Angin yang sepoi-sepoi ditambah cuaca yang tidak menyengat panas, bahkan cenderung mendung membuat suasana pagi itu terasa sejuk. Bahkan sepertinya burung kolibri juga ikut menambah suasana menenangkan, dengan suara merdunya yang membuat Ken terlena dan hampir kembali tertidur. Jika saja dia tidak ingat sekarang hari apa, dan juga bunyi notif Iphonenya yang sudah berisik.
Ken sudah memode senyap ponselnya agar suara burung diluar jendela kamarnya bisa terdengar jelas, tetap saja, Ken harus bangun dan bangkit untuk mandi dan sarapan. Ibunya tak pernah mengomel jika Ken tidak mandi seharian saat hari libur, toh Ken juga bukan tipikal orang yang memiliki bau badan menyengat. Rencana kemarin sore sih bukan seperti ini. Ken sudah mengatur alarm agar ia bisa bangun pagi, untuk olahraga sebentar disekitar komplek, lalu meminum teh hijau dan sepotong roti yang diolesi selai nanas diatasnya. Kemudian ia akan mandi dan sedikit belajar, setelah setengah jam dikamar, ia akan sarapan nasi goreng dengan ibu dan ayahnya. Cukup produktif bukan?, Ya, jika saja alarm tidak dimatikan di dering ketiga oleh Ken, yang kemudian dilanjutkan memasukkan seluruh tubuhnya kedalam selimut.
Sia-sia saja rencananya, agenda apaan bangun pagi saat hari libur itu?. Ken tidak habis pikir dengan dirinya sendiri.
Sudah pukul sepuluh lebih tujuh, ibunya sudah 3 jam lalu menawari sarapan bersama, hingga di tawaran ke-lima, ibunya menyerah, membiarkan Ken sarapan atau bahkan makan siang sesuka hatinya nanti. Hanya tunggu saja jika Ken tidak makan, atau mengeluh sakit perut karena telat makan nanti. Heran sekali kenapa suka menyiksa diri sendiri dan lebih menuruti rasa malas yang bahkan tidak punya perasaan apa-apa untuknya.
Rendra bilang akan menyusul Ken sekitar jam sebelas, sekalian makan siang diluar. Tapi bahkan Ken amat sangat malas untuk sekedar mengangkat kepalanya, bisakah ia keluar dengan serta membawa kasur dan selimutnya, juga ia yang tetap rebahan? Bisakah?.
Ken mengambil ponselnya, melihat jam tanpa menghiraukan notifikasi. Padahal di dinding atas tepat didepannya ada jam dinding ukuran cukup besar, tapi di acuhkan begitu saja dan tetap melihat melalui ponsel. Helaan nafas berat keluar, Ken tidak boleh malas-malasan terus, nanti lama-lama tubuhnya bisa sakit. Jadi Ken bangkit duduk, sedikit menyisir rambutnya yang berantakan. Perlahan bergeser untuk menata selimut serta merapihkan kasur, lalu mematikan AC dan membuka lebar gorden jendela. Melihat setumpuk awan yang menghalangi cahaya matahari, Ken keluar balkon, menghirup dalam-dalam bungan geranium beraroma lemon.
'Haahhh, sejuk sekali rasanya' Ken mulai mengambil sprayer berisi air dan menyemprot bunga-bunha di balkonnya. Tidak semua berbunga, karena sebagian ada yang hanya daun dan digantung di rooftop balkonnya.
Ken sangat suka bunga dan tanaman hias, harus asli karena ia ingin merawat tanaman-tanaman itu. Bahkan didalam kamarnya ia memiliki bunga anggrek ungu dan lavender, sedang di dalam kamar mandi ada sukulen dan lidah buaya, serta di balkonnya ada tanaman gantung tradescantia (wandering jew), Dischidia Nummularia, Sirih blaster heart, serta sirih gading, dan ada beberapa tanaman cukup besar didinding kiri balkon. Ken sangat suka melihat tanaman itu saat pagi, apalagi saat masih dihinggapi embun. Ditambah suasana mendung dan berangin sepoi, rasanya Ken ingin berada di moment seperti itu untuk waktu yang lama.
Selesai dengan tanaman diluar, Ken beralih pada satu-satunya bunga anggrek dikamarnya. Menyiramnya dengan perlahan, karena jika terlalu banyak air bisa membuat endapan pada bagian bawah pot, yang mana bisa membuat tanaman cepat layu dan busuk. Selesai dengan anggrek, Ken beralih pada lavender. Menghirup aromanya sesekali, lalu tersenyum saat menemukan dirinya mendapati semangat pagi yang luar biasa.
Mungkin itu juga alasan bau tubuh Ken tidak menyengat dan terkesan menguarkan aroma wangi alami, setiap pagi Ken suka menghirup berbagai aroma harum bunga dari tanaman asli. Entahlah, Ken tidak perduli. Karena terlalu asik dengan tanamannya, Ken tidak sadar waktu terus berjalan dan janjinya tidak bisa di tangguhkan. Jadi setelah selesai dengan tanamannya, Ken segera mandi, setelah menyiapkan pakainnya di walk in closet miliknya.
.
.
.
"Ken jadi keluar?" Ibunya yang sedang bersantai di halaman belakang rumah menoleh pada Ken yang menghampiri. Ayahnya sedang memberi makan ikan koi, dan sesekali meneleng pada Ken. Ken menaruh nampan berisi dua cangkir teh pada meja, kemudian ikut mendudukan diri di kursi lain di seberang meja.
"Jadi, ma. Mungkin nanti Ken pulang sore, mama papa bisa makan malam tanpa Ken nanti"
"Jangan pulang telat, janji hanya sampai sore" papanya ikut bersuara disela memberi makan ikannya.
"Iya pa, Ken janji"
Bertepatan dengan itu, suara klakson mobil di depan rumah menghentikan kegiatan anggota keluarga sejenak.
"Sepertinya itu Rendra, Ken mau cek kedepan sebentar"
Ibunya mengangguk lalu menyeruput tehnya, sedang ayahnya menaruh makanan ikan di tempatnya kembali dan menghampiri ibu Ken di kursi yang sebelumnya Ken duduki.
"Bawa kesini, biar dia bisa ngobrol dulu sama papa"
Ken berdiri kikuk di ambang pintu, melirik oada ibunya yang hanya mengangguk setuju. Lalu Ken berjalan kedepan menemui Rendra.
"Hai"
Ken baru saja membuka gerbang saat Rendra dengan epicnya berdiri di samping pintu mobil sambil menyandarkan tubuhnya, Ken bahkan bisa merasakan pipinya merona hanya karena melihat penampilan Rendra saat ini.
Perpaduan antara jaket denim yang lengannya digulung, kaos abu polos, celana jeans gelap, juga jam tangan mewah yang memeluk erat tangan yang memiliki vena menonjol itu. Apalagi rambutnya yang ditata tidak seperti biasanya, memperlihatkan jidat sepenuhnya.
Apa Ken tidak bisa menjadi sekeren itu? Ken jadi insekyur sebagai lelaki karena penampilannya yang bisa dibilang sangat 'rumahan' sekali. Turtleneck oversize yang bagian depannya dimasukkan dalam long pants, sneakers warna gading yang senada dengan sweaternya. Dan rambut sepertia biasa, berponi --yah itu karena Ken memang tidak pernah mengutak-atik rambutnya-- dan dibiarkan jatuh begitu saja. Rambutnya yang fluffy membuat Ken tidak ingin bereksperimen aneh-aneh lagi, Ken juga suka menyentuhnya saat sedang gabut.
"Hai, k-kak. Emm, masuk dulu. Papa sama mama lagi di belakang" sungguh, Ken gugup setengah mati, padahal ini bukan kunjungan pertama Rendra di rumahnya.
Rendra dibelakangnya hanya tersenyum geli, lucu melihat tingkah pujaan hatinya ini. Rasanya ia hanya ingin memiliki Ken untuk dirinya sendiri, tapi Rendra harus sabar. Hubungan yang terjadi karena terburu-buru itu tidak baik, Rendra hanya harus meluluhkan hati Ken dan membuatnya percaya jika ia memang benar-benar serius dengan perasaannya. Yah, sepertinya mudah dikatakan, semoga saja nanti memang begitu.
Selama berjalan didalam rumah Ken, Rendra tak henti berdecak kagum. Dari depan rumah yang terlihat sangat asri, dengan rumput hijau yang menyelimuti penuh ujung hingga ujung, serta beberapa tanaman hias yang juga nampak segar --karena baru saja disiram mungkin, ditambah juga cuaca yang mendung-- membuat mata terasa sedang di relaksasi. Rumah Ken bernuansa Shabby, meski ada sentuhan modern minimalis. Rendra bisa melihat corak bunga pada beberapa perabotan, ibu Ken sangat pintar memadukan motif serta penataan. Dan sepertinya keluarga ini punya kesukaan yang tinggi pada bunga, karena hampir disetiap sudut ruangan Rendra bisa melihat bunga, atau tanaman hijau yang cukup besar. Entah itu asli atau palsu.
Dan mereka berdua sampai di halaman belakang, yang membuat Rendra lebih kagum dan bahkan takjub lagi. Sepertinya asumsi awal tentang kelurga Ken yang suka bunga, itu amat salah. Karena keluarga ini terlihat sangat mencintai bunga, dan tanaman hias. Rendra tak akan merinci hal itu karena mungkin, akan menghabiskan satu chapter cerita ini. Intinya, halaman belakang Ken sudah seperti tempat tersejuk dan terhijau dan terharum dan terindah, yang pernah Rendra lihat selama hidup di Makassar.
"Hai om, hai tante" seperti dulu, Rendra ingin menyapa duluan 'calon mertua'nya.
"Oh, hai nak Rendra. Sini duduk dulu, nggak sedang terburu-buru kan?" Ibu Ken mengerling pada Ken juga Rendra, yang sudah duduk setelah menyalami kedua orang tua Ken.
"Sama sekali tidak tante, saya rasanya betah ada disini" Rendra berkata dengan nada bercanda, sambil menatap sekeliling. Tapi sungguh ia tak akan keberatan jika harus tinggal disini, apalagi ada Ken.
"Ken, buatkan teh juga untuk Rendra" Ken yang akan duduk hanya bisa bangkit lagi sambil mengiyakan perintah ayahnya.
"Rendra tingkat berapa di sekolah?"
"Saya sudah di tingkat akhir tante"
"Sebentar lagi sudah lulus dong, lalu mau lanjut dimana?"
"Rencananya sih ke Jogja, tapi sepertinya tidak jadi" Rendra menjawab sambil menahan senyum, membayangkan satu sosok yang sekarang ingin dipeluknya.
"Ah, keluar kota. Jauh juga sih kalau di Jogja, kenapa tidak di Jakarta saja sekalian" kini ayah Ken yang bertanya, disaat yang sama Ken datang dengan teh hangat.
"Sebenarnya guru sudah mengirim rekomendasi ke universitas di Jakarta dan Bandung, dan ada beberapa undangan dari univ lain, tapi saya menolak. Ingin kuliah disini saja, jadi tidak harus LDR dengan Ken" Rendra berkata sangat santai, lalu bergumam terima kasih pada teh yang diberikan Ken.
Sedang yang termuda disana sudah kaku, sangat kikuk dengan keadaan sekitar setelah perkataan ambigu Rendra. Apa-apaan itu? Bahkan Rendra belum tahu dirinya direstui atau tidak, percaya diri sekali sepertinya. Ken juga takut-takut hanya untuk sekedar melirik ekspresi orang tuanya.
"Duh, belum apa-apa sudah manis begini sikapnya. Tante jadi ingat sama masa pacaran tante dulu"
Ibu Ken mencolek lengan suaminya, membuat lelaki paruh baya itu berdehem malu sambil memalingkan wajah. Rendra malah tersenyum, yang dimana ibu Ken juga ikut tertawa. Mencairkan suasana siang itu yang masih mendung, meski begitu, sepertinya hujan enggan turun.
"Memangnya kalian mau kemana sih, lagian mendung juga ini langitnya" ibu Ken kembali bertanya saat suasana sudah lebih baik, tidak kikuk dan canggung lagi.
"Saya ingin mengajak Ken jalan-jalan aja di mall, lalu kalau boleh, saya ajak mampir ke rumah juga. Mama saya ingin ketemu Ken katanya"
"Tentu boleh dong, iya kan pa?" Ibu Ken sebenarnya tidak begitu yakin dengan izinnya, mengingat suaminya itu sangat protektif pada Ken. Apalagi ini pertama kalinya Ken mengenalkan seseorang yang bukan sebagai teman, --yah meski anaknya belum pernah benar-benar mengatakan perasaan sukanya-. Maka dari itu ia pura-pura bertanya pada suaminya. Menunggu respon sang kepala keluarga.
