"Kalian ngapain?"
Teriakan kencang itu membuat Rachel dan Brizan saling menjauhkan diri. Mata Rachel membulat melihat seseorang yang berdiri di depan pintu lift. Sedangkan Brizan tersenyum sambil menggaruk belakang kepala.
Meda memperhatikan dua orang yang saling canggung itu. Dia berbalik dan keluar dari lobi. Rachel yang sadar lebih dulu langsung mengejar. "Kok lo di sini, Med?" tanyanya setelah sejajar dengan Meda.
"Gue mau ketemu temen." Meda melirik Rachel sekilas. Bayangan saat Brizan dan Rachel berciuman masih berputar di kepalanya.
"Terus, kok lo sekarang pergi?" Rachel berusaha terlihat biasa saja, padahal sangat malu. Terlebih, dia merasa Meda tiba-tiba bersikap aneh.
"Inget kalau harus ke kantor."
Rachel menggaruk tengkuk. Dia berbalik memperhatikan Brizan yang melangkah ke arahnya. Dia lalu meminta Brizan mendekat lewat gerakan tangan. "Lo jadi nganterin gue, kan?" tanya Rachel setelah Brizan lima langkah darinya.
Brizan mengangguk sambil menggerakkan jari ke arah kiri. "Mobil gue di sana. Yuk!"
"Gue ajak Meda dulu." Setelah mengucapkan itu Rachel mengejar Meda yang telah sampai trotoar. Dia mencekal tangan Meda, menghentikan sahabatnya yang hendak menyetop taksi. "Bareng sama gue aja."
Meda menoleh, menarik napas panjang lalu menjawab, "Emang gue nggak ganggu kalian? Biar gue berangkat sendiri."
Rachel tidak mengerti perkataan sahabatnya itu. "Ganggu apaan?" tanyanya sambil menarik Meda mengajak kembali ke area apartemen.
"Ya siapa tahu kalian mau lanjutin yang tadi."
Rachel menoleh. "Maksud lo yang di lift?" tebaknya. Dia menghela napas panjang, ini salah Brizan yang tiba-tiba nyosor duluan. Salah dia juga, sih, sebenarnya karena tidak menolak. "Brizan, tuh, yang nyosor!" jawabnya sambil melangkah lebih dulu.
Meda hendak menyela saat mobil putih Brizan berhenti di depannya.
Kaca mobil terbuka, Brizan mengeluarkan kepala lalu menggerakkan tangan. "Masuk!"
Meda yang paling dekat dengan pintu depan langsung membuka. Dia duduk di samping Brizan lalu fokus menatap depan. Melihat Meda yang telah masuk, Rachel memilih duduk di belakang. Dia mendapati tatapan berat dari Brizan.
"Ck! Ayo, Bri jalan!" perintah Rachel.
Brizan melajukan mobil sambil melirik spion tengah. Sepersekian detik tatapannya bertemu dengan Rachel. "Kalian masuk jam berapa?" Brizan membuka percakapan.
"Jam delapan. Ngebut, gih!" perintah Rachel.
Brizan mengangguk dan menambah kecepatan. Meda yang sebelumnya belum memasang sabuk pengaman segera memasang. Dia sempat melirik Brizan yang santai mengemudi. Meda menoleh ke belakang, melihat Rachel yang memperhatikan Brizan.
"Ehm!"
Dehaman Meda membuat Rachel menoleh. Gadis berponi itu melihat ekspresi sebal sahabatnya. "Ada yang ketinggalan?" tanyanya sambil memajukan tubuh.
Meda kembali menatap depan dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sebenarnya dia tidak ingin mendiamkan Rachel. Namun, hatinya tidak bisa berpura-pura. Dia tidak suka melihat Brizan dan Rachel berciuman.
Diam-diam Brizan melirik dan mendapati sahabat Rachel itu tampak kesal. "Mikirin gebetan, Med?"
Satu alis Rachel terangkat, sebelumnya tak tahu kalau Meda memiliki gebetan. "Siapa? Kok gue nggak tahu?"
"Ada, deh," jawab Meda sok misterius.
"Lo nggak tahu? Lo fokus sama kakak gue, sih. Sampai sahabat sendiri punya gebetan aja nggak tahu." Brizan mengejek.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Conqueror
General FictionTampan dan mapan. Dua kriteria itu pasti diinginkan para wanita, termasuk Rachel. Pernah dianggap rendah, membuatnya terpacu untuk memiliki keluarga yang dihormati. Sayang, Rachel justru harus melewati jalan naik turun untuk keinginannya itu. Apakah...