Prolog

15 5 0
                                    

Zia duduk termenung di sebuah bangku perpustakaan. Di tangannya ada sebuah buku tentang serajah pulau Jawa. Walau matanya mengarah pada buku yang ia genggam itu, tapi sebenarnya ia sedang memikirkan sesuatu yang paling ingin ia lupakan selama ini.

Kadang seperti itu, sesuatu yang paling ingin dilupakan malah paling sering muncul di pikiran.

Saat itu ....

"Apa maksud kamu menghilang selama ini gara-gara perempuan ini?" tanya Zia kesal pada seorang cowok di hadapannya.

Cowok yang ditanya menggaruk kepalnya yang tidak gatal sembari melirik tangannya yang mengenggaman tangan perempuan di sampingnya.

"Jadi gini, Zi---"

"Halah gausa dijelasin. Dengan ini semua aku udah tahu kebusukan kamu. Kamu tanpa kabar sudah dua minggu yang lalu dan kamu datang dengan perempuan lain!" Nada Zia semakin tinggi. Perlahan, isakan tangisannya mengiringi deru nafasnya yang tersengal.

"Eh---lo ngomong apa? Perempuan lain? Justru lo yang perempuan lain. Doni udah lama kenal sama gue." Malah perempuan di samping laki-laki bernama Doni yang menjawab.

"Diam lo!" sungut Zia. Wajahnya sudah merah seperti kepiting rebus saking marahnya.

Saat itu mereka sedang berada taman yang sudah mulai sepi. Di malam minggu yang kelabu bagi Zia. Ia datang ke sini dengan niat mengenang kisah-kasihnya bersama Doni yang sudah pergi tanpa kabar selama dua minggu. Tapi saat sampai di taman, ia malah mendapati Doni sedang asik berduaan dengan perempuan yang Zia yakini sebagai selingkuhan Doni.

"Gue butuh penjelasan, Don!" suara Zia sudah meninggi. Perlahan bibirnya bergetar dan pelupuk matanya sudah menampilkan buliran ait mata.

Doni dan perempuan di sampingnya malah diam. Tentu saja hal itu semakin memancing emosi Zia.

"Doni!" bentak Zia. "Kamu milih dia atau aku?"

Doni sedikit kaget. Seketika ia melirik ke arah perempuan yang masih berada di sampingnya. Perempuan itu balas melirik dengan tajam. Seketika Doni menelan salivanya susah payah.

Perlahan, Doni meraup udara di sekitar kemudian diembuskan pelan. Lalu sebuah kalimat mulai mengalir dari mulutnya, "Maaf, Zi, gue---"

"Cukup! Itu udah lebih dari cukup!" Zia menutup kupingnya kuat. Ia tahu apa yang hendak Doni ucapkan. Itu pasti akan membuat hatinya lebih sakit lagi.

Cukup, cukup, cukup ... Argahhh!

Zia membuka matanya perlahan. Tanpa sadar, bayangan di ingatannya menuntun dirinya berkata dan bertindak seperti yang ia bayangkan. Zia kemudian menilik sekeliling. Terlihat siswa-siswi menatapnya penuh tanda tanya. Ada yang mengumpat karena terganggu dengan keanehan yang Zia tampilkan, ada yang heran melihat tingkah perempuan cantik itu.

Jelas saja ada yang marah, ini, kan, perpustakaan. Di sini terpampang jelas tulisan "dilarang berisik".

"Sial, kenapa jadi ingat cowok sialan itu sih!" gerutu Zia seperti berbisik.

"Lo kenapa sih?" tanya seorang laki-laki yang duduk tepat di sampingnya.

Zia menoleh menatap laki-laki tampan di sampingnya itu. Bukannya menjawab, Zia malah cengar-cengir polos sehingga memperlihatkan deretan gigi putih nan rapi. Ia juga menggaruk tengkuknya yang tidak gatal akibat salah tingkah.

"Dasar aneh! Kalau ditanya jawab. Bukan senyum. Ini buat lo, ganggu konsentrasi aja." Laki-laki itu berdiri seraya meletakan apel hijau di atas meja Zia. Ia akhirnya berlalu meninggalkan perpustakaan sambil menenteng sebuah buku.

Pernah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang