Pagi itu, langit terlihat sangat murung. Cuaca terasa begitu dingin menusuk-nusuk permukaan kulit. Kabut masih tebal menyelimuti Desa Ranu Pani. Kala itu, sebagian penduduk berbondong-bondong pergi ke sawah untuk bercocok tanam.
Namun, di sebuah gubuk kecil, seorang wanita sedang berjuang melawan rasa sakit. Nyeri di seluruh anggota tubuhnya menyisakan desahan tertahan. Tak ada siapapun di sampingnya. Tak ada seorang pun yang menemaninya. Dia sendiri saja di tengah kecaman rasa sakit dan cuaca dingin yang menyiksa.
"Tolong ... ," ujar wanita itu dengan suara sedikit tertahan. Badannya terasa lemas sampai tak mampu berjalan. Seorang lelaki paruh baya terlihat datang menghampirinya.
"Ada apa, Bu, kenapa minta tolong?" Lelaki paruh baya itu menghampirinya dengan wajah cemas.
Tangan wanita itu memegang perut buncitnya, kemudian dengan terbata dia berkata, "Pak Joko, sepertinya aku akan melahirkan pagi ini, tolong bantu panggilkan dukun beranak. Aku sudah tidak kuat menahan rasa sakit ini," ujarnya dengan napas tersengal.
Mendengar itu, Pak Joko segera bergegas untuk memanggilkan dukun beranak, sekaligus memberitahukan pada tetangga-tetangganya bahwa Bu Siti, wanita hamil itu sudah akan melahirkan. Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya terdengar suara tangisan bayi dari dalam gubuk.
Tepat saat bayi itu lahir, hujan turun begitu derasnya. Petir menggelegar seakan memberitahukan bahwa seorang bayi telah lahir ke dunia. Semua mengucapkan syukur atas kelahiran bayi itu. Namun takdir seolah mempermainkannya, sang Ibu pergi bahkan pada saat dia baru menghirup udara dunia. Bu Siti wafat saat melahirkan. Rasa sakit yang ia tanggung, ia bawa pada kematian.
Tangis duka kini menyelimuti desa Ranu Pani. Semua orang merasa iba pada bayi itu. Pasalnya, bayi itu sudah tak memiliki ayah sejak 6 bulan ada di kandungan. Ayahnya meninggal karena kecelakaan saat mendaki gunung. Dan kini ibunya juga dipanggil Tuhan, dan harus meninggalkannya sendirian. Hujan seakan menjadi saksi bahwa kelahiran bayi itu begitu menyedihkan.
Usai pemakaman Bu Siti, sebagian penduduk berkumpul. Mereka mendiskusikan bagaimana kehidupan sang bayi. Bayi itu tak lagi memiliki keluarga. Latar belakang orang tuanya pun sangatlah rumit. Ayahnya adalah orang Belanda, otomatis keluarga dari ayahnya berada di Belanda. Sedangkan ibunya, diusir oleh keluarganya di Jawa karena tak direstui menikah dengan ayahnya. Sehingga dia tinggal di desa Ranu Pani karena masalah itu.
Bayi itu kini benar-benar seorang diri. Para penduduk ada yang menyarankan agar salah satu dari mereka ada yang mau mengasuh bayi itu. Sampai pada akhirnya, Pak Joko, seorang duda anak satu itu bersedia untuk mengasuh bayi itu dan menjadikannya sebagai anak angkat.
Pak joko juga adalah orang yang paling tahu tentang latar belakang bayi itu dan kenapa dia sampai terlahir ke dunia. Dia mengetahui segala hal tentang bayi itu. Dia merasa iba sampai mengambilnya sebagai anak angkat. Dengan segala keterbatasannya, dia menganggap bayi itu seperti anaknya sendiri.
************************************************************************
"Ayah, mengapa namaku Anaphalis Javanica?" pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari mulut mungil seorang gadis berusia 12 tahun. Dia memainkan rambut pirangnya sembari menatap polos sang Ayah.
"Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu, Nak?" ujar sang Ayah dengan tatapan heran.
"Ana penasaran saja, Ayah. Nama Ana seperti bukan nama orang Jawa, tidak seperti nama Abang."
"Memangnya kamu tidak menyukai namamu, An?" sambung seorang anak lelaki yang berusia sekitar 16 tahun.
"Ana bukan tidak menyukainya Bang, Ana hanya penasaran saja." Gadis itu memonyongkan mulut pada Abangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
REYANA (The Secret Of Edelweiss)
RomanceSaat seorang gadis bernama "Anaphalis Javanica" harus menghadapi kemarahan Semeru karena dosa orang tuanya di masa lalu. Sedang dirinya harus mengambil bunga edelweiss dari gunung itu untuk menyembuhkan seseorang yang berjasa dalam hidupnya. Sampai...