"Lo abis ini pulang bareng dia lagi ?"
Ken yang sedang memasukkan buku paketnya menoleh kesamping, menatap pada Sasa sebentar lalu mengangguk mengiyakan. Tubuhnya merosot ketempat duduk, dengan helaan nafas gusar.
"Lo bisa nebeng gue kok, kalo masih canggung ama doi"
Inginnya Ken berkata 'iya' dengan keras, tapi apa iya Rendra mengijinkan? Ken masih abu-abu dengan sikap Rendra yang sangat tiba-tiba, juga sikapnya yang seperti tidak terkontrol. Mengiyakan ajakan lelaki yang hanya dikaguminya, jangan-jangan Rendra hanya mempermainkannya saja. Tahu kan, di cerita-cerita atau film biasanya jika orang yang kita kagumi dan sukai secara diam-diam, tiba-tiba saja bersikap baik pada kita, mungkin dia sedang bertaruh dengan teman-temannya.
Semacam, taruhan memenangkan perasaan, atau mendapatkan seseorang dengan jaminan pesona. Siapa tahu?. Ken hanya masih bingung dengan semuanya.
"Gue balik bareng dia dulu deh Sa, mau memperjelas sikap dia ke gue, juga biar gue bisa bersikap sepatutnya buat perlakuan dia"
Sasa manggut-manggut, "Tumben bijak dan dewasa"
Tak!
"Awh! Sakit bego!" Sasa mengelus buku tangannya yang di pukul dengan buku paket.
"Dah ah, gue cabut dulu. Jidan sama Edo mana, kok tumben udah ngilang"
Mata Ken dibawa berkeliling kelas, mencari dua sosok perusuh yang bangkunya sudah kosong melompong.
"Lo aneh gak sih sama mereka berdua? Kalian bertiga sembunyiin sesuatu dari gue, lo" telunjuknya mengarah tepat ke mata Ken, "Gue sedikit banyak bisa nebak, lo juga janji bakal cerita kalo udah siap. Tapi mereka", sekarang telunjuknya mengarah kebangku kosong Edo dan Jidan. Kepalanya menggeleng dengan ekspresi wajah memicing penuh curiga.
"Lo nanya aja langsung sama mereka" Ken mencoba memberi saran.
"Kenapa bukan lo aja yang nanya? Lo nggak curiga emang?"
"Kasusnya sama seperti gue, Sa. Gue gak maksa kalo mereka masih belum siap cerita"
"Tapi mereka bukan tipe pengecut kaya elo, Ken"
"Mulut lo ya, Micin kemasan! Lemes amat kalo ke gue"
Ken berdiri, sudah bersiap akan pulang sebelum teman kelasnya yang lain memanggilnya.
"Ken! Lo ditunggu kak Rendra nih!"
Ken segera pamit pada Sasa, sekaligus meminta maaf karena harus meninggalkan temannya itu pulang sendirian.
.
.
.
Kembali, suasana canggung didalam mobil itu terjadi lagi. Setelah tadi melewati bisik-bisik yang membuat Ken jengah, dan Rendra kesal. Keduanya kini diam, dengan kondisi mobil yang belum menyala.
Yang ingin memaki, disilahkan.
Yang ingin tertawa, disilahkan.
Yang jelas, keduanya tidak ada yang memulai untuk bersuara.
Suasana di parkiran mobil murid ini masih ramai, di gerbang juga murid lain yang belum di jemput atau sekedar nongkrong juga masih banyak. Tapi siapa yang tahu atmosfer didalam mobil Rendra, seorang kapten tim futsal sekolahnya kini sangat sunyi sepi. Padahal ada dua orang didalamnya, sigh.
Dasar kolot.
Disisi Ken, ia bingung dan terlalu gugup akan mengungkapkan apa yang tadi dibicarakannya dengan Sasa dikelas, sedang disisi Rendra, entahlah, dominan satu itu sepertinya juga bingung ingin memulai pembicaraan seperti apa, bagaimana, mengapa.
To! tok!
Kaca disamping Rendra di ketuk oleh siswa lain, Rendra menurunkan sedikit kaca mobilnya. Bertanya kenapa pada siswa berkepala plontos disana.
