🕋◇ Episode 7 ◇🕌

12.4K 1.4K 107
                                    

Happy Reading Gaes (!)
_________________________
_______________________________

• ○ ● ■ ◇□◇ ■ ● ○ •

Hiruk-piruk aktivitas pagi di ndalem sudah terasa semenjak jamaah sholat subuh usai. Pondok mulai sesak kamar mandinya karena banyak santri hendak antri mandi. Beberapa santri ke ndalem untuk setor hafalan Alquran, para santriwatinya bahkan masih memakai mukenah. Dihalangi satir (penutup), Kyai Ilyas sedang menyimak hafalan para satri yang mengambil program tahfidz. Wajah Sang Kyai tidak tenang, dia masih memikirkan perkataan putranya kemarin malam.

Salah satu di antara mereka adalah Hurrin. Kini giliran dia yang menyetorkan hafalan. Lancar, seperti biasa. Kejadian semalam dengan Gus Yasin juga tidak menganggu konsentrasinya sama sekali. Sekarang Hurrin sudah kelas dua SMA, kelas tiga nanti dia optimis hafalannya akan selesai dan melanjutkan sekolah ke Ponorogo, seperti cita-citanya. Kyai Ilyas adalah panutan Hurrin. Di masa depan, Hurrin juga ingin sealim Kyai Ilyas, di usia semuda itu sudah bisa mengelola pondok pesantren besar dan sukses.

Subuh ini, kejadian yang benar-benar tak terduga dimulai. Awal dari hal-hal yang benar-benar Hurrin tak mengerti. Adalah Gus Yasin yang seperti benar-benar telah sengaja menunggunya di lorong ndalem itu, menghadang jalan Hurrin. Mata Hurrin seketika terbelalak dalam diam, masih menunduk.

"Mbak, kita perlu bicara." Cegat Gus Yasin menghentikan langkah Hurrin.

"Ada apa njjih, Gus?" Hurrin menunduk takdzim.

"Kita harus bertunangan."

Gila sekali, tiba-tiba Gus Yasin bertingkah tidak biasa.

Tiba-tiba Gus Yasin mengajaknya bertunangan.

Gus Yasin?

Kenapa secepat ini?

Bahkan Hurrin tidak sedikit pun mengenal siapa Gus Yasin—dalam artian secara langsung, bukan dari desas-desus santriwati lain. Adalah gila jika Hurrin langsung meng-iya kan saja. Ada apa ini, Ya Allah ... Hurrin bahkan tidak sempat bertanya kenapa dan bagaimana bisa. Mata biru terang itu melumpuhkan pikiran Hurrin.

"Ini salah, Gus. Abdi ndalem tidak sepantasnya bersama putra seorang kyai." Hurrin membuat jarak cukup jauh, menjaga batasan non mahram dengan tetap ghadul basyar. Hanya dua kalimat itu yang mampu diucapkan Hurrin setelah jantungnya berdetak hebat, setelah bibirnya bergetar kuat, setelah tangan dan kakinya seolah tidak mampu digerakkan. Hurrin sadar siapa dia dan siapalah Gus Yasin baginya.

"Apa salahnya menyatukan tulang rusuk yang lama terpisah dari tubuh aslinya? Kita harus menikah!"

Gus Yasin membuat perintah yang tidak bisa ditolak Hurrin sama sekali. Kedua tangan Hurrin semakin menggenggam erat Alquran, sangat gugup. Matanya tidak sengaja melakukan kontak dengan lensa beiris biru milik Gus Yasin. Langkah Hurrin semakin gelagapan untuk mundur teratur meninggalkan ndalem, pilihannya sekarang hanya tetap diam atau berlari ke kamar.

Mimpi apa dia semalam?

Subuh ini dia hanya ingin setoran, bukan menikah dengan putra kyai!

Ini semua terlalu cepat. Sangat amat terlalu cepat.

Mungkinkah karena perjodohan yang tidak diinginkan Gus Yasin sampai dia nekat melakukan ini?

Ya Allah, bukankah ini pemaksaan?

Bukankah ini suatu yang di luar kehendak?

Hurrin hanya seorang abdi ndalem, anak orang miskin dari desa terpencil di pedalaman Riau. Sementara Gus Yasin adalah seorang anak Kyai-nya sendiri. Putra salah satu Kyai paling masyhur di Pulai Jawa. Dan yang lebih lucu. Hurrin masih kelas dua SMA! Bagaimana mungkin dia memutuskan bertunangan atau menikah di umur yang masih enam belas tahun!

Hurrin tidak bisa menjawab sama sekali. Dia berlari sekencangnya mengindari Gus Yasin. Mungkin kepala Gus Yasin habis terbentur semalam sampai ia mengatakan hal segila itu.

Sepanjang hari, Hurrin hanya melamun. Jam delapan pagi dan Hurrin masih mengenakan mukenah yang ia pakai untuk sholat subuh tadi. Hurrin tidak sekolah, hari ini sudah Jumat lagi. Seluruh warga pondok masih sibuk dengan roan rutinan, membersikan tiap jengkal area bangunan. Hurrin tidak ikut, bagaimana ia bisa tenang bersih-bersih kalau pikirannya sendiri kotor akan hal yang sama sekali tidak dipahaminya.

Hurrin juga tidak bisa kembali ke kamarnya yang dekat dengan bangunan ndalem, itu akan membuatnya bertemu lagi dengan Gus Yasin lagi. Dia masih tidak menjawab pertanyaan—atau pernyataan gila itu. Baru hitungan hari mereka bertemu dan sudah main lamar-lamar saja.

Apa ini sungguh serius?

Apa Kyai Ilyas akan setuju?

Apa Gus Yasin tidak sedang bergurau menggoda kepolosannya?

Seluruh pertanyaan berputar di kepala Hurrin, Ya Allah. Kedua tangan Hurrin semakin menggenggam erat Alquran di pelukannya.

Sebaiknya Hurrin melakukan sholat dhuha, ritinitas yang tak pernah dilewatkannya. Hurrin melepas mukenah dan mengambil air wudhu. Tepat setelah Hurrin selesai melepas mukenah, Hasanah datang menemuinya. Dia berkata panjang lebar, bicara soal Hurrin yang tiba-tiba menghilang dan tidak terlihat di mana pun. Biasanya memang Hurrin akan bantu memasak Umi Fatma di dapur ndalem, tapi pagi ini tidak. Untung saja Hasanah tahu di mana Hurrin biasanya berada. Omelan itu sepertinya masih belum menemukan ending, Hurrin mendengarkan sambil tersenyum tanggung.

Haruskah Hurrin mengatakan kejadian tadi subuh pada Hasanah? Sepertinya tidak. Itu akan memperumit segalanya. Tidak dulu.

Hasanah mengajak Hurrin belanja sayur-mayur, seperti biasanya. Disuruh oleh Umi Fatma.

Akan ada tamu penting sore ini yang datang.

***

Tepat sore hari, seusai sholat asar. Mobil keluarga calon besan Kyai Ilyas datang jauh-jauh dari Mesir ke Indonesia. Mereka adalah Ning Fatiyah dan suaminya, juga anak tunggal mereka, Najwa El Shihrazy. Gadis itu berparas cantik sekali, seorang turunan Mesir asli. Hidung mancung dan mata yang tajam nan menawan hati.

Kyai Ilyas beserta Gus Ozy menyambut dengan baik keluarga calon besan mereka. Beberapa kalimat basa-basi dilemparkan. Ramah-tamah tuan rumah. Alahkah senangnya mereka saat tahu Yasin akan menikah dengan gadis secantik Najwa. Dan Najwa juga setuju hendak dinikahkah dengan Gus Yasin. Tentu saja hanya bertunangan, menunggu umur keduanya cukup matang untuk siap menikah. Mungkin beberapa tahun dari sekarang.

Perjodohan ini akan segera dimulai. Semua sudah dipersiapkan, kecuali satu.

Di mana Gus Yasin?

Saat itulah, ketika kedua keluarga sudah sepakat tentang tanggal dan bulan dilangsungkannya pertunangan. Gus Yasin keluar dengan memegangi lengan Hurrin, untung saja Hurrin memakai lengan panjang, kulit mereka tidak bersentuhan langsung. Semua mata terbelalak, ada apa dengan Gus Yasin?

"Aku hanya mau bertunangan dengannya, Abi! Bukan Najwa."

Dapat keberanian dari mana Gus Yasin untuk mengatakan itu? Bukan hanya Hurrin yang kaget, tapi Kyai Ilyas, Gus Ozy, dan keluarga dari Mesir itu. Bahkan Umi Fatma dan Hasanah yang ikut keluar dari dapur tidak percaya.

Persoalan ini rumit sekali.

.
..
....
.......

◇□ MUNAJAT □◇

___________________________
___________________

Maaf kalo semakin ke sini semakin gak jelas. Author masih berusaha menghubungkan benang merah ceritanya.😭🙏

Terima kasih buat yang masih tetap setia baca. 😘

Love u gaes.

𝐌𝐮𝐧𝐚𝐣𝐚𝐭 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang