Happy Reading Gaes (!) ✌
______________________
_____________________________• ○ ● ■ ◇□◇ ■ ● ○ •
Hasanah mengajak Hurrin mengobrol sepanjang langkah kaki mereka. Mulai dari depan kamar lantai empat pondok pesantren menuju bangunan ndalem yang terletak tidak jauh dari bangunan pondok pesantren. Sampai-sampai Hurrin sendiri yang harus menghentikan ocehan Hasanah.
"Kamu kok suka banget ngomongin Gus Yasin sih, Hasanah. Jangan-jangan, kamu sendiri yang naksir yah?" Hurrin masih fokus melihat jalan.
Hasanah menepuk dahi, bentuk kerudung itu penyok lagi. "Siapa sih yang gak naksir sama Gus Yasin, Rin. Secara gitu, sempurna hampir segala hal. Kata santriwati ndalem yang habis liat wajahnya, Gus Yasin itu mirip Musthofa Ateef loh! Lebih ganteng malah, ada lesung pipinya!"
"Gak ada manusia sempurna, Hasanah." Hurrin menghela napas, menyekat lengkingan suara Hasanah. Mereka berdua hampir sampai di bangunan ndalem.
"Awas aja kalo kamu juga naksir Gus Yasin! Aku yang bakal pertama ketawa, Rin." Suara melengking Hasanah keluar lagi tiap kali dia berteriak. Hurrin hanya menggeleng, tidak habis pikir dengan sahabatnya yang satu ini. Hurrin mengenal Hasanah waktu pertama kali mondok, mereka satu kelas dan satu bangku. Hasanah juga teman setoran hafalan Alquran Hurrin tiap subuh di ndalem Kyai Ilyas. Selain gaya bicara Hasanah yang ceplas-ceplos dan suaranya yang suka melengking cempreng tiap berteriak, Hasanah adalah teman yang sangat baik.
Mereka berdua pun sampai di bagian tengah ndalem. Rumah kayu dengan ornamen jawa yang sangat kental. Rumah itu tua, tapi sangat indah. Dengan taman bunga di samping rumah, semerbak harum yang menambah elok bangunan rumah kayu tersebut. Hurrin pernah mendengar dari Hasanah, rumah itu tak pernah berubah sama sekali, bahkan sejak Hasanah kecil. Kyai Ilyas serta keluarga Mangkoe Madha tidak pernah mengubah apapun dari bentuk rumah itu. Kayu jatinya sangat kokoh, bahkan mungkin sudah berusia ratusan tahun. Dilihat dari gaya arsitektur rumah yang seperti tempat tinggal para bangsawan keraton Tanah Jawa. Rumah itu jelas melambangkan siapa sebenarnya keluarga pemilik, orang yang tinggal di dalamnya.
Pondok Pesantren Al Jauhary dikelola oleh keluarga Mangkoe Madha sejak lama. Turun-temurun dari generasi ke generasi. Kyai Ilyas mendapat amanat mengurus Yayasan Pondok Pesantren Al Jauhary setelah menikah dengan putri sulung keluarga Mangkoe Madha, Ning Ayla yang merupakan ibu dari Gus Yasin. Sepeninggal Ning Ayla setelah melahirkan Gus Yasin, seperti kehilangan sosok terbesar yang seharusnya mengajarkan Gus Yasin apa itu arti kasih sayang, cinta, dan perhatian. Gus Yasin tumbuh tanpa itu semua. Sejak ia kecil, usia delapan tahun sudah tinggal di Mesir, belajar bersama guru-guru terbaik dan mendapat sanad ilmu langsung dari syeikh-syeikh alim nan bijak di sana.
Gus Yasin pulang ke rumah hanya beberapa waktu saja saat liburan. Bahasa Arab-nya sungguh fasih, pemahaman agamanya sungguh mendalam, dan keilmuannya tiada terkira. Gus Yasin punya otak yang cerdas lagi jenius seperti spons yang bisa bisa menyerap cairan ilmu apapun serta sebanyak apapun. Tentu saja, Hurrin tahu itu semua dari ocehan Hasanah sejak dari lantai empat bangunan pondok pesantren tadi. Tak henti-hentinya Hasanah bercerita. Seperti menarik sekali prihal-ihwal Gus Yasin untuk dibicarakan.
Sementara Hasanah sibuk bersama tiga kakak laki-lakinya, mata Hurrin mencari Umi Fatma, ibu Hasanah yang tadi katanya memanggil. Hasanah punya tiga kakak laki-laki kembar identik; Ahsan, Ihsan, dan Muhsin. Mereka semua tidak berbeda satu sama lain, postur tubuh, wajah, bahkan suara. Satu-satunya yang dapat membedakan hanyalah tahi lalat kecil. Ahsan punya tahi lalat kecil di pelipis kanan, Ihsan di bawah mata kiri, sementara Muhsin tidak punya tahi lalat di wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐮𝐧𝐚𝐣𝐚𝐭 ✔
Romantizm𝐒𝐞𝐧𝐚𝐧𝐝𝐮𝐧𝐠 𝐒𝐚𝐣𝐚𝐤 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐆𝐮𝐬 𝐘𝐚𝐬𝐢𝐧 _______________________________ "Ini salah Gus, abdi ndalem tidak sepantasnya bersama putra seorang kyai." Hurrin membuat jarak cukup jauh, menjaga batasan non mahram dengan tetap ghadul bas...