"Mobil gue mau keluar, mobil lo ngehalangin jalan. Bisa mundurin mobil lo bentar nggak, gue buru-buru nih"
Rendra menganggukkan kepalanya sambil berujar maaf, setelahnya kaca mobil kembali ditutup rapat lalu menoleh kearah Ken yang sedari tadi memerhatikannya.
"Pulang sekarang? Atau mampir kemana?"
Ken sedikit berpikir, apa harus dibicarakan sambil duduk berduaan didalam mobil dalam perjalanan pulang? Atau harus ditunda dulu?. Tapi sepertinya lebih nyaman jika berbicara dengan santai, empat mata saling berhadapan. Mampir ke mall aja dulu apa ya? Eh tapi kan tadi pagi ayahnya sudah bilang harus pulang cepet, diajak cek kesehatan rutin ke rumah sakit. Berarti ditunda nih? Duh Ken bingung ha-.
"Ken?"
Ken menoleh terkejut, mengumpati pikirannya yang malah bernegosiasi sendiri. Didepan suara klakson mobil sudah berbunyi, menyuruh Rendra segera menyalakan mobil dan setidaknya memberi jalan pada siswa plontos tadi.
"Pulang aja kak, tadi ayah juga nyuruh pulang cepet kan"
Tanpa menjawab, Rendra hanya mengangguk lalu menyalakan mobilnya, dengan lihai keluar dari parkiran mobil dan melaju perlahan keluar area sekolah dengan murid lain yang masih ramai disekitarnya.
"Aku mau bicarain sesuatu sama kamu, mungkin lain kali aja ya" Rendra menoleh sebentar kearah Ken yang menatap keluar jendela mobil.
Ken sempat terhenyak karena ia pikir, hanya dirinya yang memikirkan hal-hal yang dialaminya akhir-akhir ini.
"Kakak juga mau ngomong sesuatu?"
Rendra mengernyit sebentar, lalu menoleh pada Ken yang masih menatapnya. Ingin mencubit gemas pipinya karena ekspresi penasaran Ken benar-benar lucu, tapi tidak. Fokusnya tetap kejalan, tanpa Ken sadari laju mobil menjadi lamban. Rendra sengaja mengulur waktu agar bisa lebih lama dengan Ken.
"Juga?" Rendra bertanya, memastikan.
"Iya, aku sebenernya mau ngomong empat mata sama kakak. Tapi tadi pagi kan-"
"Ayah kamu nyuruh pulang cepet karena mau cek kesehatan rutin?"
Ken mengangguk pasti.
"Kalau gitu besok aja ngomonginnya, gue nggak nyaman kalo ngobrol hal penting lewat ponsel, atau kaya gini"
Ken kembali mengangguk, dengan semangat ia menjawab, "Sama dong! Aku juga nggak suka ngomongin hal penting kalo nggak tatap muka. Nggak afdhol"
Senyum tipis Rendra kembangkan, memiliki kesamaan dengan gebetan itu menyenangkan. Meski sepele, terkesan kekanakan, tapi tak di pungkiri hal itu memang menyenangkan Rendra.
15 menit mereka berada di jalan, Ken juga baru sadar jika perjalannya sedikit lambat. Tapi tak apa, daritadi ia terus ngobrol hal ringan dengan Rendra, suasana mencair tidak seperti di parkiran tadi.
"Kakak nggak mampir dulu?" Ken sudah melepas seatbeltnya saat Rendra menatap instens padanya, wajahnya menatap kesamping dan bertemu dengan netra Rendra yang fokus padanya.
"Besok lo masih mau gue jemput, kan" jelas Rendra tidak mengajukan pertanyaan, bahkan nadanya lebih kepada perintah. Mutlak.
Ken menimang sesaat, sebelum menggeleng takut-takut. Pikirnya tindakannya kali ini harus tegas, Ken ingin memperjelas semuanya dulu, baru ia bisa mengambil sikap. Kalau seperti ini, Ken hanya akan semakin jatuh terhadap permainan Rendra.
Benarkah Ken hanya di permainkan? Ya intinya Ken masih ingin semuanya jelas dulu.
Rendra menghembuskan nafas pasrah kemudian mengangguk pelan, menerima penolakan Ken yang ia yakini karena perlakuan abu-abunya.
"Hari minggu, gue jemput jam 9"
"Mau kemana?" Ken berekspresi bingung yang membuat Rendra berdiam, sungguh ingin mengambil start dibibir. Tapi tidak, Rendra masih waras dengan tidak merusak image-nya.
"Jalan, juga ngobrolin kita berdua"
Oh, oh, oh. Pipi Ken merona merah, mendengar kata-kata Rendra yang ambigu. Ken jadi curiga tentang gosip jika Rendra belum pernah pacaran sebelumnya, padahal lihai membuat hati meleleh begini. Atau Ken saja yang terlalu baper?.
"Aku ijin sama papa dulu"
"Oke, dimengerti" Rendra manggut-manggut sambil tersenyum maklum.
Setelahnya Ken membuka pintu mobil dan mengangkat tasnya akan turun sebelum Rendra menarik tangan kanannya.
"Salam buat mama lo, masakannya enak"
Ken terkejut sejenak, kemudian tersenyum senang. "Ah iya, nanti aku sampein ke mama"
"Kalau gitu, sampai ketemu hari minggu" Rendra melepas genggamannya.
Dan dibalas anggukan malu-malu dari Ken. "Bye kak, Hati-hati di jalan"
Rendra tersenyum tampan setelah Ken menutup pintu mobil dan melambaikan tangan saat mobil Rendra sudah menjauh.
.
.
.
Selesai check up rutin tadi keluarga Ken memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar di mall, juga sekalian makan malam disana. Lalu tidak sengaja ayah Ken bertanya tentang hubungan Ken dengan Rendra, tapi hanya dibalas Ken dengan Rengekan.
"Papa, jangan bahas itu ih!" Begitu katanya dengan pipi merona.
Dan sekarang hal itu juga yang menjadi lamunan Ken diatas tumpuan tangannya pada meja belajar, sungguh galau dengan hubungan tidak jelasnya ini.
Ken juga takut berekspektasi tentang Rendra, menakutkan berbagai hal. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan baik dan buruknya -lebih banyak kemungkinan buruknya sih- yang mungkin nanti bisa membuatnya terlihat buruk.
Ken mengacak surainya gusar, "Duh, rumit banget sih".
Pintu diketuk, mamanya masuk dengan membawa nampan. Tersenyum hangat saat melihat Ken buru-buru memegang pensil dan menatap bukunya, nampan berisi susu hangat dan kukis diletakannya di meja sebelah lampu belajar, lalu menyentil telingan Ken pelan. Ken mengaduh pura-pura.
Setelahnya mereka saling tatap lalu tertawa kecil, Ken merengek karena ibunya selalu tahu jika Ken sedang gelisah akan sesuatu, insting mungkin ya. Ibu ken mengambil duduk pada pinggiran ranjang yang menghadap punggung putra tunggalnya, membuat Ken memutar tubuhnya menghadap ibunya sambil menunduk memilin piyama tidurnya.
"Maaa~" mungkin jika ini adalah suara anak lima tahun yang merengek karena tidak dibelikan es krim, terdengar lucu. Namun ini Ken, mahasiswa semester dua akhir -meskipun porsi badannya seperti remaja junior high school- tapi tetap saja, apa tidak malu kalau didengar pembaca?.
Bodo amat, Ken satu-satunya anak dari orang tua yang lumayan sukses dalam karirnya. Memanjakan Ken itu wajib kata orang tuanya, dan memanjakan diri itu harus kata Ken.
"Kenapa sayang?"
Perlahan Ken bangkit dan berjalan ke pinggir ranjang, berbaring menyamping dengan berbantal paha ibunya yang langsung dihadiahi elusan pada rambut halusnya.
"Ma. Rasa suka itu, seperti apa?"
Ibunya sedikit tersentak dengan pertanyaan Ken, namun setelahnya tersenyum lembut. Seperti mengerti akan hal yang membuat anaknya gelisah, menggemaskan.
"Mungkin, saat jantung Ken berdebar-debar. Atau saat Ken menjadi gugup karena bertemu dengannya"
Ken mengernyit, perkataan ibunya sudah seperti narasi dalam novel saja. Klise. Saat Ken akan protes, ibunya kembali berujar.
"Ken, rasa suka itu bisa menimbulkan berbagai afeksi. Tergantung bagaimana Ken memandang rasa suka itu, apa Ken juga suka dengan Rendra?"
Tanpa sadar Ken mengangguk lesu, mengiyakan perkataan ibunya sebelum matanya terbelalak hingga membuatnya bangun. Menyerukan rengekan amat manja disertai tawa mengejek ibunya.
"Mama ih! Kenapa sebut-sebut nama itu"
Ibunya berhenti tertawa, menatap Ken sendu.
"Ken, firasat seorang ibu tak pernah salah. Kalau Ken sayang sama Rendra, utarakan."
"Kalau Ken ditolak?"
"Ken ditolak? Memang Ken udah yakin sama perasaan Ken?"
Nah kan, firasat ibu itu kuat. Darimana ibu Ken tahu kalau Ken sedang gelisah galau merana karena satu hal itu. Karena ketidakjelasan dan ketidakpastian perasannya pada Rendra. Padahal cerita tentang rasa sukanya saja Ken belum pernah, apalagi tentang menyatakan perasaan. Ken ingin menangis terharu, tapi sepertinya itu lebay, jadi Ken merengek manja saja seperti biasanya.
"Ken, saran mama. Ken jangan gegabah dulu, perlahan. Ken belum pernah suka seseorang sebelumnya, Ken belum pernah memikirkan seseorang selain mama papa sebelumnya. Dan juga, tentang kalian berdua. Mama cuma khawatir, hmm?"
Ken menunduk memilin ujung piyamanya, merasa ragu akan langkah yang ia pilih nanti.
"Mama tahu Ken satu sekolah dengan Rendra, mungkin Ken lebih banyak tahu tentang Rendra daripada mama. Tapi nak, suatu hubungan tidak akan berjalan hanya karena kalian sudah kenal lama"
Telak! Memang hal itulah yang sedang Ken khawatirkan. Saling mengerti, belum tentu ia dan Rendra bisa saling memahami nantinya.
"Mamaa~" Ken berujar mendayu, merasa semakin payah untuk melangkah. Padahal ia dan Rendra Masih dalam tahap pendekatan, tapi kenapa rasanya sulit sekali. Apa karena mereka sama-sama lelaki, atau karena mereka masih remaja. Ken hanya terlalu takut untuk mengira, ini yang pertama untuknya.
Ken bimbang dengan rasa sukanya yang mungkin nanti akan menimbulkan rasa cinta, kemudian sayang. Membayangkan saja Ken sudah ngeri, takut ditinggalkan. Ken tahu mereka masih remaja, rasa suka bisa muncul pada siapa saja. Mungkin perjalanan cinta Ken akan seperti remaja dalam novel lainnya. Suka dengan seseorang, kemudian jatuh cinta, setelah menjalin hubungan timbul rasa sayang, lalu mungkin jenuh dan putus, sakit hati dan berusaha bangkit lagi. Kemudian mengulang hal yang sama sampai menemukan cinta sejati, mungkin.
Tapi ini cerita Ken, dan cintanya istimewa. Ken beum tahu Rendra orang yang seperti apa setelah putus nanti. Apa dia akan menyesal telah berhubungan dengan Ken, lalu dia akan memilih untuk kembali normal. Atau dia akan tetap berjalan untuk menggandeng tangan seorang lelaki, tentunya lelaki lain. Oh tidak, bahkan Ken sudah berfikir terlalu jauh. Putus dengan Rendra? Ken saja bahkan belum yakin tahap pdkt-nya akan berjalan baik-baik saja.
"Ken, Ken tahu kan mama nggak akan biarin Ken sakit hati, atau kecewa. Tapi mama juga nggak ingin memaksakan kalau Ken memang suka dengan Rendra. Mama dukung Ken, tapi mama juga akan tetap berdiri dibelakang Ken jika Ken butuh mama"
Ken memeluk ibunya erat, merasa terlindungj oleh sosok malaikat tanpa sayap-Nya. Merengek disana seperti anak anjing saat tidur.
"Ken sebaiknya tidur, mama tahu Ken tidak fokus belajar tadi. Habiskan susunya lalu gelasnya mama bawa kebawah"
Ken mengangguk lalu beranjak menuju meja belajarnya, meminum susunya hingga habis lalu mengecup pipi kanan dan kiri ibunya.
"Selamat tidur sayang, semoga mimpi indah"
Ibunya mengecup kening Ken lalu menutup pintu kamarnya, meninggalkan Ken dalam kelegaan setelah bercerita dengan ibunya. Sepertinya Ken sudah dapat jawaban untuk pertemuan minggu besok dengan Rendra. Semoga semuanya berjalan dengan baik.
.
.
.
"Loh Ken, lo kok berangkat sendiri? Lo udah dibuang sama Rendra?"
Ken baru saja masuk kelas saat Jidan bertanya tak masuk akal padanya. Matanya langsung melotot horor dengan pertanyaan Jidan, tanpa menjawab Ken langsung melengos duduk diikuti Jidan di belakangnya, dan tatapan kasihan dari Sasa di bangkunya. Edo mah seperti biasa.
"Ada yang mau di jelaskan, saudara Ken Alvino Azfar?" Sasa memiringkan tubuhnya menghadap Ken, menatap sok serius pemuda kurus yang kini sudah duduk dibangkunya. Menatap ketiga temannya dengan cebikkan bibir.
"Lebay deh kalian, gue kan udah bilang. Selama tingkah dia ke gue belum ada kejelasan, gue mau kita kaya biasanya aja. Senior, junior. Nanti hari minggu kita ketemuan. Ikut?"
Ken tentu tidak serius mengajak, tapi memang dasar Jidan si otak udang, dia dengan keras bilang mau yang kemudian disusul jitakan dari Edo.
"Lo kenapa sih! Kita itu harus sportif, Ken lagi bingung sama perasaannya, jadi kita harus disana buat kasih support" lagi, satu jitakan dari Edo dan jambakan dari Sasa.
"Itu urusan pribadi, kita nggak harus setiap waktu ada disamping Ken buat setirin dia. Lo aja yang udah pacaran ama Edo, gue sama Ken coba ngertiin dan nunggu kalian coming out sendiri, dan ngomong terus terang ke kita. Jadi kali ini kalian diem dulu dan biarin Ken selesaiin masalahnya sendiri, kalau dia butuh sesuatu, baru kita bertindak layaknya sahabat sejati"
Ken melotot lebih horor dari saat di pintu tadi, apa kata Sasa?! Jidan pacaran sama Edo?! Apa-apaan?!.
"SASA!" Edo, Jidan dan Ken kompak berteriak, mengundang tatapan heran penghuni kelas yang masih belum seberapa banyak. Sedang yang di teriaki hanya menatap heran, bingung kenapa ketiga temannya meneriakinya bersamaan.
"Sasa! Lo tau darimana gue sama Jidan pacaran?"
"Lo kenapa nggak pernah bilang ke gue soal mereka berdua, hah?!"
"Kok lo emberan sih Sa~"
Sontak mereka menoleh pada Jidan yang mengatakan hal belum masuk akal barusan, mereka memang sudah mengubah pembicaraan 'santai' dengan acara mari berbisik-bisik saja. Melupakan kasus Ken, kini tersangka utama beralih pada Jidan, atau Sasa ya?
Ken dan Edo menatap Sasa dan Jidan bergantian, jelas meminta penjelasan. Disaat kelas sudah mulai ramai dengan murid dan percakapan, keempat penyamun kelas yang sudah duduk dibangkunya masing-masing malah bersitegang.
"Santai elah, Jidan emang udah cerita ke gue soal hubungan lo," telunjuknya mengarah ke Edo, "sama dia" dan kini ke Jidan.
"Gue nggak ada ngomong apa-apa karena jidan yang minta, dia belum siap entah sama apa. Dan Edo, gue selama ini masih bersikap biasa aja kan ke lo, ke kalian. Gue nggak masalah sama siapa kalian pacaran atau berhubungan, selama kalian masih anggap gue sahabat kalian, gue pun bakal bersikap sama. Hubungan kita itu sahabat, dan hal itu nggak bisa dirubah sama apapun. Kecuali kalian sendiri yang ngerusak lingkaran ini, dan gue yakin hal itu nggak bakal terjadi"
Ketiga teman lelakinya sudah terharu dengan omongan panjang lebar Sasa, sebelum siempunya rambut panjang kembali bersuara dan membuat rasa terharu ketiganya menjadi rasa ingin mencekik Sasa sampai keriput.
"Karena cuma gue yang sanggup temanan sama kalian, hahaha"
'Dasar bumbu dapur kemasan!' suara bstin ketiga lelaki disana.
Daan, begitulah. Seperti tak pernah terjadi apa-apa, mereka berempat tetap seperti biasa. Edo dan Jidan akhirnya cerita kenapa mereka backstreet bahkan dengan sahabatnya sendiri, yang dimana alasannya karena ingin menjaga perasaan Ken, tidak masuk akal memang. Kemudian pada inti permasalahan yang seharusnya menjadi topik pembicaraan utama mereka pagi ini, tentang hubungan Ken.
Tapi karena bel masuk sudah berbunyi, jadi terpaksa cerita dongengnya di tunda. Mungkin saat pelajaran olahraga nanti, mereka akan kembali membuat lingkaran diskusi di bawah pohon cemara di lapangan outdoor sekolah.
.
.
.
Yang sial sekali bagi Ken, karena dilapangan indoor para senior sedang bermain futsal. Iya, lapangan in dan out memang bersebelahan. Lapangan outdoor tentu lebih luas karena disekolah Ken, pelajaran olahraga itu dilaksanakan sebanyak satu angkatan, semua jurusan olahraga di waktu yang sama. Dan mungkin kelas Rendra sedang kosong, jadi mereka memutuskan untuk bermain futsal. Dan kebetulan macam apa ini, hingga mereka berdua bertemu disaat sedang olahraga.
Ken memang sengaja menghindar, karena ingin memastikan perasaannya dan keyakinannya pada Rendra. Ia sudah minta untuk tidak di jemput dulu hingga pertemuannya nanti, dan Rendra yang sama sekali tidak keberatan. Tapi berbanding dengan Rendra yang bingung karena Ken seperti menjaga jarak dengannya. Ia terus memikirkan kesalahan apa yang ia perbuat hingga Ken seperti menghindar darinya, dan bersyukurlah pada takdir karena mereka bertemu sekarang.
Yah, anggap saja begitu. Rendra sudah cukup bahagia melihat Ken yang sedang melakukan pemanasan diseberang sana, tanpa peduli Reno yang meneriakinya untuk mengambil oper bola darinya. Bukannya semakin semangat melihat pujaan hatinya berada dalam kegiatan yang sama, Rendra malah gagal fokus terus. Membuat atensi Reno juga teralihkan, memandang sejurus pada Ken. Tanpa tahu seseorang yang memperhatikannya di bangku penonton menjadi geram. Apa-apaan? Dua lelaki yang sama sedang menaruh atensi penuh pada lelaki yang beberapa hari lalu sudah ia peringatkan. Dasar penggoda!.
Peluit istirahat sudah dibunyikan, mereka punya waktu 15 menit untuk meluruskan kaki atau mengisi perut kosong. Hal yang sama juga terjadi pada lapangan futsal didalam, para pemainnya sudah banyak yang kembali ke kelas.
"Ren, gue balik duluan ya. Jangan lama-lama disini, bentar lagi kelasnya bu Rima" Reno menepuk bahu Rendra yang sedang melepas sepatu futsalnya, sambil terus menatap pada Ken yang sedang tertawa dengan ketiga penyamunnya.
"Oke, lo duluan aja" Rendra menjawab dengan melirik pada Reno yang memanggil seseorang di bangku penonton, hingga keduanya berjalan sambil berangkulan mesra menuju keluar. Membuat Rendra iri setengah mati dengan temannya itu, batinnya berteriak ingin seperti itu juga dengan Ken.
Untuk saat ini, Rendra masih harus bersabar dan berusaha dulu untuk mendapatkan hati Ken. Semoga cintanya kali ini tidak salah langkah lagi.
TBC
Seperti pembaca yang harus sabar menunggu cerita ini update setiap chapternya.
Penulisnya yang satu sibuk nugas, yang satu sibuk meratap. Mendatangkan ide itu mudah, mudah sekali. Tapi pas udah mau ditulis itu tiba-tiba ide menguap kaya asap rokok, beterbangan, nggak bisa di raih lagi lah pokoknya.
Fellas, hope you guys still enjoy this little freakin' tale😊
With love,
Aii x Thya😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Beyond The Limit
Storie d'amoreWARNING!!! Cerita ini adalah Boyslove story atau cerita Gay, bxb, homo. Homophobic please Leave!!! Just shoo shoo~ _________________________________________________ . "Aku mencintainya, tapi aku juga membencinya" Dia kesepian. Dia selalu seperti i...