🕋◇ Episode 5 ◇🕌

14.5K 1.5K 62
                                    

Happy Reading Gaes (!)
_________________________
________________________________

• ○ ● ■ ◇□◇ ■ ● ○ •

Malam semakin larut. Langit gelap tanpa tersaput awan. Bulan purnama sedang indah. Taman depan rumah ndalem sedang bagus untuk dilihat, bunga-bunga itu selalu indah kapan saja. Suara jangkrik saling bersahutan. Beberapa kunang-kunang seolah menjadi lukisan alami, bersaing dengan terangnya rembulan.

"Kok belum tidur?" Gus Ozy menyapa istrinya yang sedang duduk di bangku taman. Jam di sana sudah pukul sepuluh lebih, dua jam lagi sebelum tengah malam.

Istri Gus Ozy hanya menganggeleng. Malam hari pertama mereka tiba di kota ini. Penuh dengan kenangan.

"Mau nostalgia pertama kita bertemu, Sayang?" Gus Ozy tersenyum usil, menggaet leher istrinya yang kemudian bersandar di bahu suaminya. Romantis sekali mereka berdua. Jomblo harap sabar, jangan dilihat lama-lama, nanti kesurupan.

"Aku rindu Ayla," guman istri Gus Ozy lirih. Raisyah Alberto, istri Gus Ozy adalah sahabat Ning Ayla sejak SMA. Meskipun baru kenal sejak SMA, persahabatan mereka sangat akrab. Ning Ayla juga jadi alasan kenapa ia bisa menikah dengan Gus Ozy. Sahabat yang menjadi kakak iparnya.

"Kak Ayla sudah tenang di sana. Kita doakan saja. Kalaupun Kak Ayla masih di sini, kalian berdua pasti berisik. Ngomongin hal-hal berbau korea itu lagi. Ayolah, aku bahkan lebih ganteng dari oppa-oppa korea itu, Sayang."

Mendengar ucapan suaminya yang selalu percaya diri, istri Gus Ozy mencubit pinggangnya, sementara yang dicubit hanya bisa tertawa lepas.

"Aku sedikit mencemaskan Yasin." Istri Gus Ozy kembali memeluk suaminya.

"Aku juga. Sifat anak itu mirip sekali dengan Kakak. Kau tau? Lesung pipinya mengingatkanku pada seseorang." Gus Ozy menatap bintang-bintang yang bertaburan seperti kunang-kunang taman di langit gelap sana.

"Aku juga berpikiran begitu. Apa kabar dia sekarang? Kau pernah berkunjung ke Seoul?" Tanya istri Gus Ozy.

"Mana sempat, Sayang. Yah, nanti kalau menemani Sean-Seta kuliah. Kita akan mengunjunginya. Semoga dia belum melupakan kita." Gus Ozy mengelus hijab istrinya dan memegang erat tangannya.

"Mengunjungi siapa, Gus?" tanya Kyai Ilyas yang ikut datang ke taman bunga itu.

"Eh, Kang Ilyas? Bukan siapa-siapa. Cuma membicarakan kuliah Sean-Seta yang sebentar lagi mulai. Kang Ilyas sudah selesai ngajinya?" Gus Ozy langsung memutar topik pembicaraan. Istri Gus Ozy juga tampak tidak tenang, pembicaraan barusan sensitif sekali.

"Sudah. Kang Hasan yang ambil alih. Saya sedikit tidak enak badan. Saya tahu semuanya, Gus. Tidak perlu ditutup-tutupi lagi. Lelaki itu, Seoul, semuanya sudah diceritakan Ning Ayla." Kyai muda itu ikut duduk di bangku lain yang terletak di sebelah dua pasutri. "Cemburu itu pasti ada, Gus. Tapi Ning Ayla sudah memilih saya. Saya yang menang, kan?" Lanjut Kyai Ilyas dengan nada yang bangga akan sesuatu.

"Maaf, Kang. Harusnya pembicaraan ini tidak dilanjutkan." Gus Ozy gelapan, gagal mengalihkan topik pembicaraan.

"Saya juga tahu, Umik Neshele, Bibi Sayyan, anda berdua sudah kenal baik dengan lelaki itu. Saya ingin sekali bertemu dengannya kapan-kapan, tapi kelihatannya tidak mungkin. Dia pasti sibuk sekali." Kyai Ilyas tersenyum takdzim.

"Kalau Kang Ilyas mau, bisa ikut ke Seoul waktu daftarkan kuliah Sean-Seta. Nanti kita coba ketemu dengannya. Semoga saja masih ingat." Gus Ozy nyengir, percakapan ini terasa simalakama. Apalagi melihat wajah dan ekspresi serba tanggung Kyai Ilyas.

𝐌𝐮𝐧𝐚𝐣𝐚𝐭 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang