48

210 26 3
                                    

"Hueee. Sedih banget gue nggak ada yang peduliin. Orang-orang nggak ada yang sayang gue."

Tifa mengernyit melihat perubahan sikap Rachel. Pandangannya lantas tertuju ke Raka yang mengangkat satu alisnya. "Sebelumnya Rachel nggak minum kok, Bang!"

Raka melirik Tifa sekilas. Setelah itu memandang Rachel yang menunduk sambil pura-pura menangis. Dia hafal apa yang terjadi kepada adiknya jika ketahuan bersalah, pura-pura. "Ngapain?" tanyanya sambil melipat kedua tangan di depan dada.

Rachel menarik napas panjang lalu mengangkat wajah. Dia menyibak rambut yang menutupi sebagian wajahnya kemudian bibirnya mengerucut. "Sedih banget udah nggak ada yang peduli sama gue. Bang, gue butuh lo." Tangannya terangkat hendak menarik Raka ke dalam pelukan, tapi lelaki itu bergerak mundur.

"Gue nggak bakal tertipu, Hel!" ujarnya dengan nada tinggi. "Ngapain lo ke sini? Bukannya tidur."

"Lo juga ngapain di sini? Bukannya sama Kak Nera?" Rachel balik tanya. "Aaaa. Lo berantem ya sama dia? Cerita aja, gue siap dengerin."

Raka menggeleng tegas, jelas itu hanya pengalihan. Dia menunduk lantas mencengkeram dagu adiknya. "Cepet, ngapain lo di sini?"

"Ck! Sedih banget nggak ada yang perhatiin!" Rachel menjauhkan tangan abangnya lantas membuang muka. "Pacar gue juga nggak nemenin."

"Kak Brizan nggak tahu lo ke sini?" Raka lalu melirik Tifa yang diam saja. "Kalian cuma berdua."

Tifa tampak takut-takut melihat kemarahan Raka. "Salah gue sebenernya, Kak!"

"Lo nggak salah!" Rachel langsung menyela. Dia berdiri dan menyentuh pundak abangnya, menarik perhatiannya. "Dia nggak salah, gue yang ajak ke sini."

"Gue udah bilang berapa kali? Jangan ke sini sendiri. Harus ada yang jagain lo!" Raka menarik tangan Rachel dan menariknya. "Balik!"

"Bang!" Rachel menjerit sambil mempertahankan posisinya. Dia menggeleng tegas dengan pandangan memohon. "Gue nunggu Brizan."

"Brizan tahu lo di sini?" Raka menatap penuh selidik. Dia tidak akan membiarkan adiknya itu minum-minum hingga kehilangan kesadaran.

Rachel mengangguk pelan. "Gue udah hubungin, tapi dia belum balas."

Raka menarik napas panjang lalu melepas genggamannya. "Oke, lo boleh ke sini," ujarnya membuat Rachel tersenyum kecil. "Tapi, gue temenin."

"Bang!" Rachel hendak protes. Namun, Raka segera duduk di kursi tersisa dan membuang muka.

***

Brizan baru pulang saat kantor telah begitu senyap. Beberapa lampu lorong telah dipadamkan, tampak sedikit horor. Dia berjalan sambil melepaskan dua kancing teratas kemejanya. Setelah itu dia merogoh ponsel. Kedua alisnya menukik mendapati beberapa pesan dari Rachel.

Rachel: Gue ke kelab ya sama Tifa. Nanti kalau udah jemput gue di tempat biasa.

Rachel: Sayang, nggak bisa ke sini?

Rachel: Gue jalan sama cowok lain, ya!

"Rachel!" Brizan menggeram. Dia memasukkan ponsel ke saku lantas memencet bel tidak sabaran. Saat benda persegi panjang itu telah terbuka, dia segera masuk dengan rahang mengeras.

Sebenarnya, ini salah Brizan juga yang tidak begitu memperhatikan ponsel. Ah, jika dia terlalu konsentrasi maka dia seperti memiliki dunia sendiri. Sekarang, dia menyesal. Ditambah, pikirannya semakin kacau membaca pesan terakhir Rachel.

"Awas, kalau lo beneran sama cowok lain!" geram Brizan dengan rahang mengeras.

Beberapa saat kemudian, Brizan sampai di kelab. Dia geleng-geleng melihat lantai satu cukup dipadati pengunjung. Dia mengedarkan pandang mencari keberadaan Rachel. Pertama, dia mencari ke dance floor, tapi dia tidak menemukan gadis yang dicari.

The ConquerorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang