🕋 ◇ Episode 3 ◇ 🕌

16.8K 1.7K 106
                                    

Happy Reading Gaes (!)

______________________
_____________________________

• ○ ● ■ ◇□◇ ■ ● ○ •

Matahari semakin meninggi. Hurrin dan Hasanah tiba di warung milik Mbak Aisyah. Daripada disebut warung, tempat itu lebih mirip toko serba ada, tempat para santri belanja kebutuhan apapun. Minimarket dan pasar lumayan jauh dari lokasi pondok pesantren, jadi keberadaan warung Mbak Aisyah adalah angin segar bagi para santri.

Mbak Aisyah dan suaminya, Kang Rizal juga adalah alumni sekolah SMAI Al Jauhary. Dulunya, tempat ini adalah warung kopi milik Kang Rizal. Warung kopi itu dibangun lagi tidak jauh dari lokasi warung yang dulu, lebih besar dan menjadi salah satu kafe hits di situ. Sementara bangunan lama bekas warung dijadikan toko. Itulah kenapa bangunan itu lebih suka disebut "warung" oleh para santri, karena dulunya memang warung kopi, bukan toko. Mbak Aisyah dan Kang Rizal mengolahnya dengan baik hingga berkembang. Lokasi yang cukup strategis di lingkungan pondok pesantren dan pinggir gang jalan raya membuat warung dan kafe itu tidak pernah sepi pengunjung.

"Eh, Hurrin. Mau cari apa, Nduk?" tanya Mbak Aisyah sedang menggendong anak bayinya yang menggemaskan.

Hurrin sangat dikenal oleh Mbak Aisyah karena sering belanja juga di warung itu. Hurrin adalah santriwati ndalem. Sudah jadi tugasnya melayani ndalem, belanja setiap hari seusai setoran Alquran subuh dan membantu Umi Fatma memamasak di dapur untuk Kyai Ilyas dan keluarga Umi Fatma sendiri. Sesekali Hurrin juga diajak makan bersama bersama keluarga Umi Fatma. Hasanah sering protes kalau Umi Fatma tidak mengajak Hurrin, kakak-kakaknya tidak ada yang bisa diajakin damai kalau di meja makan. Apalagi Kak Muhsin-nya yang suka sekali usil melemparkan serbet meja ke muka Hasanah kalau gak berhenti ngomong waktu lagi makan.

"Umi Fatma kasih ini, Mbak. Kebutuhan buat acara tujuh harinya nenek Kyai Ilyas." Hurrin menyerahkan daftar list belanja dalam kertas setelah menyikut Hasanah agar segera mengeluarkan kertas itu dari saku. Bukan malah sibuk liatin mobil dan motor lewat di jalan raya depan warung. Ehem, dengan wajah bego bin ndlomong.

"Owh, acara besok itu, kan? Keluarga ndalem pasti sibuk banget. Bentar yah, Nduk." Mbak Aisyah memanggil salah satu pekerja warung agar mencarikan barang yang dimaksud.

"Iya, Mbak. Katanya, ndalem mau kedatangan keluarga dari Turki." Hurrin menjawab pertanyaan Mbak Aisyah. Hasanah kini pandangannya beralih, sibuk pada kaca etalase toko. Membenarkan bentuk kerudung tosca-nya. Sesekali ditiup biar kelihatan lancip dan bagus. Semua bisa dijadikan kaca oleh Hasanah.

"Loh? Gus Ozy mau datang juga, Nduk?" Kang Rizal, suami Mbak Aisyah yang baru keluar dan ikut menggedong anak bayi mereka balas bertanya pada Hurrin. Sementara anak Kang Rizal dan Mbak Aisyah yang sudah besar berlarian ke sana kemari dan tertawa (lagu payung teduh-akad eh?).

Hurrin mengangguk. Hasanah menyahut, "Kang Rizal kok kenal Gus Ozy juga?"

"Kenal tho yoooo! Wong dulu Kyai Ilyas sama Gus Ozy juga sering ngopi di warungku. Gara-gara Gus Ozy itu, warung kopiku jadi rame dikunjungin santriwati." Kang Rizal menepuk-nepuk pelan punggung bayinya yang menggemaskan itu agar tidur. "Nah, gara-gara Kyai Ilyas dan Gus Ozy juga. Aku bisa PDKT sekaligus lamar mbak-mbak santriwati tercantik di pondok putri, hehehehe." Kang Rizal melirik Mbak Aisyah yang tersipu malu karena dipuji suaminya.

"Uuuuuuch, coooo cwiiiiiit." Hasanah gemas. "Kok Hasanah ndak pernah tau cerita itu tho, Kang."

"Lah? Gimana mau tau, kakak-kakakmu aja belum lahir apalagi kamu tho, Nduuuuk ... Nduuuk." Kang Rizal tertawa lagi. Lebih terkesan mengejek.

𝐌𝐮𝐧𝐚𝐣𝐚𝐭 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang