Prilly terbangun dari tidurnya, kejadian 10 tahun yang lalu selalu menghiasi mimpinya beberapa hari terakhir ini. Masa di mana ia dan Ali mengukir kenangan indah yang singkat.
Ia duduk di meja kerjanya, membuka kembali buku diary yang lembarnya sudah tidak pernah terisi sejak ia lulus SMA. Catatan terakhir yang ia buat adalah malam perpisahan. Tak berani melanjutkan membaca setiap detailnya, rasa sakit itu masih sama hingga saat ini.
Ia beranjak dari sana dan menuju pantry yang tidak bersekat dari area tidurnya. Studio berukuran sedang di kota Paris dengan biaya sewa seminim mungkin bagi Prilly sudah lebih dari cukup untuk kondisinya yang sedang merintis karir sebagai kepala Chef di sana.
Hidup sendirian di negara asing dengan bermodal tekad, membuat Prilly harus memiliki jiwa pantang menyerah. Hari ini pun ia sudah bersiap untuk menghadapi drama di tempat kerjanya, pemilik baru restoran tersebut membuat perubahan baru yang membuat Prilly harus beradaptasi lagi.
Sebenarnya Prilly sudah ingin membuka resto dengan usahanya sendiri, namun ia masih bertahan di sana karena belum ada yang bisa menggantikannya sebagai kepala chef.
Prilly bergegas menyiapkan sarapan dan juga mandi sebelum berangkat bekerja. Rambutnya yang dulu panjang kini hanya dibiarkan sependek bahunya agar memudahkannya dalam bekerja.
Seperti kebiasaannya setiap pagi, ia melakukan video call dengan papanya sebelum berangkat ke resto. Tidak banyak yang mereka bicarakan, papanya hanya mengingatkan dirinya agar selalu menjaga kesehatan dan juga kesalamatan.
Sebenarnya Prilly sudah sangat merindukan papanya, sudah hampir 2 tahun ia tidak pulang ke Indonesia. Pertemuan terakhir mereka ialah tahun lalu saat papanya mengunjunginya ke Paris.
Tepat pukul 08.00 pagi, Prilly bergegas keluar dari kediamannya, appartemen sederhana tak jauh dari pusat kota Paris, sudah lebih dari 5 tahun ia menetap di sana, hingga ia akrab dengan para tetangganya yang juga kebanyakan perantau dari negara lain.
Sesekali mereka melakukan makan malam bersama di sebuah kedai yang tak jauh dari gedung appartemen mereka. Prilly sudah terbiasa hidup di Paris dengan budaya Eropa yang sangat berbeda dengan budaya timur.
"Bonjour"
Sapa Prilly kepada setiap orang yang dikenalnya di gedung tersebut. Ia melangkahkan kaki dengan mantap menuju restoran tempatnya bekerja. Melewati beberapa toko roti dan juga kafe yang mulai buka pagi itu. Prilly melemparkan senyumnya lalu melambai ke arah seorang pria di dalam sebuah food truck.
"Bonjour Dimitri, quel menu as-tu préparé ce matin?
"Pagi Dimitri, apa menu yang kau siapkan pagi ini?"Seru Prilly bersemangat. Pria tersebut memberi salam balasan dengan tak kalah ramah, seolah mereka sudah akrab sejak lama.
"Bonjour Prilly, arretez-vous! Je te donnerai mon hot dog"
"Hai Prilly, mampirlah! Aku akan membuatkanmu Hot dog""Merci Dim, mais je dois me dépêcher"
"Terima kasih Dim, tapi aku harus bergegas"Prilly melambaikan tangan sebagai salam perpisahan, suasana hatinya sedang senang.
20 menit kemudian ia tiba di sebuah restoran bergaya eropa klasik. Salah satu restoran mewah di kota itu. Prilly menyapa karyawan lainnya sebelum masuk ke ruang ganti dan meletakkan semua barangnya di loker miliknya.
Ia mengenakan seragam kokinya dan berjalan menuju dapur kebanggaannya. Memastikan semua peralatan sudah disiapkan sebelum mereka membuka restoran bernama "Meilleure Cuisine" tersebut.
Seluruh staff berkumpul di tengah restoran sebelum mereka menerima pelanggan. Pimpinan tim akan memberikan briefing pagi untuk mengawali aktifitas setiap hari.