"Boleh saja, asal jangan pulang larut dan tetap hubungi papa, atau mama"
Seharusnya bukan hal yang sulit mengingat Ken adalah anak lelaki, tapi hal itu menjadi berbeda saat anak lelakimu adalah satu-satunya yang kau miliki, yang memiliki satu keistimewaan. Orang tua Ken tidak pernah menganggap anaknya menyimpang saat tahu Ken tidak memiliki ketertarikan pada gadis. Mereka menganggap itu sebagai salah satu takdir yang harus mereka terima, mau tidak mau.
Mereka memperlakukan Ken seperti layaknya seorang ratu, bukan karena orientasi seksual Ken, tapi memang mereka sudah seperti itu sejak Ken diketahui keberadaannya saat usia kandungan ibunya menginjak tujuh minggu. Dan saat tahu hanya Ken-lah satu-satunya yang bisa mereka miliki.
"Kalian mau pergi sekarang, atau masih mau ngobrol disini" Ayah Ken tidak mengajukan pertanyaan, hanya basa-basi biasa karena kedua lelaki tanggung di depannya terlihat masih kikuk.
"Saya terserah Ken saja om, supir mah nurut bosnya" Rendra berkata dengan nada bercanda, juga terkikik setelahnya, namun Ken malah memukul lengannya main-main sambil melotot. Membuat kedua orang tua disana tersenyum hangat, merasa seseorang yang tepat sudah mereka temukan untuk menjaga anak kecil mereka.
"Kalau begitu om, tante saya dan Ken pamit dulu. Saya janji nanti akan mengembalikan Ken utuh seperti sekarang" lagi perkataan Rendra membuat lelaki paling kecil disana merengek manja, membuat ayah dan ibunya tertawa gemas.
"Kalian sudah seperti pasangan menikah yang berkunjung ke rumah orang tuanya, mau pergi saja pamit berdua" ucapan spontan dari ibu Ken itu membuat Rendra terhenyak, tidak menyangka dengan perkataan enteng itu diutarakan oleh sosok yang menurutnya sangat lembut itu. Apa hubungannya sudah direstui? Apa itu tandanya ia sudah bisa memiliki Ken sepenuhnya?.
"Yasudah sana pergi, biar nanti pulangnya nggak larut. Rendra, tante minta tolong ya, Ken jangan terlalu banyak minum yang dingin-dingin, juga yang pedes, takut amandelnya kambuh" Ken sudah merengek malu, tapi hal itu diabaikan ibunya.
"Siap tante, saya pasti jaga Ken sepenuh hati dan jiwa, melebihi bodyguard terlatih" katanya mantap.
"Sip deh kalau gitu, Ken bawa jaketmu. Sweatermu nggak menjamin kamu tetap hangat, mama nggak mau besok ada yang masuk angin setelah pulang kencan"
"Ihh mama, baju Ken sudah tebal kok. Ini saja Ken kegerahan" si mungil yang sedari tadi diam kini bersuara, menyuarakan protes sekaligus rasa malunya karena sedari tadi di olok-olok.
"Tapi kamu mudah ma-"
"Mamaa~ Ken nggak akan sakit, serius deh"
Ibunya menghela nafas, tak ingin berdebat lama yang nantinya malah membuat anaknya tak cepat berangkat.
"Yasudah, terserah Ken. Kalian hati-hati dijalan, mama sama papa nggak anter kedepan, masih mager jadi antar sampai sini saja"
Ken mengangguk, lalu menyalami kedua orangtuanya, diikuti Rendra.
"Saya pamit om, tante"
"Iyaa, kamu bawa mobil kan?"
"Iya om, soalnya mendung, biar Ken tidak kedinginan juga" kini Ken mencubit lengan Rendra
"Bagus, sudah pergilah, hati-hati dijalan ya kalian"
Rendra mengangguk sekali lagi lalu benar-benar pergi dengan Ken disampingnya, sedang mengapit tangannya. Rendra ingin sekali tersenyum bahagia, tapi ditahannya setengah mati, takut Ken sadar dan melepaskan genggamannya. Biar Rendra saja yang merasakan euforia mendebarkan namun menyenangkan ini.
Sampai mobil, Ken baru sadar dan buru-buru melepaskan tautan tangannya di lengan Rendra. Sungguh malu sekali rasanya, tapi ia sendiri juga tidak sadar karena rasa nyaman. Ken buru-buru menoleh pada Rendra dengan tatapan canggung, yang di balas dengan Rendra yang mengacak rambutnya.
"Nanti di mall gitu lagi ya, aku suka"
Ken terpaku beberapa saat sebelum kembali sadar dan masuk ke dalam mobil, jelas sekali menolak dibukakan pintu oleh Rendra. Saat baru keluar dari komplek perumahan Ken, Rendra masih biasa saja, Ken juga hanya diam. Namun lima menit setelahnya, Rendra menarik telapak tangan Ken lalu menautkan jemari keduanya.
"K-kak?"
"Kenapa? Kamu risih? Nggak suka?" Rendra sesekali menoleh disaat Ken terpaku menatapnya, bingung mau menjawab apa.
"B-bukan, tapi kan kita-"
"Belum jadian? Kamu belum yakin sama perasaan kamu?"
"Yakin?" Ken mengernyit bingung, bahkan ia sendiri belum tahu ia suka atau tidak pada Rendra.
Bukan berarti selama Ken menguntit itu Ken sudah suka sama Rendra, itu salah. Ken waktu itu hanya kagum, dan penasaran. Ken tidak pernah menyukai siapapun sebelumnya, apalagi jatuh cinta. Jadi Ken belum paham betul apa yang dirasakannya selama ini, hatinya berdebar saat hanya melihat Rendra, perasaan senang juga suka meledak-ledak saat secara tidak sadar Rendra berbalik menatapnya.
"Ken, biarin gini dulu. Aku gugup dan sepertinya cara ini berhasil buat aku tenang"
Ken mengangguk kikuk, tentu dia tahu Rendra juga pasti gugup, sama seperti dirinya. Bedanya, Rendra menyembunyikan hal itu dengan apik, berbanding dengan Ken yang kentara sekali sedari tadi gelisah di duduknya. Dan entah disadari atau tidak, Rendra mengubah kata gue-elo menjadi aku-kamu. Duh hati ken makin kebat-kebit membayangan betapa manisnya itu.
.
.
.
Mereka sudah pesan dessert, dan piring kosong juga sudah diangkat. Ken sempat menolak untuk makan dessert, karena takut dibilang rakus. Tapi Rendra sepertinya definisi dari kata keras kepala, jadi percuma saja Ken protes. Sifat baru yang mereka berdua baru tahu dari masing-masing 'calon' pasangan ini. Ken yang baru Rendra tahu ternyata doyan makan, atau nyemil kali ya. Padahal porsi tubuhnya mungil cenderung kurus, Rendra ingin membuat pipi yang suka merona itu menjadi gembil, jadi bisa ia cubit kapan saja. Duh sabar Ren, resmikan dulu baru boleh pegang-pegang.
Sedang Ken, dia sedikit kaget saat Rendra adalah pemilik resto dalam mall ini. Pantas saja saat mereka berdua masuk, semua karyawan langsung menyapa Rendra, ia pikir itu karena Rendra adalah pelanggan setia atau apalah itu.
"Ini resto yang gue kelola, Ken. Kalo sewaktu-waktu lo mau mampir kesini pas main ke mall, gue bisa kasih gratis khusus buat lo"
Ken melotot tidak terima "Yakali kak aku bakal minta gratisan kalo makan disini"
"Emang kenapa? Kamu kan calon aku"
Nah, sepertinya pembicaraan untuk hubungan mereka sudah terbuka, jadi Ken meletakkan ponselnya, dan mencoba fokus pada Rendra.
"Kak, aku belum pernah suka sama seseorang. Aku juga nggak tau apa aku suka sama kakak atau-"
"Cuma kagum?"
Ken mengangguk kikuk, kok rasa-rasanya, hanya Ken yang teganh dan serius, diseberang meja sana Rendra tampak santai dan biasa saja. Apa iya dia belum pernah berhubungan dengan seseorang sebelumnya? Kenapa Ken jadi ragu akan rumor itu.
"Gue juga sebelumnya nggak pernah pacaran Ken, gue belum pernah berhubungan sama siapapun. Gue jujur, dan rumor itu sedikit benar, juga salah soal gue"
"Gue nggak tau gimana cara perlakuin pasangan gue nantinya, apa gue bikin lo nggak nyaman selama ini, atau mungkin gue bikin lo risih sama sikap gue"
Ken buru-buru menggeleng, selama ini, belum ada yang bisa buat Ken senyaman ini dengan lelaki asing yang dullu suka ia intip saat main futsal.
"Aku sama sekali nggak merasa risih kak, aku nyaman" Ken menunduk malu, "tapi aku juga takut untuk bilang kalau aku suka kakak" Ken sedikit mengintip wajah Rendra.
Dagu Ken diangkat, Rendra tersenyum lembut yang mana hal itu membuat Ken secara sadar semakin mengangkat wajahnya dan ingin menikmati wajah Rendra untuk waktu yang lama.
"Kita jalanin dulu, aku nggak maksa kamu buat suka sama aku kalo em-"
"Aku suka sama kakak"
Rendra tersenyum lagi, masih menatap Ken agar melanjutkan ucapannya.
"Aku belum pernah berdebar-debar seperti ini sebelumnya, aku belum pernah nyaman sama seseorang sebelumnya, aku nggak tau itu perasaan apa. Tapi aku yakin itu rasa suka aku ke kakak"
Ken diam sejenak, memejamkan matanya sesaat sebelum berucap "Ken bakal terima perasaan suka ini"
Rendra masih dengan senyumnya "Kita dalam posisi yang sama, Ken. Jadi, apa Ken mau kita pacaran sekarang?" Sungguh, Rendra sebenanrya tidak tahu lagi apa yang harus dibicarakan. Ia belum pernah menyatakan perasaan sebelumnya.
Ken menggeleng, meskipun ia yakin dengan persaannya, tapi ia belum yakin jika untuk melangkah lebih jauh. Berpacaran, Ken belum yakin ia siap.
"Aku belum siap kak"
Rendra mengangguk mahfum, ia juga tidak ingin memaksakan. Lagian mereka baru kenal beberapa minggu, terlalu cepat untuk langsung memiliki ikatan. Mereka masih harus mengenal satu sama lain lebih dekat.
"Kita komitmen aja, gimana?"
Ken berfikir sejenak, lalu mengangguk sambil tersenyum.
"Oke, kalau gitu. Kita mau kemana lagi sekarang? Kamu mau jalan-jalan, atau kita langsung ke rumah aku aja?"
Ya, ampun, Ken sampai lupa kalau Rendra hari ini mengajak dia kerumahnya. Tapi ngemall dulu nggak papalah ya, masih siang juga ini.
"Jalan dulu deh kak, emm. Mama kakak suka apa? Nanti biar aku beliin"
"Mama yaa" Rendra mendongak untuk berpikir, "Mama bukan tipe yang spesifik sih Ken, tapi tadi pagi mama sempet bilang pengen nasi goreng kampung"
"Nasi goreng kampung?" Ken mengernyit, nasi goreng kan mudah dibuat, apalagi nasi goreng kampung juga bumbunya simpel.
"Mama aku orang tionghoa Ken, beliau biasanya masak makanan china doang. Makanan indo di buatin sama bibi"
Ken mengangguk paham, dia baru saja akan menjawab saat segerombol cewek mendekat ke meja mereka, dan tanpa tedeng aling-aling, seorang cewek berpakaian minim langsung memeluk erat Rendra beserta gumaman lumayan keras yang membuat Ken mati kutu.
"Sayangkuuuu~"
TBC
Bobrok banget pas bagian romantis-romantisnya, mana endingnya udah kaya sinetron. Dahlah, makin amburadul aja ini cerita. Rencananya setelah book ini selesai, aku bakal revisi semua chapter dari awal sampai titik darah penghabisan.
Tetep jaga kesehatan, selalu patuhi prosedur kalo mau kemana-mana, masker jangan cuma dipake didagu, kalo bisa pake face shield. Oh iya, maskernya jangan yang scuba ya, soalnya masker itu nggak terlalu ampuh, dan malah ada bahayanya. Rutin cek kesehatan, selalu bawa hand sanitizer kemana2. Dan, jaga jarak.
Book ini dibuat sambil nahan pup karena nunggu temen buat sim😩
With love,
Aii x Thya😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Beyond The Limit
RomanceWARNING!!! Cerita ini adalah Boyslove story atau cerita Gay, bxb, homo. Homophobic please Leave!!! Just shoo shoo~ _________________________________________________ . "Aku mencintainya, tapi aku juga membencinya" Dia kesepian. Dia selalu seperti i...