita keluar dengan perasaan sedih dan kecewa, tapi dia sudah siap menghadapi segala sesuatu yang akan menimpanya. Hanya saja, sepertinya waktu berjalan sangat cepat sekali.

Rita menatap Hp-nya, "Hallo Indra?"

"Iya, ga usah. Nanti gue bisa pulang sendiri," Jawab Rita.

"Dra.. Gue bisa minta tolong gak?"

"Nanti kita ketemu di tempat yang biasa ya, dah!" Rita mengakhiri pembicaraannya.

***

"Na, ada orang yang nyariin lu tuh."

"Siapa?"

"Gatau. Lu ditunggu di ruang OSIS. Katanya sih mau minta persetujuan apa gitu, orangnya cakep lho Na!"

"Yaudah deh, gue ke ruang OSIS dulu ya."

Dengan tergesa-gesa Alana lari menuju ruang OSIS, ternyata yang dilihatnya adalah orang paling aneh yang tak mau ditemuinya.

"Lu kan yang waktu itu?!" ungkap Alana sambil menunjuk pria yang berdiri di depannya sambil berpura-pura lupa.

"Ardito!"

"Iya, Ardito." Alana pura-pura mengingatnya.

"Ngapain lu ke sini? Bukannya semuanya udah beres? Emang ada yang perlu gue tanda tanganin lagi?"

"Gue cuma ngembaliin sesuatu," katanya dingin.

"Apaan?"

"Nih..!" Dito langsung keluar setelah memberikan sebuah buku pelajaran Biologi yang terselip di antara surat-surat.

Alana hanya bengong sampai beberapa saat kemudian, dia berlari keluar dan berteriak. "Makasih ya, Dit... Ardito!"

Dito memalingkan wajahnya dan tersenyum, lalu ia kembali berjalan.

kok gue bisa lupa ya sama buku Biologi? Pake keselip segala lagi, bikin gue malu aja! Tapi, tunggu. ternyata dia baik juga ya mau nganterin buku gue doang jauh-jauh.

Evan menghampiri Alana yang sedang melamun sendirian di pinggir taman, "Sendirian?"

"Yang lu liat?" sahut Alana ketus.

"Lagi ngelamunin apa?"

"enggak, gue lagi males ngomong aja!"

"Maksud lu?"

"Lu gak terganggu kan kalo banyak orang yang ngomongin lu?" tanya cowok itu ragu.

"Biasa aja."

"Ya bagus deh." Evan merasa lega.

"Kenapa?"

"Ya gue gamau lu merasa terganggu aja, gue takut lu jadi gak nyaman."

Alana merasa kaget karena dia tidak menyangka Evan akan mengkhawatirkan dirinya sampai begitu besar. Biasanya Evan akan cuek, kok tumben dia sampe perhatiin gue? Ada angin apa nih? kesambet atau kejeduk pohon ya?

"Van, lu sakit ya?"

"Nggak, gue baik-baik aja. Ada yang salah dari gue?"

Alana yang tidak tahu harus biacara apa langsung mengalihkan pembicaraan, "Lu nervous gak mau tanding besok?"

"Biasa aja, gue sih begitu doang gak pake nervous-nervous segala!" Ujarnya membanggakan diri.

"Nah kayaknya lu udah sembuh deh Van." Alana menepuh bahu Evan.

"Apaansih? emang dari tadi gue gak sakit ko!"

Tolong Cintai AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang