Happy Reading Gaes (!) ✌
______________________
_____________________________• ○ ● ■ ◇□◇ ■ ● ○ •
Kuah rendang benar-benar mengotori baju koko putih dan sarung milik Gus Yasin.
"Ma-maaf Gus ...."
Lirih sekali Hurrin mengucapkan itu. Jemarinya masih meremas ujung baju dan pandangan matanya menunduk. Sama sekali tidak berani melakukan kontak mata. Alih-alih menatap wajah Gus Yasin yang sekarang pasti sudah sangat marah akibat terkena siraman kuah rendang.
Noda itu pasti susah hilang di baju koko putih Gus Yasin. Hurrin melakukan sebuah kesalahan fatal. Dia mendengar suara Gus Yasin menghembuskan napas sebal. Buru-buru Hurrin memunguti pecahan mangkuk kaca yang berceceran dengan tangan agar tidak berantakan. Ya Allah, wadah mangkuk kaca ini pasti mahal sekali. Hurrin mana bisa menggantinya.
"Aww!" teriak Hurrin. Jari telunjuknya terkena serpihan kaca yang tajam. Gus Yasin refleks ikut menunduk melihat apa yang terjadi. Dia tidak pergi ganti baju?
"Ceroboh." Gus Yasin menyerahkan sapu tangannya pada Hurrin agar mengelap luka itu. Ragu-ragu diterima. Bukankah kesalahan menabrak itu murni ulah Gus Yasin? Kenapa kata ceroboh yang pertama diucapkan Gus Yasin? Hurrin aslinya tidak terima, tapi hanya bisa tetap menunduk. Setidaknya, dengan begitu Gus Yasin tidak tahu wajah ketakutannya.
"Astaghfirullah Hurrin! Kamu ndak papa tho, Nduk?" Umi Fatma dari dapur melihat semua kejadian itu. Kaget melihat mangkuk kaca pecah dan kuah rendang berserakan. Baju Gus Yasin yang kotor juga jari Hurrin yang berdarah. Umi Fatma membantu membereskan kekacauan, sekaligus cemas melihat jari telunjuk Hurrin tergores serpihan kaca. Luka itu dalam dan perlu diperban.
Beberapa keluarga yang semula berkumpul di meja makan ikut melihat keributan apa yang terjadi di tangga. Kyai Ilyas menyuruh Gus Yasin mengganti bajunya yang kotor bumbu rendang. Sedangkan Umi Fatma memanggil Hasanah, menyuruhnya untuk membantu Hurrin mengobati luka di jarinya. Hurrin meringis kesakitan. Luka itu mulai terasa nyeri. Darahnya banyak sekali. Hanya tertahan sapu tangan Gus Yasin yang sudah penuh bercak-bercak merah darah segar.
Setelah kejadian tabrakan yang tidak diharapkan tadi, acara jamuan makan malam kembali dilakukan. Gus Yasin sudah mengganti baju dan ikut bergabung. Satu-dua percakapan ringan dan dentingan sendok garbu mengenai piring menjadi suara yang paling sering terdengar. Semua saling melempar senyuman, kecuali satu, Gus Yasin yang hanya diam. Entah memikirkan apa.
"Kau jadi melanjutkan kuliah di Mesir, Yasin?" tanya Gus Ozy pada keponakannya yang pendiam itu. Atensi Gus Yasin teralihkan dari semula hanya memandangi piring. Sepertinya Gus Ozy tidak punya hal lain untuk ditanyakan. Kedua anak kembarnya sudah pergi bersama trio kembar Abi Hasan dan Umi Fatma. Gerombolan lima kembar itu sangat cocok satu sama lain. Berlima mereka bisa saja membentuk grup boyband. Biasanya kan wajah boyband korea mirip-mirip. Kalo kelimanya alami, beneran kembar.
Gus Yasin hanya mengangguk. Tidak berselera sama sekali menjawab sepatah pun kalimat atas pertanyaan pamannya. Secanggung itu.
"Turki punya banyak universitas bagus. Apalagi untuk belajar agama. Tidak kalah dengan Mesir. Kalau kau mau, Universitas tempat kakekmu kuliah dulu akan dengan senang hati menerimamu jika tahu kau cucu dari Profesor K.H. Singgih Mangkoe Madha. Teman kakekmu juga banyak yang masih mengajar di sana, Yasin. Maksud Nenek, kalau kau bosan belajar di Mesir." Umik Neshele ikut angkat bicara. Sekali lagi, Yasin hanya menggelengkan kepala. Dia ingin tetap di Mesir saja. Kuliah di tempat Abi-nya, Kyai Ilyas dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐮𝐧𝐚𝐣𝐚𝐭 ✔
Romance𝐒𝐞𝐧𝐚𝐧𝐝𝐮𝐧𝐠 𝐒𝐚𝐣𝐚𝐤 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐆𝐮𝐬 𝐘𝐚𝐬𝐢𝐧 _______________________________ "Ini salah Gus, abdi ndalem tidak sepantasnya bersama putra seorang kyai." Hurrin membuat jarak cukup jauh, menjaga batasan non mahram dengan tetap ghadul bas...