21). Missing to Death

177 41 77
                                    

Like flowers, my heart is blooming every time because of your existence. -L.L.

*****

Ada yang bilang, perpisahan akan terasa nyata jika kita sudah mengetahui kapan waktunya tiba. Pengetahuan akan durasi tersebut memancing kita untuk menghitung sisa waktu yang ada dan ketika sadar, waktu yang tersisa tidaklah banyak.

Ibarat seseorang yang memiliki penyakit mematikan seperti kanker stadium akhir dan tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu hari yang semakin lama semakin mendekatkannya pada hari kematian.

Kematian mungkin saja bukan hal besar bagi mereka yang akan meninggalkan dunia karena biasanya mereka yang akan pergi selalu menjadi pihak yang tegar, siapa pun itu. Namun, akan terlalu menyakitkan bagi mereka yang ditinggalkan, terutama yang sama sekali tidak tahu tentang penyakit tersebut.

Sama halnya dengan apa yang dirasakan Luna sekarang. Ibarat kanker yang sudah mencapai stadium akhir, Luna menjadi pihak yang meninggalkan dan Ferdian akan menjadi yang ditinggalkan. Bedanya, sangat sulit untuknya menjadi tegar di saat dia tahu waktu yang tersisa tidaklah banyak.

Karena Luna juga harus bertahan hidup setelah hari itu tiba, hari di saat hubungannya dengan Ferdian berakhir.

Jangankan membayangkan hari itu tiba, setiap Luna memikirkannya saja, ulu hatinya serasa nyeri dan membuatnya sesak hingga terkadang berhasil menitikkan air matanya dan berpikir kalau dia pasti bisa lolos audisi syuting drama melankolis dengan mudah.

Luna memang munafik karena membohongi dirinya sendiri untuk memenuhi keputusan gilanya itu. Ah ya, jangan lupakan kata bodoh juga. Tidak hanya munafik, cewek itu juga bodoh.

Bagaimana tidak, Luna harus menghabiskan empat tahun lamanya untuk menjadi budak cinta Ferdian dan ketika impiannya terwujud, dia menjadi pihak yang meninggalkan Ferdian tidak lama setelahnya.

Pelengkap akhir yang menyempurnakan rasa sakitnya adalah, dia akan meninggalkan Ferdian pada cewek lain yang akan menikah dengannya.

Gadis itu, siapa pun itu, pasti akan beruntung mendapatkan Ferdian Michiavelly karena dia tidak memerlukan usaha untuk mendekat atau mempertahankan cowok itu di sisinya.

Tidak seperti Luna Lovandra.

"Lo mau masuk jurusan apa, Na?" tanya Ferdian sembari meneliti satu-satu brosur perguruan tinggi di tangannya. Barusan mereka telah menyortirnya dan semua yang ada di tangan cowok itu sekarang adalah yang berlokasi di Bandung, sesuai keinginan Luna.

"Hah?"

"Hah lagi. Lo lagi mikirin apa sih kok kayaknya nggak fokus banget?"

"Hmm... nggak kok. Lagi bingung mikirin mau jurusan apa."

Kepala Virga tahu-tahu menyembul dari balik bahu Ferdian, turut membaca sekilas brosur yang sedang dipegang cowok itu. "Hmmm... kalian udah tau mau kuliah di mana?"

Sementara Ferdian menatapnya mencela, Luna bertanya pada Virga, "Kalo lo kuliah di mana, Ga?"

"Gue?" Virga menunjuk dirinya sendiri. "Tanya Nara dong karena di mana ada dia, di situ ada gue."

"Ada yang nyebut nama gue?" tanya Nara keras dari bangkunya sendiri. Sekarang sedang jam istirahat kedua makanya mereka bisa lebih bebas. Lagi pula, ada program Expo Perguruan Tinggi yang diadakan oleh sekolah sehingga kelas XII bisa mendapatkan brosur perguruan tinggi dengan mudah.

"Luna kepo, nanya kamu mau kuliah di mana," jelas Virga pada pacarnya.

"Hmm di mana ya, gue belum tau. Emang lo mau di mana, Na?" tanya Nara balik.

I'm Down For You • AGAPE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang